Kisah Nagari Pariangan, Desa Terindah di Dunia yang Enggan Disebut ‘’Desa’’

Kisah Nagari Pariangan, Desa Terindah di Dunia yang Enggan Disebut ‘’Desa’’
info gambar utama

Padahal penobatan sebagai desa terindah di dunia itu sudah sejak 2012 silam, tapi karena penobatan ini disebut oleh salah satu majalah bergengsi, majalah pariwisata internasional dari New York, Amerika Serikat, bernama Budget Travel, membuat nama Nagari Pariangan, Sumatera Barat kerap memunculkan rasa penasaran bagi para pelancong.

Tak tanggung-tanggung, tempat ini masuk dalam lima besar desa terindah di dunia dalam katengori World’s 16 Most Picturesque Village. Cara pemilihannya adalah mereka menjaring hingga 2.000 angket berupa survei yang diisi oleh wisatawan yang pernah mengunjungi beberapa desa indah di dunia. Termasuk yang pernah ke Nagari Pariangan.

Setelah hasil dikumpulkan, peraih poin terbanyak lima besar adalah Desa Wengen di Swiss, Desa Eze di Perancis, Desa Niagara On The Lake di Kanada, Nagari Pariangan di Indonesia, dan Desa Cesky Krumlov di Republik Ceko.

Salah satu kategorisasi yang membuat unggul Nagari Pariangan adalah indeginous culture-nya yang masih terjaga. Artinya, dari segi pemeliharaan dan pelestarian budayanya, Nagari Pariangan dinilai menjadi yang terbaik di antara lima desa lainnya.

Sontak pemberitaan ini langsung menyebar ke seluruh negeri. Bahkan hingga tahun 2016 media-media Indonesia masih silih berganti mengangkat pemberitaan tentang Nagari Pariangan, Sumatera Barat. Pasalnya, kawasan ini termasuk ‘’surga tersembunyi’’. Pamornya di dalam negeri kala itu masih kalah dengan desa wisata lainnya.

Sehingga tidak heran, bertahun-tahun kemudian sejak rilis penobatan dari majalah tersebut, para pelancong dalam negeri maupun luar negeri semakin penasaran dan ingin merasakan sensasi keindahan salah satu desa terindah di dunia ini.

Menurut catatan, rekor jumlah yang datang ke Nagari Pariangan pada satu hari pernah mencapai 5.000 orang. Tentu saja kala itu perangkat desa dan pemerintah setempat punya tanggung jawab lebih untuk tetap menjaga keindahan dan keasrian Nagari Pariangan.

5.000 orang bukanlah jumlah yang sedikit dan tidak ada yang menjamin bahwa semua orang yang datang saat itu menaati peraturan kebersihan dan ketertiban. Saking asyiknya menikmati keindahan Nagari Pariangan, hal-hal pokok kerap dilupakan.

Enggan Disebut ‘’Desa’’

Nagari Pariangan
info gambar

Nagari Pariangan disebut-sebut merupakan desa pertanian pertama di tanah Minang. Lokasinya yang berada di lereng Gunung Merapi di ketinggian 500-700 meter di atas permukaan laut, tetap membuat kesuburan tanahnya mampu menjadi sumber pangan masyarakat Nagari Pariangan

Saking hormatnya masyarakat Nagari Pariangan terhadap para leluhur dan menjunjung tinggi peninggalan sejarah, ada sebuah petak sawah yang dijadikan situs peninggalan, bernama Sawah Gadang Satampang Baniah. Sepetak sawah itu hingga kini dijadikan cagar budaya oleh masyarakat.

Selain menjadi desa pertanian pertama, Nagari Pariangan juga merupakan desa paling tua di tanah Minang dan dipercaya menjadi tempat cikal bakal rakyat Minangkabau. Untuk itu tempat ini juga kerap disebut sebagai Nagari Tuo Pariangan.

Tahukah Kawan GNFI kalau masyarakat di sana enggan menyebut kampungnya sebagai Desa Pariangan? Mereka akan menyebutnya sebagai Nagari Pariangan. Ini karena mereka sangat menjunjung tinggi lahirnya sistem pemerintahan khas masyarakat Minangkabau dengan sebutan Nagari.

Sebelum tahun 1980, sistem pemerintahan Nagari sangat mirip dengan konsep polis masyarakat Yunani kuno, yaitu cenderung lebih otonom dan egaliter. Namun pada 1981, terbit undang-undang perubahan sistem pemerintahan di tingkat bawah yang membuat pemerintahan Nagari diganti menjadi sistem pemerintahan desa yang kala itu lebih digaungkan dan mengikuti masyarakat Jawa.

Sejak saat itu masyarakat Pariangan seolah kehilangan kemandirian dan semangat egaliternya yang sudah sejak lama dijalankan. Terutama terkait struktur pemerintahan desa yang cenderung tidak memiliki pembagian wilayah secara tetap.

Mekanisme dari sistem pemerintahan desa lebih bergantung pada pemilik tanah, yang mana pemilik tanah memiliki otoritas tertinggi dalam mengatur wilayahnya. Hal tersebut berisiko membuat pemilik tanah melakukan politisasi terhadap wilayah atau penduduk yang berada di sebuah desa.

Sedangkan konsep Nagari lebih mengacu pada hukum batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Tentu saja berdasarkan adat istiadat yang dipercaya dan dihormati di Sumatra Barat.

Sistem pemilihan pemimpinnya pun berbeda. Sistem pemerintahan desa memilih pemimpin atas berdasarkan kesepakatan bersama, namun cenderung dihasilkan dari perdebatan suatu kelompok. Sedangkan sistem pemerintahan Nagari dipilih dengan menunjuk orang yang disegani berdasar pada keberhasilannya dalam menata penduduknya.

Setelah 19 tahun warga Pariangan seolah kehilangan jati diri, akhirnya muncul UU Tentang Otonomi Daerah pada 1999. UU tersebut memberi peluang bagi daerah untuk mengembangkan wilayahnya secara mandiri. Tentu saja hal ini dimanfaatkan warga Pariangan untuk kembali pada sistem pemerintahan mereka terdahulu, yaitu Nagari.

Hingga kini, sistem pemerintahan Nagari itu masih dipertahankan dan menjadi salah satu ciri khas warga Pariangan.

Masjid yang Tidak Mengadopsi Rumah Gadang

Masjid Ishlah di Nagari Pariangan
info gambar

Salah satu sudut sejarah di Nagari Pariangan yang terkenal adalah Masjid Ishlah yang masih berdiri sejak dibangun pada abad ke-19. Bangunan masjid ini juga menjadi bangunan tertua di Nagari Pariangan. Dulu, Masjid Ishlah dibangun oleh seorang ulama terkemuka di Minang bernama Syekh Burhanuddin.

Uniknya, masjid ini dibangun dengan tidak mengadopsi rumah gadang sebagai arsitektur atapnya, melainkan berbentuk menyerupai kuil-kuil di Tibet. Dari kejauhan, masjid ini tentu menjadi salah satu sudut yang paling mencolok karena bentuk bangunannya yang berbeda dengan rumah gadang lainnya.

Sepanjang berdiri, Masjid Ishlah diketahui baru dua kali di renovasi yaitu pada tahun 1920 dan 1994. Keunikan lain dari masjid ini yaitu terdapat air panas pancuran yang langsung mengalir dari Gunung Merapi. Tentu saja air ini kerap digunakan umat Muslim untuk menyucikan diri sebelum beribadah.

Letaknya yang strategis dan berada di kawasan rumah ibadah, masyarakat di sana selalu menganggap bahwa air panas yang mengalir secara alami itu sebagai sebuah keberkahan bagi masyarakat Nagari Pariangan.

Penasaran untuk berlibur ke Nagari Pariangan?

--

Sumber: Indonesia.go.id | Detik Travel | Netralnews.com

--

Baca Juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini