Kisah dan Bukti Peradaban Manusia Nusantara dengan Gajah yang Benar Adanya

Kisah dan Bukti Peradaban Manusia Nusantara dengan Gajah yang Benar Adanya
info gambar utama

Jika kebesaran peradaban bangsa Mongol dan Amerika dibangun bersama kuda, maka berbagai bangsa di Asia dan Afrika, seperti Indonesia, dibangun bersama gajah. Diperkirakan, gajah bukan hanya digunakan sebagai alat transportasi atau tenaga kerja, tetapi juga sebagai bala tentara.

Kalimat tersebut GNFI kutip dari artikel Mongabay Indonesia yang ditulis oleh Taufik Wijaya, Junaidi Hanafiah, Dedek Hendry, dan Rahmadi Rahmad pada 27 Desember 2016 silam dengan judul Membunuh Gajah, Menghancurkan Jejak Peradaban Bangsa Indonesia.

Di dunia ini salah satu kisah tentang tentara gajah yang paling terkenal adalah Kisah Abrahah. Namun setelah GNFI membaca artikel Mongabay Indonesia tersebut, rupanya nusantara—masa jauh sebelum Republik Indonesia terbentuk—memiliki kisah tentang gajah yang tak kalah istimewa.

Tak heran jika empat penulis tersebut pada akhirnya membuat simpulan bahwa punahnya gajah turut menyeret punahnya peradaban manusia nusantara. Ada beberapa bukti bahwa kehidupan manusia nusantara dulu kerap dikaitkan dengan gajah.

Kerajaan Sriwijaya

Terkait peradaban Kerajaan Sriwijaya yang sudah dimulai pada abad ke-7 hingga 12 masehi, dikisahkan Mongabay Indonesia, posisi gajah dianggap telah mengambil peran penting dalam kehidupan manusia kala itu. Gajah juga digunakan sebagai simbol kekuasaan atau kekayaan seorang raja atau kerajaan. Baik sebagai kendaraan raja dan prajurit untuk berperang atau sebagai tenaga kerja.

Bukti gajah kala itu digunakan sebagai kendaraan perang para prajurit Sriwijaya dapat dilihat dalam Prasasti Tanjore (1030-1031), yang menceritakan seorang Raja Sriwijaya, Sangrama-Vijayaottungavarman, ditawan bersama gajahnya oleh Kerajaan Chola pada 1025 di Kadaram atau Kedah.

Lalu dalam Prasasti Wat Sema Mueang atau Prasasti Ligor juga disebutkan gajah yang turut serta dalam pembangunan candi atau tempat suci oleh Raja Sriwijaya yang saat itusudah masuk wilayah Thailand.

‘’Dengan fakta data-data itu, dapat dikatakan gajah adalah satwa yang turut membangun peradaban Indonesia, khususnya Asia Tenggara. Gajah memiliki peranan penting bersama perahu atau kapal dalam membangun negeri maritime yang dipelopori Sriwijaya.’’

‘’Jika kapal dan perahu menghidupkan sungai dan laut, maka gajah yang menghubungkan antar pemukiman manusia baik di pegunungan maupun dataran rendah,’’ tutur para penulis Mongabay Indonesia dalam artikelnya.

Megalitik Pasemah

Arca Manusia Menunggangi Gajah
info gambar

Peradaban megalitikum Pasemah, yang tumbuh dan berkembang sekitar 2.000-3.000 tahun silam di wilayan Bukit Barisan Sumatera. Beberapa arca yang ditemukan, terlihat penggambaran bagaimana figur manusia dengan hewan sangat erat kaitannya.

Ditemukan beberaga figur manusia dengan kerbau, dengan buaya, dengan babi, dengan harimau, dan ditemukan pula figur manusia dengan gajah. Gambaran figur manusia dengan gajah ada yang digambarkan dengan busana lengkap, memakai perhiasan, dan membawa senjata. Arca ini ditemukan di Kota Raya Lembak.

Berbeda yang ditemukan pada situs Gunung Megang atau Situs Tegur Wangi. Figur manusia dengan gajah digambarkan memakai cawat, perhiasan anting-anting, dan membawa pedang. Ada pula figur manusia yang menunggang gajah, mengapit, dan memangku gajah.

Meski banyak ditemukan arca figur manusia dengan beberapa hewan, namun ternyata figur manusia dengan gajah lebih banyak ditemukan dengan hewan-hewan lain. Untuk diketahui, figur manusia dengan gajah dan kerbau lebih banyak ditemukan di Pasemah.

Arca-arca itu semakin menunjukkan bahwa betapa gajah sangat dipentingkan oleh masyarakat Pasemah pada waktu itu.

Gajah yang Dielukan di Aceh

Gajah yang Dielukan di Aceh
info gambar

Tidak seperti kondisi sekarang dimana di Aceh, gajah kerap dihadapkan dengan konflik dengan manusia dan berujung pada matinya mamalia besar itu. Thomas Allsen seorang sejarawan Amerika Serikat pernah menuliskan bahwa pada abad ke-17, Aceh kerap mengekspor gajah ke Kerajaan Mughal dan Kerajaan Hindu Golkanda, India.

Bahkan bagi Kerajaan Aceh, gajah dijadikan sebagai banteng pertahanan Kutaraja, ibu kota Kerajaan Aceh yang saat ini bernama Kota Banda Aceh.

‘’Dahulu, Aceh memiliki lebih dari 1.000 gajah yang siap diterjunkan ke medan pertempuran. Bahkan, saat menyerang Portugis di Johor, Kerajaan Aceh diperkuat oleh pasukan gajah yang diangkut dengan kapal perang,’’ ungkap Tarmizi A. Hamid, kolektor manuskrip kuno Aceh pada 19 Desember 2016 kepada Mongabay Indonesia.

Beberapa literatur memperlihatkan penyerangan tentara Portugis oleh Kerajaan Aceh di Malaka kerap menurunkan pasukan khusus, yaitu pasukan gajah. Antara lain perang pada tahun 1537, 1547, 1568, 1573, 1575, 1582, 1587, dan 1606 Masehi.

Memang perburuan gajah kala itu kerap dilakukan, namun bukan untuk dibunuh atau diambil gadingnya. Melainkan untuk dijinakkan, dibawa ke pusat pelatihan, dan dikembangbiakkan. Ini karena mereka akan dibentuk sebagai pasukan khusus seperti kendaraan untuk petinggi kerajaan, mengangkut perbekalan pasukan, sampai menjadi kendaraan tempur.

M. Junus Djamil, penulis buku Gadjah Putih (1959) yang dikutip Mongabay Indonesia juga bahnya menyebutkan bahwa gajah telah menjadi lambang keagungan kerajaah di Aceh sejak tahun 500 masehi.

‘’Bahkan Kerajaah Peureulak di Aceh Timur saat itu berdasarkan kitab Rahlah Abu Ishak Al Makarany disebutkan, Sultan Peureulak, Sultan Machdoem Johan Berdaulat Malik Mahmud Syah, yang memerintah 1134-1158 masehi telah mengendarai gajah berhias emas,’’ tulisnya.

Sehingga sungguh aneh jika kini justru Aceh menjadi tempat paling mencekam untuk kehidupan gajah.

‘’Nenek moyang orang Aceh tidak pernah melakukan perbuatan tidak terpuji ini. Nenek moyang orang Aceh tidak pernah memperjualbelikan gading gajah karena gajah merupakan satwa yang begitu dihormati,’’ ungkap Tarmizi.

Kalau memang dianggap sebagai pengganggu pertanian atau hama, sepatutnya ada pertanyaan yang harus mampu kita jawab sendiri. ‘’Bukankah manusia yang lebih dulu mengusik dan mempersempit lahan perumahan mereka?’’

--

Sumber: Kebudayaan.kemdikbud.go.id | Mongabay Indonesia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini