Menjaga Tradisi dan Nilai Budaya Tenun Ikat Sumba

Menjaga Tradisi dan Nilai Budaya Tenun Ikat Sumba
info gambar utama

Kawan GNFI, selain terkenal dengan panorama yang memukau dan alam yang masih lestari, Pulau Sumba yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), ternyata memiliki warisan leluhur yang patut kita jaga, yakni kain tenun ikat Sumba.

Kain tenun ikat Sumba adalah salah satu bentuk dari kekayaan budaya yang dimiliki oleh Provinsi NTT. Tenun ikat ini merupakan kain nusantara nan eksotis yang diciptakan oleh para seniman tenun (artisan) dari Sumba Timur. Kain tenun ikat Sumba bukanlah kain yang bisa dikerjakan secara sembarangan, yang mengerjakannya pun bukanlah sembarang orang.

Jenis dan corak kain tenun ikat Sumba sudah lama populer karena keunikan cara pembuatannya serta bahan yang digunakan. Motif dan proses pembuatan kain tenun ikat Sumba memerlukan waktu relatif lama, yakni empat hingga enam bulan untuk sehelai kain tenun berukuran lebar.

Daya pikat tenun ikat tradisional itu memang sudah kadung populer sejak berabad-abad lalu, dan tradisinya sebagian masih dijaga oleh para wanita Sumba. Mereka menangani seluruh proses tenun ikat mulai dari memilih motif, mempersiapkan bahan-bahan (benang, pewarna), proses penenunan, hingga pada akhirnya menghasilkan selembar kain.

Upaya menjaga kelestarian nilai kain tenun ikat Sumba

Salah satu upaya yang dilakukan untuk menjaga kelestarian tenun adat ini dilakukan oleh Yayasan Sekar Kawung. Tujuan utama yayasan ini adalah untuk menguatkan akar budaya tekstil di Desa Lambanapu dan Desa Mauliru di Sumba Timur, merestorasi lingkungan hidup dengan tanaman-tanaman serat dan pewarna alam, serta membangun fondasi ekonomi berkelanjutan di desa-desa itu dengan menjadikan budaya tenun sebagai poros utamanya.

''Mahalnya tenun ikat Sumba selain dinilai dari pemrosesan yang cukup lama, juga terkait soal nilai dan budaya leluhur tenun ikat itu sendiri. Memang, harganya mahal, tapi kain tenun ikat Sumba nyatanya punya pasar tersendiri,'' jelas Chandra Kirana, Ketua Yayasan Sekar Kawung, dalam diskusi online ''Merawat Alam, Merawat Warisan'', Selasa (22/9/2020).

Ia menjelaskan, di Desa Lambanapu terdapat banyak sekali tanaman kapas yang merupakan bahan dasar kain. Masyarakat yang bekerja sebagai penenun, menggunakan kapas yang akan dipintal menjadi benang. Mereka menanam pohon kapas di sekitar halaman rumah, dekat dengan persawahan atau ladang.

kapas bahan dasar tenun ikat sumba
info gambar

Namun sekarang, Ibu Kirana--sapaan kami kepadanya--menjelaskan bahwa semakin sedikit yang bisa memintal benang dari kapas ini. Mungkin karena proses membuatnya lama dan semakin jarang yang bisa memintal.

''Itu yang kita upayakan agar mereka para wanita muda terus menjaga makna tenun ikat Sumba agar tak lari dari ruhnya. Karena salah satu ruh dari tenun ikat Sumba adalah soal proses pembuatan dan nilai budayanya,'' jelasnya.

Ia juga menyebut bahwa memang ada kendala soal tradisi tenun-menenun ini. Hadirnya kain tenun ikat yang berbahan dasar sintetis yang dijual di beberapa kota di wilayah Sumba, juga nyatanya cukup mendegradasi semangat para wanita-wanita muda Sumba untuk menjaga nilai-nilai leluhur ini.

Namun sekali lagi Ibu Kirana meyakinkan mereka bahwa nilai kain tenun Sumba yang orisinal tak dapat tergantikan oleh apapun, karenanya perlu upaya yang besar untuk menyedarkan masyarakat untuk menjaga warisan budaya tersebut.

Saat ditanyakan soal campur tangan pemerintah daerah untuk menjaga nilai budaya ini, Ibu Kirana menjelaskan dengan berat hati bahwa belum ada sepenuhnya campur tangan pemerintah maupun pihak terkait soal pemberdayaan masyarakat atas budaya kain tenun ikat Sumba.

Hal lain yang menjadi sorotan Yayasan Sekar Kawung soal kain tenun ikat Sumba adalah proses pewarnaan yang menggunakan pewarna alami dari pohon atau tanaman yang boleh terbilang cukup langka saat ini dan pohon yang memiliki serat untuk mengikat bahan dasar kain.

Sebut saja beberapa pohon penghasil serat untuk yang tahan kekeringan, seperti Randu Alas (Bombax ceiba), Widuri (Calotropis gigantea), dan Gewang (Corypha gebanga).

pohon serat untuk bahan dasar kain tenun ikat sumba
info gambar

Pohon Gewang, seperti ia jelaskan, merupakan pohon yang hanya berbuah atau berbunga sekali seumur hidupnya, kemudian mati. Tumbuhan sejenis palem ini, juga dikenal dengan namanama lain di pelbagai daerah, seperti Gabang (Dayak Ngaju), Pucuk (Betawi), Pocok (Madura), Ibus (Sasak), dan Silar (Minahasa).

Gewang tumbuh menyebar di dataran rendah hingga ketinggian sekitar 300 mdpl, mampu beradaptasi dan toleran dengan lahan dan iklim kering, seperti halnya di wilayah NTT. Namun sayangnya di NTT pohon Gewang saat ini sudah sangat langka.

Beliau juga mengatakan, bahwa apa yang ia lakukan saat ini adalah bentuk dorongan moral untuk menjaga kekayaan alam dan warisan budaya Indonesia. Sosok yang merupakan seorang konsultan itu juga mengaku kerap melakukan pendanaan mandiri untuk menjelajah beberapa wilayah di Indonesia.

Namun ia juga menyebut ada beberapa pihak yang baik hati yang memberikan dukungan pendanaan atas program maupun kegiatan yang dilakukan Yayasan Sekar Kawung.

Proses penenunan yang memakan waktu cukup lama

Yang menarik, satu lembar kain tenun ikat Sumba memerlukan 42 langkah. Persiapan dan proses pembuatan yang cukup lama itu membuat harga kain tenun menjadi relatif mahal. Lain itu, mahalnya harga kain tenun ikat Sumba juga dipengaruhi juga oleh jumlah orang yang bekerja.

Pekerjaan dimulai dari proses lamihi, yakni proses memisahkan biji dari kapas hingga proses warirumata atau proses penuntasan. Seperti yang dibeberkan Ibu Kirana saat wawancara khusus dengan GNFI, Sabtu (26/9), ada beberapa proses dari awal hingga akhir kain tenun ikat Sumba, antara lain:

Pemintalan benang

pemintalan benang dari kapas
info gambar

Yang pertama tentunya proses pemintalan benang dari pohon kapas. Benang ini yang kemudian dijadikan bahan dasar kain tenun ikat Sumba. Proses ini dikenal dengan nama ''Pahudur''. Kapas asli Sumba juga dikenal dengan sebutan ''Kamba humba'' oleh masyarakat sekitar. Untuk memintalnya, mereka membutuhkan tempurung kelapa dan kin.

Menggambar motif kain

Menggambar motif tenun ikat Sumba
info gambar

Selanjutnya sebelum melakukan proses tenun, juga dibuatkan gambar motif tenun dengan menggunakan pensil. Soal waktu menggambar motif, lamanya tergantung rumit dan tidaknya motif yang bakal digambar. Motif ini rata-rata akan diselesaikan dalam kurun sepekan.

Membuat ikatan kain

Mengikat kain tenun Sumba
info gambar

Selanjutnya ada proses mengikat kain sebelum ditenun. Lamanya mengikat kain tergantung motif yang bakal dibuat. Untuk menjaga ikatan agar tak lepas, lazimnya mereka biasa mengikat dengan tali rafia. Para wanita sumba melakukan ikatan kain secara berkelompok, mereka biasanya menyiapkan sirih pinang sebagai camilan saat melakukan ikatan kain.

Sayangnya, menurut Ibu Kirana, proses ini rentan akan kotoran yang menempel pada kain itu saat diikat, karena para wanita Sumba melakukannya hanya beralaskan tikar. Perlu diupayakan ada tempat khusus yang bersih agar kemurnian dan kebersihan kain terjaga.

''Kami masih melihat mereka melakukan proses ikat kain pada sembarang tempat, terkadang lalu lalang hewan-hewan seperti babi dan anjing, yang tentu saja tempat itu bisa mengotori kain yang sedang dilakukan proses ikatan,'' bebernya.

Menyiapkan pewarna alami

Proses pewarnaan alamia tenun ikat Sumba
info gambar

Kemudian proses yang tak kalah penting adalah menyiapkan pewarna alami untuk kain tenun ikat Sumba. Pewarna alami berasal dari beberapa tanaman, sebut saja pohon Mengkudu yang diambil akarnya untuk menciptakan warna merah, dan pohon Nila yang bisa menghasilkan warna biru alami.

Akar Kombu (Megkudu) yang sudah ditumbuk dicampur dengan daun Loba yang kering, lalu keduanya campur dan dimasukkan ke dalam air. Hasil endapan air tadi kemudian digunakan untuk merendam kain yang akan diwarnai warna merah selama sehari semalam.

Masyarakat juga memanfaatkan kulit pohon dan bunga yang ada di desa itu untuk membuat warna alami kuning kusam pada kain. Kulit pohon akan ditumbuk halus dan dicampur dengan Kemiri yang sudah ditumbuk halus, kemudian diberi air. Lalu kain kemudian dimasukkan dan direndam selama sehari semalam, baru kemudian dijemur.

Lalu untuk membuat warna biru, pohon Nila yang terdiri atas batang dan daun direndam, lalu air hasil rendaman itu diendapkan hingga menghasilkan warna biru legam. Poses pewarnaan kain untuk warna ini juga sama, yakni direndam selama sehari semalam.

Kain tenun Sumba
info gambar

Masyarakat juga membuat stok pewarna alami ini dan disimpan dalam perkakas yang mereka sebut Indigo. Ibu Kirana menjelaskan, bahwa saat ini masyarakat Sumba sudah lebih banyak menyiapkan stok pewarna buatan.

''Hal itu mungkin saja banyak sekali kain yang akan dilakukan pewarnaan. Dan dari kabar yang saya peroleh terakhir, mereka mulai menerima banyak sekali pesanan,'' ungkapnya bangga.

Proses penenunan

Proses tenun ikat Sumba
info gambar

Terakhir adalah bagian tersulit, yakni proses menenun. Satu lembar kain tenun ikat Sumba lazimnya dikerjakan oleh 3 sampai 10 orang. Ada orang yang mencari bahan, memintal benang, mewarnai benang, menenun, dan juga membuat motif. Sehingga 42 proses penyelesaian satu helai kain tenun bukanlah angka mengada-ada.

Lain itu, upaya yang dilakukan oleh yayasan adalah memupuk terus kecintaan masyarakat adat terhadap akar nilai budaya yang tentu saja bakal berdampak pada meningkatnya ekonomi masyarakat.

''Semangat untuk menjaga itu yang terus kita suarakan, dan saat ini mereka sudah mulai sadar dan mandiri bahwa nilai budaya leluhur juga mampu mengangkat harkat dan martabat mereka sebagai penenun kain tenun ikat Sumba.''

Perlunya vokasi dan literasi intens

Ibu Kirana juga mengatakan bahwa untuk menjaga dan melestarikan budaya penenunan kain tenun ikat Sumba dibutuhkan konsistensi yang tak kenal lelah. Lain itu, butuh dilakukan vokasi atau pendampingan bagi para penenun dan artisan terkait manajemen waktu, tenaga, serta proses pemasaran yang tepat.

Dibutuhkan pula lini eksposur yang militan, agar budaya ini terdengar ke seluruh penjuru negeri, bahkan tenar hingga mancanegara.

Dan untuk mencapai itu, Yayasan Sekar Kawung telah melakukan beragam hal untuk mewujudkan terjaganya akar dan nilai budaya kain tenun ikat Sumba sekaligus meningkatkan ekonomi masyarakat Sumba sebagai pengrajin dan artisannya.

''Jadi, kita juga mendorong mereka untuk terus berinovasi dengan motif-motif baru yang menarik, namun tetap lekat dengan nilai seni dasar leluhur. Karena kalau motifnya itu-itu saja, konsumen akan bosan," tandasnya.

Soal eksposur, yayasan juga kerap menggelar pameran saban tahunnya untuk memperkenalkan budaya tenun ikat Sumba. Terakhir, pameran itu dilakukan di Museum Bank Mandiri, Jakarta, pada 2019.

Mimpi lain Ibu Kirana adalah, bahwa dari setiap daerah atau wilayah yang memiliki keanekaragaman budaya untuk dibuatkan Museum.

''Mimpi saya membuat museum disetiap wilayah yang memiliki tradisi seni dan budaya. Ya salah satunya di Sumba ini, harus ada itu museumnya di sana,'' harapnya.

Lebih jauh lagi ia berharap agar anak-anak muda atau masyarakat Indonesia pada umumnya, harus lebih menghargai akar dan nilai budaya dari sebuah hasil karya kedaerahan. Memang, banderol kain adat di beberapa provinsi di Indonesia harganya sangat mahal, tapi baginya itu pantas, karena sebenarnya nilai budaya tak bisa dihargai dengan nilai uang berapa pun.

Upaya lain yang dilakukan untuk menjaga marwah tenun ikat Sumba adalah dengan membawa para penenun ke museum-museum yang berada di luar negeri, agar mereka tahu betapa tinggi nilai kain tenun adat mereka itu di mata dunia internasional.

''Beberapa dari mereka kami ajak untuk melihat langsung pameran di museum yang ada di luar negeri. Mereka takjub, bahwa hasil karya mereka begitu dihargai di sana. Nah, kami berharap bahwa efek psikologis itu yang akan membawa mereka untuk terus melestarikan adat dan budaya leluhur mereka,'' bebernya.

Tak bisa dimungkiri memang, dalam dunia fesyen di Indonesia kain tenun ikat Sumba mampu menarik peminat yang cukup banyak. Tercatat banyak para desainer yang merancang pakaian dengan menggunakan bahan dasar kain tenun ikat Sumba.

Meski demikian, para desainer harus sangat berhati-hati dalam merancang busana yang terbuat dari kain tenun ikat Sumba, salah satunya adalah kain jangan sampai mengalami proses pengguntingan, agar nilai seni dari kain tersebut tetap utuh lestari.

''Kain tenun ikat Sumba pada dasarnya tidak mudah dikombinasikan dengan kain lain, bahannya saja beda. Namun harus ada upaya juga yang dilakukan bahwa nilai budaya kain tersebut tak hilang, tapi tetap tampil keren dan modern,'' pungkasnya.

Baca juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Mustafa Iman lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Mustafa Iman.

Terima kasih telah membaca sampai di sini