Mengenal Tenun Ikat Ganda yang Hanya Ada 3 di Dunia, Salah Satunya di Indonesia

Mengenal Tenun Ikat Ganda yang Hanya Ada 3 di Dunia, Salah Satunya di Indonesia
info gambar utama

Kalau Kawan GNFI ingin melihat Tenun Ikat Ganda yang ada di Indonesia, Kawan GNFI harus menempuh enam puluh kilometer ke arah timur Denpasar. Di sana Kawan GNFI akan menemukan tempat wisata yang sangat berbeda dengan tempat-tempat wisata lainnya di Bali.

Silvita Agmasari, jurnalis Travel Kompas, pernah mengungkapkan bahwa datang ke tempat ini bagai membawa wisatawan mundur ke lorong waktu, saat Bali masih tradisional. Seolah-olah Kawan GNFI menuju sisi lain Bali yang jarang dilihat oleh wisatawan. Mereka menyebutnya Bali Aga atau Bali Kuno.

Nama tempatnya adalah Desa Tenganan.

Desa Tenganan ini diketahui merupakan salah satu desa tertua sekaligus modern di Bali. Pasalnya meski menjadi salah satu desa tertua yang masih menjunjung tinggi nilai leluhur, posisi laki-laki dan perempuan di Desa Tenganan dianggap sama. Tidak ada sistem kasta.

Uniknya, salah satu aturan leluhur yang masih ditaati oleh masyarakat adalah hingga kini tidak ada dan tidak boleh ada praktik poligami ataupun perceraian di masyarakat Tenganan.

Pada 2016 silam, Silvita mengisahkan bahwa Desa Tenganan memiliki luas daerah 917,2 hektar yang dihuni oleh sekitar 700 penduduk. Dianggap sebagai desa paling tua karena para ahli memperkirakan Desa Tenganan sudah ada sejak abad kedelapan. Dan dipercaya merupakan desa asli yang berasal dari Kerajaan Majapahit.

Sayang, saking sangat menghormati nilai leluhur, para wisatawan tak dapat bermalam di Desa Tenganan. Kalaupun ingin, Kawan GNFI harus meminta izin kepada pemangku adat yang terkenal sangat sulit didapat. Bahkan untuk kepentingan pendidikan seperti penelitian, juga tak mudah untuk mendapatkan izin pemangku adat.

Silvita menggambarkan bahwa ketika pertama kali berkunjung ke Desa Tenganan, maka wisatawan akan menemukan kehidupan masyarakat dengan kearifan lokal yang sederhana namun penuh makna. Dari segala sisi dan kegiatan masyarakat yang Desa Tenganan lakukan, terasa sangat kental akan nilai leluhur di dalamnya.

Salah satunya adalah kegiatan Tenun Gringsing.

Tenun Gringsing ini bukanlah kain tenun biasa. Pasalnya cara pembuatannya bisa memakan waktu bertahun-tahun karena menggunakan teknik tenun ganda atau double ikat. Di dunia hanya ada tiga wilayah dan tiga kain yang menggunakan teknik tenun ganda seperti ini.

Selain di Desa Tenganan, Bali, Indonesia, dua tempat lainnya bisa ditemukan di India dan Jepang. Di India, kain ini disebut dengan Patola dan dapat ditemukan di daerah Patan, Gujarat, India. Sedangkan di Jepang, pembuatan kain yang menggunakan metode double ikat ini disebut Kurume Kasuri yang bisa banyak ditemukan di pulau paling selatan bernama Kyushu, tepatnya di Kota Kurume.

Tenun Ikat Termahal dan Tersulit di Dunia

Pembuatan Tenun Gringsing
info gambar

Pembuatan kain tenun menggunakan teknik tenun ganda atau ikat ganda merupakan teknik yang paling sulit dan paling mahal di dunia. Tenun Gringsing sendiri diketahui harganya bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Tidak seperti kain tenun lainnya, pembuatan Tenun Gringsing dimulai dari pengolahan benang dari bahan kapas asli. Benang-benang itu nantinya akan dicelupkan ke dalam minyak kemiri sebagai bahan pewarna alaminya. Diketahui proses pewarnaan ini butuh waktu sedikitnya lima pekan.

Bahkan waktu pewarnaan bisa lebih lama jika proses pewarnaannya harus dilakukan di luar Desa Tenganan. Pasalnya pemberian warna lain seperti biru indigo—yang menjadi salah satu warna khas Tenun Gringsing—memberikan aroma yang sangat menyengat.

Teknik pewarnaan itu tidak hanya dilakukan dalam satu kali proses karena masih ada beberapa warna yang harus ada di dalam kain tersebut. Salah satuya warna merah yang berasal dari tepung mengkudu. Ya, semua bahan pewarnanya masih alami dan harus menggunakan yang alami. Ini karena terkandung nilai-nilai leluhur di dalamnya.

Proses pewarnaan dan pengeringan pada satu warna saja diketahui membutukan waktu tiga bulan. Semua proses pewarnaan harus menunjukkan ciri khas Tenun Gringsing yaitu merah, hitam, putih atau hitam dan putih dan beberapa warna yang mencantumkan biru indigo. Jika belum menunjukkan warna yang khas maka proses pewarnaan dan pengeringan akan terus dilakukan.

Sedikitnya pencelupan warna pada Tenun Gringsing butuh sampai empat kali pencelupan agar menghasilkan kualitas warna yang bagus dan sempurna. Hal ini juga yang dilakukan pada pembuatan Patola di India dan Kurume Kasuri di Jepang. Hanya saja pemaknaan, nilai leluhur, dan filosofisnya yang terkandung bisa berbeda.

Proses penenunan pun harus diperhatikan dengan secara seksama. Pasalnya Tenun Gringsing harus mengusung konsep bahwa semua motif harus simetris dan seimbang. Antara atas-bawah, kanan-kiri, sampai tiga unsur di dalamnya, yaitu keseimbangan antara merah, hitam, dan putih.

Bukan tanpa alasan, tiga warna itu melambangkan manusia, pencipta, dan alam yang harus menggambarkan keseimbangan. Keseimbangan antar manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan Pencipta.

Jadi, waktu paling singkat untuk bisa merampungkan satu buah kain Tenun Gringsing ini yaitu 2-2,5 tahun. Bahkan ada yang pernah memerlukan waktu hingga 5 tahun jika motif yang dibuat lebih sulit. Tak mau gegabah karena Tenun Gringsing adalah kain yang harus mempertahankan nilai leluhur dan filosofisnya yang sangat dalam.

Jika tidak, maka akan sakit.

Ya, masyarakat Desa Tenganan memiliki Tenun Gringsing sebagai ‘’penolak bala’’. Kata gringsing sendiri berasal dari gring yang berarti ‘sakit’ dan sing yang berarti ‘tidak’. Jika digabungkan, maka arti kata gringsing adalah ‘tidak sakit’.

Di Bali, kain Tenun Gringsing kerap digunakan dalam berbagai upacara, seperti upacara potong gigi, pernikahan, dan upacara keagamaan lainnya.

--

Sumber: Kurume Kasur, Japan Visitor | The Story of Ikat, IndoIndians.com | Travel Kompas | Travel Detik

--

Baca Juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini