Sejarah Hari Ini (31 Oktober 1926) - Melawan Corak Pendidikan Belanda Lewat INS Kayutanam

Sejarah Hari Ini (31 Oktober 1926) - Melawan Corak Pendidikan Belanda Lewat INS Kayutanam
info gambar utama

Indonesisch-Nederlansche School (INS) Kayutanam adalah lembaga pendidikan menengah swasta yang bercorak khusus yang didirikan di Kayutanam, Padang Pariaman, Sumatra Barat pada 31 Oktober 1926.

Pendirinya ialah Engku Muhammad Sjafei (EYD: Syafei) yang kelak pascakemerdekaan menjadi Menteri Pendidikan RI pada 1946.

Langkah Sjafei terbilang tidak biasa, karena ia menyediakan sekolah yang tidak mencetak pegawai negeri.

Pada masa itu memang banyak sekolah yang disediakan pemerintah Hindia Belanda dan bertujuan menghasilkan pegawai negeri dari kalangan priyayi yang nantinya bisa dibayar murah.

“INS Kayutanam merupakan reaksi terhadap sistem pendidikan yang berupaya mempersiapkan tenaga kerja murahan bagi kepentingan Pemerintahan Hindia Belanda,” kata Mas'oed Abidin dalam Ensiklopedi Minangkabau.

Pada awal pendiriannya, INS Kayutanam hanya menyewa rumah penduduk dengan murid awal sebanyak 79 orang.

Tanpa subsidi pemerintah, INS mampu bertahan selama belasan tahun.

Pemberitaan mengenai pembukaan Indonesisch-Nederlandsche School (INS).
info gambar

Saat ini perguruan tersebut telah mempunyai lahan seluas 18 hektare.

Sepanjang usianya, INS Kayutanam telah melahirkan banyak alumni yang berperan besar dalam kehidupan masyarakat dan dikemudian hari menjadi tokoh-tokoh yang dikenal masyarakat luas, di antaranya Hasnan Habib, Ali Akbar Navis, Mara Karma, dan Mochtar Lubis.

Mochtar Lubis yang kemudian hari menjadi jurnalis terkenal di Indonesia pernah bercerita mengenai pengalamannya belajar di INS lewat bukunya yang berjudul Mochtar Lubis Bicara Lurus: Menjawab Pertanyaan Wartawan.

"Di sana guru-guru kami adalah orang nasionalis yang berpendidikan tinggi Belanda. Tapi kami tidak diajarkan bahasa Belanda, melainkan bahasa Inggris, Jerman, Prancis. Mereka bilang, 'Kita ingin mendidik pemuda Indonesia bisa mandiri.'. Di sana kami diajari sejarah yang lain dari sejarah di sekolah-sekolah Belanda. Sejarah dilihat dari perspektif perjuangan orang Indonesia," terang Mochtar.

Di INS tidak hanya sekadar belajar di dalam ruangan, tetapi juga di lapangan.

Disiplin menjadi hal yang wajib diterapkan agar murid-murid di INS bisa mandiri ke depannya.

"Kami diajari kerja tangan. Sengaja, karena banyak anak orang yang mampu. Kita diajari disiplin, jam 05.00 bangun. Sampai sekarang, saya selalu bangun jam 05.00. Di sana uang saku dibatasi. Pulang ke rumah setahun sekali. Tinggal di asrama harus masak sendiri. Pada mulanya saya tidak mengerti, mengapa ayah mengirim saya ke sana. Tiap pakansi, kita dihubungkan dengan pemilik-pemilik onderneming (perkebunan), disuruh bekerja di sana. Jadi kita betul hidup di zaman penjajahan itu. Betul-betul merasakan bagaimana kuli di perkebunan Belanda seperti separuh budak, separuh bebas," kisahnya.

---

Referensi: De Indische Courant | Mochtar Lubis, Ramadhan K.H., "Mochtar Lubis Bicara Lurus: Menjawab Pertanyaan Wartawan"

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini