Kisah di Balik Lahirnya Teknik Seni Pop Art-WPAP yang Mendunia

Kisah di Balik Lahirnya Teknik Seni Pop Art-WPAP yang Mendunia
info gambar utama

Artikel ini sudah diralat sesuai dengan konfirmasi langsung bersama peneliti WPAP, Angga Kusuma Dawami

Penemuan ini dimulai pada awal tahun 1992. Wedha Abdul Rasyid mulai bosan untuk melukis wajah manusia secara realis yang baginya memiliki kesulitan yang tinggi. Di usianya yang masuk kepala empat, memilih dan mencampur warna ternyati menjadi hal yang menyulitkan. Hingga akhirnya dia memikirkan cara melukis wajah yang lebih mudah.

Maksud melukis wajah dengan mudah ini adalah menghindari dirinya yang mengharuskan mengolah kulit manusia sesuai dengan aslinya. Pada akhirnya muncul pemikiran Wedha untuk melukis sosok manusia yang dikhususkkan pada potret wajah dengan mengutak-atik titik, garis, dan bidang yang akhirnya menggambarkan sesosok manusia.

Wedha pun mengutak-atik titik, garis dan bidang, dan inilah yang menjadi cikal bakal kemunculan teknik WPAP yang terkenal pada tahun 2008. WPAP ini merupakan akronim dari Wedha’s Pop Art Portrait.

GNFI pernah menulis artikel tentang ini pada 7 April 2015. Hingga tahun tersebut, dunia grafis Indonesia sedang musim WPAP. Banyak yang dipamerkan, banyak pula yang menjadikannya ladang jasa alias berbayar. Atas penemuannya ini sehingga banyak digandrungi oleh seniman-seniman Indonesia, Wedha pernah dijuluki sebagai Bapak Ilustrasi Indonesia.

WPAP kala itu disebut-sebut sebagai gaya seni pop art modern. Pasalnya, secara teknik, WPAP mempunyai ciri khas tertentu dalam penggambaran objeknya yang sama sekali tidak terdapat garis lengkung di dalamnya. Yang ada hanya berupa garis-garis lurus hingga membentuk bidang kotak-kotak yang penuh dengan warna-warni.

Hal inilah yang membuat teknik melukis WPAP istimewa karena dari garis-garis lurus dan bidang kotak-kotak itu tetap menghasilkan karakter wajah dengan tanpa menghilangkan ciri khas wajah yang sedang dilukis. Teknik WPAP hingga saat ini memang identik dengan teknik melukis secara digital.

Di awal Wedha membuat cara seperti ini, teknologi belum dapat mendukung teknik pelukisannya. Sehingga Wedha harus melalui proses yang begitu panjang karena dia harus membuatnya secara manual hingga menerapkannya ke teknik digital pada era sekarang ini.

Teknik yang tidak mudah inilah yang menjadi alasan Wedha pada awal pembuatan hanya fokus untuk melukis wajah tokoh inspiratif yang memiliki kepribadian yang unik dan orang-orang populer di seluruh dunia.

Karya WPAP
info gambar

‘’Karya-karya awal gaya ini sudah didominasi oleh bidang-bidang geometric yang saya bentuk dengan goresan bebas (free hand stroke) dan menggunakan medium crayon. Pewarnaannya sudah meninggalkan pakem warna kulit manusia, juga dengan stroke bebas.’’

‘’Pembidangan pada karya ini mengikuti intuisi saya pada saat saya mengamati wajah seseorang (biasanya figure-figur terkenal dibidangnya masing-masing), melalui fotonya. Saya berusaha keras menangkap ekspresi figure yang saya hadapi lewat beberapa foto,’’ tulis Wedha dalam bukunya Wedha & WPAP, Pop Art Asli Indonesia (2009) yang dikutip oleh Angga Kusuma Dawami dalam International Conference Indonesia, Art & Urban Culture (2016).

Sejak era digital mulai berkembang, WPAP seolah bukan lagi sebuah teknik karya seni ''milik'' Wedha seorang, tapi sudah menjadi sebuah gaya yang banyak digunakan orang untuk melukiskan atau menghadirkan impresi diri seniman terhadap para pengamat dan penikmat seninya. Hal ini ia ungkapkan juga langsung kepada Angga yang tertuang dalam tesis Institut Seni Indonesia berjudul Wedha’s Pop Art Portrait (WPAP): Eksistensi, Karya, dan Pemikiran Wedha Abdul Rasyid (2016).

Dalam penelitian thesis yang dilakukan Angga sempat ditegaskan bahwa WPAP bukan sebagai pop art asli Indonesia, melainkan sebagai sebuah gaya pop art yang muncul dari Indonesia. Ini karena pada dasarnya teknik ini juga tidak lepas dari ciri khas pop art di Amerika Serikat yang dipionir oleh Andy Warhol dan Roy Lichtenshen.

Dalam konfirmasinya kepada GNFI, Angga menjelaskan lebih lanjut bahwa sebenarnya Wedha mewajibkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam bukunya ke dalam WPAP, agar berbeda dengan Pop Art pada masa Andy Warhol.

''Ketentuan yang dimaksud antara lain sesuai dengan yang ditulis dalam buku Wedha & WPAP. 'Tidak ada bidang yang dibentuk dengan garis kurva. Tidak ada warna gradasi. Sebaiknya tidak ada sudut yang tanggung','' ungkap Angga kepada GNFI melalui Direct Message Instagram (3/3/2021).

Angga pun mengungkapkan bahwa Wedha sangat menghormati Warhol sebagai pioner Pop Art Amerika. Namun di sini Wedha kemudian menunjukkan tekniknya sendiri melalui WPAP ciptaannya yang merupakan Pop Art asli dari Indonesia.

''Ini sesuai dengan perkataan Pak Wedha di bukunya,'' ungkap Angga lagi.

Awalnya, cikal bakal teknik WPAP ini diberi nama oleh Wedha sebagai Foto Marak Berkotak (FMB) di saat Wedha masih bekerja menjadi ilustrator majalah Hai. Pada generasi pertama, gambar Wedha sudah didominasi oleh warna dan garis yang merupakan efek dari krayon gambar.

‘’Proses ini kental unsur intuisinya. Sosoknya sendiri banyak mengalami deformasi yang ditafsirkan oleh Wedha dengan bentuk yang menyerupai. Dan tahap ini berjalan beberapa bulan saja sejak pertama Wedha mengembara bentuk untuk FMB,’’ jelas Angga.

FMB masih terus Wedha lakukan untuk menggambarkan sosok hingga tahun 2008. Tahun 1998, tekniknya sudah mulai banyak disukai oleh orang-orang. Namun hasil karyanya ini bukan berarti tanpa rintangan.

Tahun 1999 Wedha dihujani kritik dengan sebutan bahwa berkesenian yang Wedha lakukan hanya akal-akalan. Termakan oleh kritik itu, Wedha sempat memutuskan untuk menyimpan semua karyanya daripada harus menanggung malu karena kritik.

Wedha Abdul Rasyid
info gambar

Lalu pada tahun 2007 Wedha bertemu dengan Andi Kardinata, Sesepuh komunitas Desan Grafis Indonesia (DGI), Joko Hartanto, pemilik majalah Konsep, dan Michael Gumelar, Ketua Program Studi DKV Universitas Negeri Malang, serta Ade Darmawan. Orang-orang ini disebut Angga sebagai orang yang ‘’mengompori’’ untuk menunjukkan lagi karya Wedha ke publik.

Hingga akhirnya FMB bertransformasi dan dicetuskan dengan nama Wedha’s Pop Art Portrait pada pameran tunggalnya bertajuk di Bentara Budaya Jakarta. Teknik seni WPAP yang memiliki ciri khas dengan membagi karya ke dalam tiga dimensi warna. Warna yang kesannya di depan, di tengah, dan di belakang.

Semakin terang warnanya maka semakin ke depan. Perbedaan ini yang akhirnya membentuk dimensi yang dibutuhkan. Bagi Wedha yang terpenting adalah gagasan teknik pop arti-nya ini adalah karya yang dihasilkan tanpa harus dipikirkan sampai dahi mengkerut, namun bisa dengan mudah dinikmati dan disebarkan.

--

Sumber: WPAP as A Popular Art in Indonesia (2016), Angga Kusuma Dawani | Wedha's Pop Art Portrait (WPAP): Eksistensi, Karya, dan Pemikiran Wedha Abdul Rasyid (2016), Angga Kusuma Dawani

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini