Saksi Mata: Menyaksikan "Pendudukan" Sekolah-sekolah Tionghoa Pasca G30S/PKI

Saksi Mata: Menyaksikan "Pendudukan" Sekolah-sekolah Tionghoa Pasca G30S/PKI
info gambar utama

Sekarang ini, di berbagai lokasi di kota Surabaya ini, banyak sekolah-sekolah yang muridnya semuanya warga keturunan Tionghoa dan media pengajarannya ada juga juga memakai bahasa Tiongkok. Mereka tumbuh, berkembang, dan hidup di tengah majemuknya masyarakat Surabaya. Saya sendiri tidak mengetahui apakah sekolah-sekolah itu didanai oleh pemerintah RRT (Republik Rakyat Tiongkok) apa tidak, tapi yang jelas sistim pendidikannya hampi sama seperti yang ada di negara RRT. Gedungnya besar-besar dan bangunannya kokoh serta fasilitasnya lengkap.

Dulu, pada tahun-tahun 50-anm waktu saya di sekolah Madrasah saya mengalami menulis pakai sabak dan menghapusnya pakai tangan; pada saat-saat itu pula sekolah-sekolah untuk masyarakat Tionghoa sudah dikelola dengan modern, disiplin dan lengkap fasilitasnya.

Di Kampung saya Kapasari gang 1 itu bersebelahan dengan gedung sekolah Tiongkok yang pintu gerbang masuknya berada di jalan Ngaglik. Sekolah ini besar dan ada teater terbuka nya untuk kegiatan tari dan nyanyi. Saya sering mengintip kegiatan murid-murid sekolah ini dari pintu sekolah yang berada di Kampung Kapasari gang 1 ini. Kegiatan kesenian mereka yang saya intip ini memang menakjubkan, di panggung terbuka itu saya lihat kemegahan tari-tarian dengan busana dan menyanyi dalam bahasa Mandarin.

Pemberontakan PKI tahun 1965 itu ditenggarai ada keterlibatan RRT, misalkan alat-alat yang dipakai menyiksa para jendral TNI AD itu saya baca di media, adalah buatan Cina. Senjata jenis Cung (Tjung) yang dipakai para anggota PKI adalah buatan RRT, dan tokoh-tokoh PKI juga punya hubungan erat dengan partai komunis Cina. Masa itu ada dua poros negara komunis terbesar di dunia dan sangat berpengaruh di Afrika, Amerika Latin dan Asia bahkan di Eropa juga yaitu Uni Sovyet dan RRT. Pemerintah komunis Kuba dekat dengan Uni Sovyet, demikian pula negara Mozambik, Anggola di Afrika. Sedangkan Partai Komunis Indonesia PKI dekat dengan RRT. Para tokoh-tokoh penting PKI sering lalu lalang ke negeri Cina untuk bertemu dengan tokoh-tokoh Partai Komunis RRT.

Karena itu, pasca G30S/PKI, kemudian muncul perasaan anti-Cina dimana-mana dan kalau tidak salah negara juga memutuskan hubungan diplomatik dengan RRT. Meskipun demikian, seingat saya tidak ada huru hara untuk merusak rumah-rumah atau toko-toko milik orang Cina. Yang ada adalah pendudukan sekolah-sekolah milik keturuan Tionghoa ini oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia atau KAMI dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia atau KAPPI. Mungkin ada organisasi pemuda lainnya yang ikut melakukan pendudukan sekolah-sekolah Cina, tapi saya tidak tahu; saya hanya tahu KAMI dan KAPPI tadi.

Saya dan teman-teman kampung hanya bisa melihat “penyerbuan” sekolah-sekolah Cina ini yang ada di dekat rumah saya di daerah Ngaglik (sekarang menjadi gedung SMA) dan yang di Jalan Kapasari (pernah menjadi bagian dari Fakultas Farmasi Unair, Akademi Analis Medis –AAM dan sekarang menjadi gedung milik PWI). Gedung SMP 8 di Jalan Bunguran dekat Pasar Atom dimana saya bersekolah dan gedung yang pernah dipakai oleh ITS di Jalan Baliwerti (dekat Alon-Alon Contong) juga bekas sekolah Tionghoa.

Pendudukan sekolah-sekolah ini itu dilakukan setelah ribuan masa menghancurkan kantor-kantor PKI di berbagai kota tidak hanya di Jawa Timur tapi meluas dimana-mana di nusantara ini.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

Terima kasih telah membaca sampai di sini