Jejak Kerajaan Islam di Tanah Papua

Jejak Kerajaan Islam di Tanah Papua
info gambar utama

Banyak petunjuk baik dokumentasi maupun lisan yang membuktikan bahwa Islam bukan agama baru di Papua. Menurut catatan Rosmaida Sinaga dalam buku Masa Kuasa Belanda di Papua 1898-1962, pada abad ke-16, sultan-sultan Maluku telah menanamkan pengaruh di wilayah barat Pulau Nieuw Gueina, yaitu di Kepulauan Raja Ampat yang meliputi Pulau Waigeo, Salawati, Misool, dan Waigama.

Raja Waigama dan Raja Misool di bawah kekuasaan Sultan Bacan, sedangkan Pulau Waiego dan Pulau Salawati menjadi rebutan Sultan Ternate dan Tidore. Persaingan antara kedua kesultanan itu berdampak pada perluasan kedua kesultanan tersebut.

"Sultan Ternate melebarkan kekuasaannya ke Sulawesi dan pulau-pulau di sebelah barat Halmahera, sedangkan Tidore melebarkan kekuasaannya hingga ke Seran Timur, Nieuw Guiena bagian barat dan semua pulau di antara Nieuw Guiena dan Halmahera," jelas Rosmaida.

Menurut catatan, ada sembilan kerajaan Islam di Papua, Kerajaan Waigeo, Kerajaan Misool, Kerajaan Salawati, Kerajaan Sailolof, Kerjaan Fatagar, Kerajaan Rumbati, Kerajaan Kowiai, Kerajaan Aiduma, Kerajaan Kaimana. Menurut sejarawan, kesembilan kerajaan ini tidak lepas dari tiga kerajaan, Islam di Maluku, yaitu Ternate, Tidore, dan Bacan yang kesemuanya merupakan kerajaan yang berpengaruh di nusantara.

Namun, hingga kini belum ada satu kesepakatan di antara para sejarawan tentang kapan dan bagaimana pastinya Islam masuk ke tanah Papua. Secara umum, sejarawan sepakat bahwa Islam lebih dahulu datang ke tanah Papua daripada agama Kristen.

Kepulauan Raja Ampat merupakan mata rantai penting dalam pelayaran-niaga antara Kesultanan Tidore dan Papua. Sumber daya utama daerah ini adalah sagu yang didatangkan ke Tidore bila penduduk kurang sagu. Produk-produk penting secara ekonomi dari daerah ini adalah teripang dan penyu.

Banyaknya permintaan atas teripang dan penyu menyebabkan kepulauan ini sering dikunjungi oleh pedagang dari Seram Timur, Tidore dan Ternate. Para pedagang tersebut melakukan barter dengan penduduk lokal kepulauan Raja Ampat. Barang dagangan yang dipertukarkan adalah gelang besi putih, aneka piring dan guci dari porselen dan kain Timor yang ditukar dengan teripang, penyu dan sagu.

"Karena pedagang tersebut menetap lama, selama tinggal di daerah tersebut kadang kala ada juga di antara mereka yang menikah dengan penduduk lokal. Percampuran tersebut juga menyebabkan banyak dari penduduk lokal yang menganut agama Islam," ungkap Rosmaida.

Peninggalan Jejak Islam di Tanah Papua

Letak Papua yang strategis menjadikan wilayah ini pada masa lampau menjadi perhatian dunia Barat maupun para pedagang lokal Nusantara sendiri. Daerah ini kaya akan barang galian atau tambang yang tak ternilai harganya dan kekayaan rempah-rempah, sehingga daerah ini menjadi incaran para pedagang.

Menurut catatan Ambary Hasan, sejarah masuknya Islam di Sorong, dan Fakfak terjadi melalui dua jalur. Salah satu bukti autentik keberadaan Islam di tanah Papua yang masih terpelihara rapi adalah Masjid Patimburak. Masyarakat setempat mengenal masjid ini sebagai Masjid Tua Patimburak.

Masjid Patimburak di Fakfak Papua | Foto: Indonesia-Tourism.com
info gambar

Selain bukti-bukti masjid seperti, Masjid Patimburak, Masjid Tunasgain di Pulau Tunasgain, Masjid Tubirseram di Pulau Tubirseram. Selain bukti masjid-masjid tersebut, di Desa Darembang kampung lama juga terdapat peninggalan arkeologis berupa tiang-tiang kayu yang dicat.

Melihat ukiran dan bentuknya, tiang ini diyakini sebagai sokoguru sebuah masjid yang sudah keropos. Terdapat juga bukti lain berupa naskah kuno. Di kota Fakfak, masih tersimpan lima buah manuskrip berumur 800 tahun berbentuk kitab dengan berbagai ukuran yang diamanahkan kepada Raja Patipi XVI. Manuskrip ini berupa mushaf Al-Qur'an yang berukuran 50 cm x 40 cm.

Di daerah monokrawi terdapat bukti-bukti peninggalan penyebaran Islam, di antaranya selain manuskrip yang berbahasa Tidore dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Selain itu masu ada teks khotbah berhuruf Arab berbahasa Melayu, bertarikh 28 Rajab tahun 1319 M

Selain bukti fisik, dapat pula diketahui pola corak Islami atau kehidupan sosio-kultural di beberapa wilayah tanah Papua. Seperti pesta perkawinan, kelahiran, sunatan, pembangunan rumah baru dan memasuki rumah baru. Semuanya diawali dengan membaca kitab berzanzi. Hal ini berarti bahwa agama Islam telah amat lama berkembang dan hidup di tengah-tengah masyarakat setempat.*

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini