Kisah Perdebatan dan Kontroversi Soal Hari Jadi Kota Medan

Kisah Perdebatan dan Kontroversi Soal Hari Jadi Kota Medan
info gambar utama

Hari jadi kota Medan yang hingga hari ini dirayakan adalah tanggal 1 Juli. Namun sebenarnya, hingga tahun 1975, peringatan hari jadi kota Medan adalah pada 1 April. Peringatan ini ditetapkan sejak kota Medan ditetapkan sebagai Geementeraad (Dewan Kota) oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1590. Namun kemudian penetapan hari jadi pada tanggal ini mendapat bantahan keras dari berbagai kalangan, termasuk beberapa ahli sejarah.

Alasannya, demi menolak jejak historis berbau kolonial Belanda dan kesan pemberian hari jadi oleh Belanda, banyak pihak yang menuntut untuk peninjauan kembali. Hingga akhirnya pemerintah setempat yang keputusannya diteken oleh Wali Kota Medan kala itu, Sjoerkani, membentuk Panitia Khusus Perumus Hari Jadi Kota Medan pada tahun 1971.

Panitia khusus ini terdiri dari kaum cendekia, pemerhati sejarah, sejarawan, pemangku adat, hingga tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap kompeten untuk perumusan dan peninjauan kembali hari jadi kota Medan.

Diketahui nama-nama yang tergabung dalam panitia khusus ini adalah Prof. Mahadi, S.H. sebagai ketua, Syahruddin Siwan sebagai sekretaris, dan beberapa anggota seperti Letkol Nas Sebayang (Ketua DPRD Medan kala itu), Marium Darus, Lukman Sinar. M. Abduh, M. Solly Lubis, Miharza, Moh. Said, Dada Meuraxa, dan Nasir Tim Sutannaga.

Setelah panitia khusus terbentuk, mereka menggelar seminar khusus selama tiga hari pada 27-29 Maret 1971. Pada seminar ini semua pihak mengumpulkan bahan-bahan atau sumber-sumber informasi yang dapat mendukung penelitian mereka.

Singkat cerita, keluar usulan bahwa hari jadi kota Medan adalah tanggal 1 Juli. Pertimbangannya adalah bertepatan dengan didirikannya perkampungan ‘’Medan’’ oleh Guru Patimpus Sembiring Pelawi yang tertulis dalam Riwayat Hamparan Perak. Dokumen ini ditulis dalam bahasa Karo yang mencatat bahwa Guru Patimpus, tokoh masyarakat Karo, sebagai orang yang pertama kali membuka desa yang diberi nama Medan.

Namun, penentuan ini sempat memicu perdebatan.

Tidak Sepakat Jika Mengacu Pada Riwayat Hamparan Perak

Masjid Besar Medan
info gambar

Sejumlah pakar hukum, ahli fikih Islam, kaum Sufi yang menguasai tasawuf kala itu menentang keputusan panitia khusus kala itu. Tentangan ini menyeruak kala panitia khusus malah sepakat untuk menelaah teks tradisional Riwayat Hamparan Perak sebagai bahan untuk mencari hari jadi kota Medan yang sebenarnya.

Alasannya, naskah tradisional itu anonim alias tidak diketahui siapa penulisnya dan kebenarannya pun masih perlu dikaji secara mendalam. Kelompok ini menganggap bahwa Riwayat Hamparan Perak hanya menjelaskan silsilah keturunan datuk-datuk atau disebut dengan wajir dua belas kuta. Lagipula sebenarnya data tentang Guru Patimpus juga sangat minim.

Penentangan itu sempat menjadi bahan kajian pihak pemerintah kota, hingga akhirnya diberikan tenggat waktu lagi untuk menyempurnakan penelitian tersebut. Panitia khusus itu pun kemudian meneliti sejumlah sumber lain berupa buku-buku adat dan buku-buku sejarah, hingga keterangan dari keturunan datuk-datuk Hamparan Perak dan para tetua adat Karo.

Melansir laman Indonesia.go.id, tidak disebutkan bahwa penyempurnaan penelitian itu menemui jalan buntu, namun tertulis bahwa penetapan hari jadi kota Medan akhirnya tetap menjadi 1 Juli yang secara resmi diteken oleh DPRD Tk. II Medan. Tidak lagi diperingati pada 1 April.

Seharusnya Bisa Dikaji dari Momen Lainnya

Rumah Adat Batak
info gambar

Penetapan hari jadi kota Medan menjadi 1 Juli ini tidak luput dari kritik dan kontroversi. Salah satunya datang dari Sejarawan Universitas Negeri Medan, Dr. Ichwan Azhari, lewat bukunya berjudul Asal Usul Kota Medan dalam Riwayat Hamparan Perak.

Menurut Ichwan, menggunakan naskah Riwayat Hamparan Perak sebagai bahan utama mencari jejak histori kota Medan dipandang sebagai masalah dan terkesan sangat dangkal jika memang penetapan hari jadi kota Medan tidak ingin berbau kolonial.

Ichwan bahkan menyebutkan bahwa hal ini sama saja dengan mencederai naskah Riwayat Hamparan Perak sebagai sebuah karya sastra.

‘’Sebenarnya hari jadi kota Medan bisa direvisi dengan terlebih dahulu menelitinya secara mendalam dan kajian tidak didasarkan pada sebuah wacana teks sastra,’’ tulis Kepala Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan itu dalam bukunya, dikutip Indonesia.go.id.

Dirinya pun melihat jika ingin menolak tanggal 1 April sebagai hari jadi kota Medan dengan dalih buatan Belanda, sesungguhnya masih ada tanggal-tanggal lain yang layak untuk dipertimbangkan.

Seperti tanggal pindahnya Ibukota Asisten Residen Deli dari Labuhan ke Medan, yang juga bertepatan pada hari perpindahan Ibukota Residen Sumatera Timur dari Bengkalis ke Medan pada 1 Maret 1887. Rekomendasi lainnya adalah hari perpindahan Istana Kesultanan Deli dari Labuhan ke Medan pada 18 Mei 1891.

Pada intinya, menggunakan naskah Riwayat Hamparan Perak sebagai rujukan dasar yang diambil dari berdirinya sebuah perkampungan, dinilai kurang tepat.

‘’Kampung tidak mungkin berevolusi menjadi sebuah kota tanpa faktor-faktor luar yang mendukungnya,’’ tegas Ichwan.

Meski begitu hingga kini hari jadi kota Medan pada 1 Juli tetap menjadi acuan masyarakat Medan hingga kini. Untuk diketahui, tahun 2020 ini kota Medan sudah berusia 430 tahun.

--

Sumber: Indonesia.go.id | Sumut.indozone.id | Wikipedia

--

Baca Juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini