Minangkabau, Surga Rempah bagi Banyak Bangsa

Minangkabau, Surga Rempah bagi Banyak Bangsa
info gambar utama

Kekayaan rempah-rempah di Indonesia atau Nusantara sudah dikenal sejak dulu kala. Rempah-rempah sendiri adalah setiap bagian dari tumbuhan yang memiliki manfaat kimiawi bagi manusia. Masa penjelajahan bangsa Eropa pada abad 16 dan 17 seringkali diketahui menjadi perkembangan awal puncak ketenarannya.

Namun, perlu Kawan GNFI ketahui, popularitas rempah-rempah Nusantara sebenarnya sudah ada sebelum bangsa Eropa berdatangan. Sebelum memasuki masa masehi, jalur rempah sudah tercipta di mana pantai barat Sumatra menjadi pelabuhan utama.

Bangsa-bangsa di dunia mengetahui Nusantara sebagai sumber komoditas rempah. Dari situ, bangsa Austronesia yang merupakan bagian peradaban bangsa Nusantara, dikenal bangsa-bangsa besar lainnya. Pada masanya merekalah yang mendiami sejumlah tempat di Sumatra dengan mendirikan kerajaan dan berhubungan dengan dunia luar.

Peradaban bangsa Austronesia di pantai barat Sumatra dengan bangsa lain pun kian berkembang karena betapa pentingnya rempah bagi kehidupan pada masa itu. Hubungan antar bangsa kian erat, sehingga perdagangan internasional tidak terelakkan. Rempah-rempah dari wilayah pantai barat Sumatra itu pun menjadi daya tarik karena sulit ditemukan di tempat lain.

Kayu Manis, Rempah yang Pertama Kali Beredar

Ketika membicarakan sejarah rempah-rempah di Nusantara, penjelasannya tidak bisa lepas dari wilayah Indonesia timur terutama pulau Maluku. Pada abad ke-16, Maluku menjadi tempat pergumulan bangsa Eropa di mana rempah mereka pala dan cengkeh menjadi primadonanya. Hanya saja, rempah-rempah tidak cuma ada di Indonesia bagian timur, tetapi juga ada di bagian barat.

Bangsa Austronesia, bangsa yang mendiami Paparan Sunda atau Sundaland sebuah dataran yang terbentuk sebelum zaman es ketiga (11.000-10.000 sebelum masehi), menjadi orang-orang yang menggerakkan peredaran rempah lewat jalur laut.

Pada masanya, teknologi kemaritiman bangsa Austronesia sangatlah mumpuni dengan penggunaan perahu bercadik. Ada perahu bercadik satu, ada juga dua. Semakin banyak cadiknya, semakin jauh pula perjalanannya. Perjalanan bangsa Austronesia sebagian menyusuri pantai sekitar yang disebut jalur bakau yang tersebar di pesisir pantai. Sebagian lagi, mereka menjelajah hingga benua Afrika.

Dengan peradu bercadik, bangsa Austronesia mengangkut komoditas utama yaitu kayu manis (Cinnamomum burmannii). "Itu spice atau rempah pertama yang diedarkan di Nusantara," terang Etnobiolog LIPI, Ary Prihardhyanto Keim, dalam webinar yang digelar Membumi Lestari yang bertajuk Minangkabau dan Peradaban Austronesia di Jalur Rempah Dunia pada Selasa (1/9/2020).

Reyna Sima.
info gambar

Kerajaan Kalingga (letaknya sekarang ada di daerah Pekalongan, Jawa Tengah) yang diperintah Ratu Shima (sekitar 674-732 M) menjadi contoh yang menjadikan kayu manis sebagai komoditas utama. "Kedatuan terbesar di Nusantara adalah Kalingga yang berada di Jawa bagian utara, yang produk utamanya adalah kayu manis. Saat itu gula belum dikenal, tebu memang sudah ada, tetapi belum butiran gula. Ini memang pemanis dan manusia menyukai manis."

Bukti bahwa Kerajaan Kalingga mempunyai komoditas utama kayu manis bisa ditemukan dari nama lainnya. "Sebenarnya kerajaan itu bukanlah Kalingga namanya. Kalau berdasarkan etnobiologi yang diperdagangkan kayu manis, dan kayu manis bahasa lainnya di Nusantara adalah medang. Jadi inilah Kerajaan Medang," kata Ary. "Dan ini tercatat sampai ke Filipina. Di Filipina ada hikayat tentang Reyna Sima. Reyna ratu yang adil, orang mencuri dipotong tangannya. 'Kan seperti legenda Ratu Sima di Jawa," sambungnya.

Gambir dan Kayumanis Minangkabau

Gambir (Uncaria) dan kayu manis merupakan komoditas penting yang ditemukan di kawasan Minangkabau, yang cakupan wilayahnya berada di barat Sumatra (Sumatra Barat, Bengkulu, dan separuh daratan Riau).
Pusat Kerajaan Melayu bernama Minanga yang berdiri sejak abad ke-7 mempunyai kuasa dalam memonopoli dua komoditas ekspor pertama dari wilayah Sumatra.

Gambir.
info gambar

Selain kayu manis - yang bisa ditemukan di wilayah Kerinci yang terletak di bagian barat Sumatra - juga ada gambir. "Yang tercatat ekspor pertama kali justru dari Sumatra lewat gambir. Gambir ini termasuk ekspor pertama Indonesia dan luar. Bahkan sampai sekarang India masih mengimpor gambir," terang Ary.

Dalam ilmu kesehatan India yang berusia sekitar 2.500-3.000 tahun sebelum masehi, Ayurveda, gambir begitu penting. Ary menjelaskan, gambir tidak ada di India dan orang-orang Arya tidak memiliki pengetahuan berlayar. "Jadi India berdagang kita. Kemungkinan orang Dravida pertama kali yang menggunakan gambir dibandingkan orang Arya."

Kemenyan, Wewangian untuk Ritual Keagamaan

Tanaman kemenyan bila dibakar memiliki wewangian yang khas. Di Indonesia, kemenyan Toba atau Tarutung di Sumatra Utara sering kali dikatakan yang terbaik. "Kemenyan dari sana (Tarutung), yang terbaik di tanah air kita," kata tokoh dalam film Kereta Api Terakhir (1981), Sersan Tobing, yang diperankan oleh Gito Rollies ketika membanggakan kemenyan dari tanah kelahirannya.

Untuk masyarakat awam, kemenyan kerap kali identik dengan ritual-ritual pemanggilan setan. Namun, penggunaan kemenyan lebih dari itu pada zaman lampau.

Pada zaman Mesir Kuno misalnya, prosesi pengawetan jenazah atau yang disebut mumi juga memerlukan wewangian kemenyan. Hanya saja, ada suatu masa impor kemenyan putus dan kualitas wewangian untuk mumi menurun. Ratu Mesir dinasti ke-16 Hatshepsut lalu turun tangan mengirimkan ekspedisi mencari produk wewangian ke timur yang kemungkinan ke Nusantara.

Kemenyan
info gambar

Pada masa setelahnya, pembakaran kemenyan juga sering dipakai dalam ritual agama-agama samawi yakni Yahudi, Nasrani, dan Islam. "Diduga mereka (Yahudi) melakukan itu (pembakaran kemenyan) semasa pendudukan di Mesir," terang Ary. "Agama Yahudi membakar dupa. Mereka bilang asalnya dari timur (Nusantara), dan kemungkinan besar itu adalah kapur barus dan kemenyan." Dari situ, kemungkinan ada koneksi Kerajaan Minanga dengan bangsa Timur Tengah terkait komoditas kemenyan.

Orang-orang Islam di tanah Arab juga memakai kemenyan untuk wewangian pada masa tersebut. Tak jauh berbeda dengan Yahudi, digunakannya pun juga dilakukan ketika menggelar ritual keagamaan. "Supaya lebih fokus ibadah. Rasul (Muhammad SAW), juga memerintahkan membakar kemenyan supaya wangi," kata Ary.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini