Pandemi Covid-19 sebagai Pemicu Produktivitas Manusia

Pandemi Covid-19 sebagai Pemicu Produktivitas Manusia
info gambar utama

Dalam bukunya yang berjudul Inside Rebellion, Weinstein mengangkat konsep reisilence, atau gaya pegas. Gaya pegas yang dimaksud, adalah sebuah proses ketika manusia mendapat atau merasakan tekanan, yang kemudian berujung pada terjadinya perubahan. Eksplorasi tentang konsep resilience tersebut adalah hal yang menarik, terutama ketika dihubungkan dengan pandemi Covid-19 yang terjadi sekarang.

Pada situasi pandemi,masyarakat Indonesia sangat merasakan dampaknya. Kasus tentang dirumahkannya para pekerja, pelajar yang harus mau belajar tanpa didampingi guru sekolah, pemerintah yang harus kerja efisien dan efektif memunculkan sebuah gambaran tentang tekanan. Demi mengatasi tekanan tersebut, semua pihak harus—mau tidak mau—melibatkan diri mereka masing-masing, demi terwujudnya perubahan menuju arah yang lebih baik.

Respons positif itu tampaknya sudah terjadi. Teknologi berkembang pesat, pekerjaan dilakukan dari rumah, dengan bantuan media online, tercekiknya masyarakat yang kehilangan pekerjaan, diatasi dengan saling membantu sesama. Berkaca pada salah satu sastrawan paling berpengaruh di Indonesia, Pramoedya Ananta Toer yang merespons keadaan tekanan selama masa penjaranya di Pulau Buru, ia melakukan perubahan yang didasari oleh tekanan itu sendiri, dengan hasil yaitu buku Bumi Manusia, dalam tetralogi Pulau Buru.

Resilience, atau bisa disebut juga dengan pemicu, adalah hal yang muncul secara positif, para musisi berkarya melalui media sosial, beberapa pengarang menulis kumpulan cerita atau puisi yang kemudian dibagi secara gratis dalam bentuk ebook, Artinya, dapat disimpulkan bahwa produktivitas selama masa pandemi, muncul dengan begitu semarak. Lalu sebenarnya apa saja proses yang mendasari proses produktivitas karya tersebut? Bagaimana proses resilience atau “pemicuan” kekuatan masyarakat untuk menghadapi pandemi tersebut?

Solidaritas

Emile Durkheim, seorang pakar sosiologi mengangkat solidaritas sebagai representasi dari kepercayaan yang muncul di antara masyarakat. Situasi pandemi virus korona, menuntut masyarakat untuk saling membantu, dan yang terpenting mau membantu sesama. Produktivitas masyarakat, dari segi seni, industri dan bahkan politik, menggambarkan bagaimana keterikatan antar sesama manusia Indonesia masih ada.

Kemauan untuk membangun negara kembali itu muncul, saat ada rasionalitas yang mendasari suatu pergerakan.Artinya kolektivitas dalam berkarya melalui solidaritas menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki rasionalisme nasional, kemauan untuk membangun bangsa. Seniman menuangkan seni mereka dalam wujud apresiasi kemanusiaan, sastrawan muncul sebagai pendingin situasi dalam menyikapi lalu lalang data dan informasi. Timbal balik antar manusia menjadi penting sebab manusia adalah makhluk yang membutuhkan, dengan tujuan menjadi berkembang.

Solidaritas dalam situasi pandemi, memaksa semua orang untuk menjadi produktif, meski tidak semua orang mampu memanfaatkan situasi ini sebagai bentuk produktivitas. Produktivitas adalah sesuatu yang muncul, dari motivasi bersama untuk mencapai tujuan. Pandemi Covid-19, ternyata dapat dianggap sebagai motivasi yang memunculkan kemanusiaan sebagai tujuan akhirnya.

Ernest Hemingway.
info gambar

Ernest Hemingway memberi sebuah gambaran menarik mengenai proses solidaritas dalam keterbatasan. Dalam novelnya yang berjudul The Old Man and the Sea, ia menggambarkan tokoh “Old Man” sebagai orang tua yang keras kepala. Ia begitu nekat, untuk menangkap ikan marlin di Perairan Kuba, bahkan di usia senjanya. Namun, seorang anak muda bernama Santiago membantu pria tua itu, yang kemudian sebagai gambaran solidaritas dalam situasi tertekan. Maka dari itu, pandemi harus dihadapi dengan sebuah refleksi sosial, yang dapat diwujudkan dalam bentuk solidaritas, dan itu adalah alasan mengapa manusia memiliki peran riil, sebagai makhluk sosial.

Produktivitas sebagai Proses Rekreasi

Psikologi positif, adalah cara yang paling tepat untuk menghadapi situasi pandemi. Dalam hasil risetnya, Dana Riksa Buana dari Universitas Mercu Buana menyimpulkan ada satu alasan mengapa masyarakat Indonesia mengalami begitu banyak stres dan kesuntukan, dan cara untuk mengatasinya adalah menerapkan psikologi positif l. Psikologi positif digambarkan sebagai cara untuk menghadapi situasi dengan pandangan yang bahagia. Dan salah satu cara membahagiakan diri yang paling mudah adalah berkarya.

Artinya menjadi produktif, dapat digunakan sebagai solusi mengatasi kejenuhan, rekreasi dan hiburan. Dengan menyediakan karya, maka masyarakat akan mendapatkan pemenuhan dalam unsur hiburan, umumnya melalui media online. Sebagai contoh, untuk mengatasi kejenuhan, para penulis yang memiliki waktu luang lebih, membuat karya yang kemudian disebarluaskan secara umum dan gratis. Ketika masyarakat yang gemar membaca, mereka akan mampu memanfaatkan tulisan tersebut sebagai proses literasi.

Beberapa aspek di luar urusan medis ternyata dapat memengaruhi kesehatan seseorang. Ekonomi, pendidikan, status sosial, budaya, keluarga dan media adalah beberapa faktor yang dapat menentukan sehat atau tidaknya seseorang. Karya, dalam segi produktif termasuk dalam hasil media, dan ketika karya dibuat atau dinikmati, maka karya tersebut akan mampu berimbas pada kesehatan seseorang.

Maka, di situasi pandemi saat ini, produktivitas adalah hal yang menggembirakan. Ketika masyarakat menjadi produktif, mampu mencipta dan orang lain mampu menikmati karya tersebut dengan respons positif, maka dapat dipastikan angka stres akan menurun.

Kebutuhan

Suatu hari, Chairil Anwar dalam kondisi ekonominya yang terpuruk, harus meminta honor terlebih dahulu dari redaktur Majalah Horizon, H.B. Jassin. Dalam kondisi mendesak, uang atau ekonomi menjadi hal yang paling riskan untuk dilemahkan. Bulan lalu, kompas.com melansir pandemi Covid-19, telah memberhentikan 1,9 juta orang dari pekerjaannya. Ekonomi yang mandek adalah hal yang sangat ditakuti oleh semua orang, sebab ini adalah urusan yang menyangkut “perut” dan nyawa secara langsung. Tidak dapat uang tidak makan.

Menurut ahli psikologi Universitas Harvard, McCelland, ada tiga hal yang mendasari manusia untuk bekerja: 1. Kebutuhan untuk berprestasi, 2. Kebutuhan untuk bergaul, 3. Kebutuhan untuk menguasai sesuatu. Saat ini, masyarakat kehilangan kesempatan tiga hal itu, yang kemudian diperburuk dengan kehilangan pekerjaannya. Maka, menjadi produktif adalah solusi yang bisa diterapkan sebagai upaya pemenuhan tiga hal mendasar tersebut.

Produktivitas, dapat digolongkan sebagai urgensi baru untuk memenuhi kebutuhan hidup. Yang biasa menjahit baju, beradaptasi menjadi penjahit masker. Toko-toko harus beradaptasi untuk mampu menjadi onlineshop. Para pemateri, kini berubah menjadi pemateri seminar daring. Semua produktivitas itu, adalah representasi manusia yang harus memenuhi kebutuhan, demi kelangsungan hidupnya.

Pandemi haruslah menjadi hal yang positif. Melalui produktivitas, penulis berharap masyarakat bisa menjadi lebih baik lagi, dalam rangka menghadapi pandemi ini. Ketika masyarakat menjadi produktif, maka timbullah solidaritas yang mampu mengangkat unsur kemanusiaan. Menjadi produktif saat pandemi, juga berarti ada kebahagiaan yang terbagi, ide-ide yang tertuang melalui rekreasi dan psikologi positif. Yang terakhir, masyarakat harus mampu menjadi produktif, demi memenuhi kebutuhan dan kelangsungan hidup di saat genting pandemi Covid-19 yang sedang dihadapi sekarang.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini