Tradisi Lisan Smong yang Selamatkan Orang Simeulue dari Tsunami

Tradisi Lisan Smong yang Selamatkan Orang Simeulue dari Tsunami
info gambar utama

Pulau Simeulue atau Simalur merupakan pulau yang berada di barat Sumatra, di perairan Samudera Hindia. Letaknya berada kurang lebih 150 kilometer dari lepas pantai barat Aceh Di pulau ini berdiri pemerintahan Kabupaten Simeulue yang termasuk dalam Provinsi Aceh.

Letak geografis Simeulue yang terisolasi dari Pulau Sumatra, membuat pulau ini kurang didengar gaung namanya. Namun, semenjak bencana alam tsunami yang memakan ratusan ribu korban di Aceh pada 26 Desember 2004, nama Pulau Simeulue menjadi sorotan.

Pada saat itu korban jiwa di Pulau Simeulue tidak mencapai 10 orang. Padahal, episentrum gempa bumi yang menyebabkan tsunami lebih dekat dengan Simeulue ketimbang pantai Aceh. Lalu, hal apa yang menyebabkan warga Pulau Simeulue dari bencana dahsyat sepanjang sejarah bangsa Indonesia itu?

Pulau Simeulue (indikator merah) terletak berseberangan dengan Pulau Sumatra.
info gambar

Jawabannya ialah smong, sebuah tradisi lisan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Smong disampaikan dengan sederhana, tetapi banyak makna. Berkat kisah penuh sejarah, smong berhasil menjadi sirene peringatan bagi penghuni pulau dengan luas 2.051,48 km2 itu.

Smong, Penyelamat Warga Simeulue

Jurnalis Kebencanaan Harian Kompas, Ahmad Arif, curhat mengenai kejadian tsunami di Aceh pada 2004 lalu. Saat itu ia ditugaskan meliput bencana tsunami di sana. Dalam webinar bertajuk Merawat Hikayat, Menjaga Hayat bersama Membumi Lestari yang berkolaborasi dengan GNFI pada Selasa (29/9/2020), Arif menjelaskan banyaknya korban di Aceh karena kurangnya pengetahuan mengenai bencana tsunami.

Pengecualian bagi Simeulue, pulau yang posisinya dekat dengan pusat gempa. Secara logika seharusnya banyak korban yang berjatuhan di pulau tersebut. Namun, nyatanya tidak, di Simeulue justru minim korban. Rupanya tradisi smong yang sudah mengakar secara turun-temurun menjadi penyelamatnya.

''Kalau tsunami di Aceh itu datang sekitar 20-30 menit setelah gempa, di Pulau Simeulue itu sekitar 10 menit sudah datang tsunaminya karena dekat dengan pusat gempa. Tapi menariknya di situ hampir tidak ada korban, hanya ada tiga orang yang meninggal dan kebanyakan orang-orang tua,'' terang pemilik sapaan Aik itu pada para pendengar.

Sebuah masjid masih berdiri seusai terjangan tsunami di Banda Aceh pada 2004.
info gambar

Arif tentu meninjau langsung Simeulue pada saat itu. Di tempat tersebut ia menemukan smong yang merupakan tradisi antisipasi pertama ketika menghadapi gempa yang disusul tsunami.

''Berbeda dari masyarakat pesisir pulau Sumatra, orang-orang di Pulau Simeulue sudah memiliki pengetahuan setelah gempa bumi akan terjadi smong. Pengetahuan mengenai smong ini mereka warisi orang-orang tua mereka yang pernah mengalami kejadian serupa pada 1907. Makanya disebut oleh mereka smong-07. Cerita itu diwariskan turun-temurun, ke anak-anak, didongengin. Intinya pengetahuan lokal yang mereka miliki terkait sama bencana masa lalu itu menjadi pengetahuan yang terus direproduksi dan operasional sehingga ketika tsunami 2004 mereka menggunakannya untuk menyelamatkan diri, yang ini tidak dimiliki oleh masyarakat Banda Aceh,'' katanya lagi.

Arti Kata Smong

Arti kata smong sendiri ditafsirkan berbeda-beda oleh beberapa informan maupun dokumen tertulis yang pernah ada. Dari segi bahasa tutur, ada dua kata untuk menyebut smong, yaitu untuk penutur bahasa Devayan dan Leukon disebut smong, sedangkan untuk penutur bahasa Sigulai disebut emong.

Secara linguistik, perbedaan di antara ketiga bahasa tersebut untuk menyebut smong hanya bersifat perbedaan dialek saja. Namun demikian, untuk kata-kata lain perbedaannya cukup signifikan. Ketika memberikan tafsiran terhadap arti smong ada beberapa pendapat, di antaranya ialah:

  • Smong berasal dari bahasa Aceh untuk kemong, yaitu gelombang air laut yang belum pecah menjadi ombak
  • Smong adalah bahasa pulau Simeulue untuk menyembur, khususnya untuk penutur bahasa Teupah Barat dan Simeulue Tengah
  • Smong, artinya gelombang besar yang datang tiba-tiba (mendadak)

Selain itu masih terdapat berbagai varian cerita tentang arti kata smong. Hanya saja pada intinya, smong merupakan satu peristiwa mengenai air laut yang naik secara tiba-tiba dan menghancurkan berbagai benda yang ada di hadapannya dan juga membawa berbagai material yang berasal dari wilayah laut.

Nafi-Nafi Smong 1907

Smong dituturkan dengan sederhana pada anak dan cucu orang Simeulue lewat nafi-nafi (sastra lisan). Budaya tutur nafi-nafi, berkisah tentang kejadian pada masa lalu, mengandung pembelajaran terutama untuk anak-anak pada waktu tertentu. Biasanya nafi-nafi dilakukan orang tua Simeulue ketika memanen cengkih yang merupakan tanaman endemik setempat, saat berkumpul selepas maghrib dan membaca Al-Qur'an atau menjelang tidur.

Kisah yang terdapat dalam nafi-nafi sangat bervariasi. Di samping berisi cerita faktual, juga bermuatan fiksi atau legenda dengan tujuan mewarisi nilai-nilai tertentu pada generasi baru.

Salah satu kisah dalam nafi-nafi adalah kisah tentang smong, yang menceritakan kejadian tsunami pada 4 Januari 1907. Seperti yang dikisahkan kembali dalam Kearifan Lokal SMONG Dalam Konteks Pendidikan: Revitalisasi Nilai Sosial-Budaya Simeulue karya Mirza Desfandi, pada saat itu masyarakat di daerah Salur, Kecamatan Teupah Selatan, sedang menuaikan ibadah salat Jumat merasakan ada guncangan gempa yang cukup kuat.

Gempa bumi pada 1907 terjadi di bawah laut, sama seperti yang terjadi pada tsunami tahun 2004. Namun, kekuatan gempa bumi pada 1907 lebih kecil. Jika pada 2004 berkekuatan 9,15 magnitudo (Mw), sementara gempa bumi pada 1907 memiliki kekuatan 7,6 Mw. Meskipun begitu, bencana tetaplah bencana, apa yang dirasakan orang Simeulue kemudian menjadi luka yang enggan diwarisikan pada anak dan cucu mereka kelak.

Pascagempa, dalam hitungan menit air laut yang tadinya surut berubah wujud menjadi gelombang besar. Masyarakat yang sibuk panen ikan di pantai tentu saja terkejut dan berusaha berlari menghindari kawasan pantai tersebut. Akan tetapi banyak dari mereka tidak mengimbangi cepatnya gelombang tsunami yang datang. Korban nyawa, kehancuran bangunan dan hilangnya harta benda tak terelakkan.

Menurut sejarah dari beberapa saksi hidup, ketinggian gelombang tsunami pada 1907 mencapai 60 meter atau dua kali ketinggian tsunami yang melanda pantai barat Provinsi Aceh pada 2004. Akibat dari bencana itu, diperkirakan separuh orang Pulau Simeulue meninggal dan infrastruktur pun rusak diterjang tsunami. Yang tertinggal dari mereka adalah trauma dan pengalaman pahit yang kemudian melahirkan tradisi smong.

Kisah smong dalam bentuk nafi-nafi kemudian dituturkan kembali. Dalam nafi-nafi smong menceritakan runut kejadian tsunami yaitu gempa bumi besar, air laut surut dan air laut naik ke darat.

Kisah smong dalam nafi-nafi mengandung tiga pelajaran pokok. Pertama, menceritakan bagaimana trauma mendalam yang masyarakat Simeulue rasakan karena guncangan bumi yang kuat dan gelombang air laut menyapu daratan. Kedua, mengandung pelajaran tentang tanda-tanda alam sesaat sebelum tsunami terjadi.

Seperti yang dikisahkan mengenai nafi-nafi smong-07, suasana alam sebelum kejadian menjadi hening, tidak ada suara gesekan angin di pepohonan. Kicau burung pun tidak ada, dan juga ternak-ternak seperti kerbau berlarian dari pantai menyerbu perbukitan. Lalu yang ketiga, perintah tempat evakuasi masyarakat yang telah ditentukan jika tsunami terjadi.

Tradisi smong juga dilakukan lewat syair. Tak jauh berbeda dengan nafi-nafi, syair smong menceritakan hikayat terjadinya tsunami, tanda-tandanya, dan cara penyelamatannya.

Berikut syair smong dalam bahasa Devayan/Simulul:

Enggelan mon sao surito (dengarlah suatu kisah)
Inang maso semonan (pada zaman dahulu kala)
Manoknop sao fano (tenggelam suatu desa)
Uwillah da sesewan (begitulah dituturkan)

Unen ne alek linon (gempa yang mengawali)
Fesang bakat ne mali (disusul ombak raksasa)
Manoknop sao hampong (tenggelam seluruh negeri)
Tibo-tibo mauwi (secara tiba-tiba)

Anga linon ne mali (jika gempanya kuat)
Oek suruik sauli (disusul air yang surut)
Maheya mihawali (segeralah cari tempat)
Fano me singa aktaek (dataran tinggi agar selamat)

Ede smong kahan ne (itulah smong namanya)
Turiang da nenek ta (sejarah nenek moyangkita)
Mir redem teher ere (ingatlah ini semua)
Pesan navi-navi da (pesan dan nasehatnya)

Smong dumek-dumek mo (tsunami air mandimu)
Linon uak-uwak mo (gempa ayunanmu)
Eklaik kedang-kedang mo (petir gendang-gendangmu)
Kilek suluh-suluh mo (kilat lampu-lampumu)

Juga ada syair serupa, tetapi dalam bahasa Sigulai. Maknanya kurang lebih sama, hanya saja diksinya sedikit berbeda.

Walaupun ada sedikit variasi penyampaian, tradisi smong terus dipertahankan. Smong menjadi tindakan mitigasi orang Simeulue yang akrab menghadapi bencana gempa bawah laut yang kerap mengakibatkan tsunami.

---

Referensi: Dishub.acehprov.go.id | Ahmad Arif, "Catatan Pemikiran dari Titik Nol Tsunami Aceh: Membangun Negeri Sadar Bencana" | Mirza Desfandi, "Kearifan Lokal SMONG Dalam Konteks Pendidikan: Revitalisasi Nilai Sosial-Budaya Simeulue"

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini