Syekh Yusuf Al-Makassari, Pejuang Nusantara yang Jadi Tokoh Besar di Afrika Selatan

Syekh Yusuf Al-Makassari, Pejuang Nusantara yang Jadi Tokoh Besar di Afrika Selatan
info gambar utama

Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makassari Al-Bantani adalah imam besar yang hidup pada abad ke-17. Sebagaimana kita tahu, sejumlah wilayah Nusantara (kini Indonesia) pada masa tersebut dikuasai pendatang dari Eropa untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah. Salah satunya ialah Belanda yang datang lewat kongsi dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).

VOC yang berkuasa secara semena-mena membuat rakyat Nusantara gerah. Dari sekian banyak, Syekh Yusuf Al-Makassari menjadi yang aktif melakukan pemberontakan pada mereka. Lewat jalan dakwahnya, ia berhasil menarik banyak orang agar berani melawan VOC.

Hanya saja perlawanan Syekh Yusuf gagal. VOC menang, tetapi masih ada rasa takut pada sang imam besar yang sudah kalah. Akhirnya ia diasingkan jauh dari tempat kelahirannya. Dari situ namanya pun menjadi masyhur dan berpengaruh di tanah pengasingan. Tak hanya menjadi pahlawan di negeri sendiri, ia juga menjadi pahlawan di negeri orang lain.

Menimba Ilmu Agama pada Usia Muda

Syekh Yusuf Al-Makassari lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, pada 3 Juli 1626. Anak dari pasangan Abdullah dan Aminah ini lahir dengan nama Muhammad Yusuf, suatu nama yang diberikan oleh penguasa Kesultanan Gowa pertama, Sultan Alauddin Imang’rang’ Daeng Marabbia.

Pendidikan agama diperoleh Syekh Yusuf muda sejak berusia 15 tahun di Cikoang dari Daeng Ri Tassamang, guru Kesultanan Gowa. Syekh Yusuf juga berguru pada Sayyid Ba-Alawi bin Abdul Al-Allamah Attahir dan Sayyid Jalaludin Al-Aidid.

Kembali dari Cikoang, Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa. Lalu pada usia 18 tahun, ia pergi ke Banten dan Aceh untuk mendalami agama Islam. Di Banten ia bersahabat dengan Pangeran Surya (Sultan Ageng Tirtayasa), yang kelak menjadikannya penasihat (mufti) Kesultanan Banten. Di Aceh, ia berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri dan mendalami tarekat Qadiriyah.

Dalam mendalami agama Islam rasanya kurang afdal jika belum mengunjungi tanah suci. Akhirnya pada 1644, Syekh Yusuf pergi menuaikan Rukun Islam kelima yakni ibadah haji. Ia pun memutuskan tinggal di Makkah dan Madinah demi belajar pada ulama setempat. Tidak satu dua tahun, tetapi Syekh Yusuf menetap di kawasan Timur Tengah tersebut hingga 20 tahun lamanya demi mempelajari agama Islam lebih mendalam.

Kalah Melawan VOC di Banten

Hubungan Kesultanan Banten dan VOC sangatlah panas seusai perang yang berkobar pada 1658-1659. Hubungan dengan Kesultanan Gowa-Tallo yang baik lalu dimanfaatkan oleh pihak Banten. Sultan Ageng meminta sejumlah pemuka agama mengasah mental para prajurit, salah satunya yang diajak ialah Syekh Yusuf.

Kedatangan Syekh Yusuf.
info gambar

Pasukan Sultan Ageng sayangnya kalah pada 1682. Saat Sultan Ageng menyerahkan diri pada 16 Maret 1683, pasukan Syekh Yusuf mundur 135 kilometer ke selatan, tepatnya di wilayah Cikaniki, Jawa Barat. Medan berat dan hutan lebat membuat mereka aman dari pengejaran VOC. Di Cikaniki inilah Syekh Yusuf kembali menyusun rencana penyerangan dan memulihkan mental bertempur pengikutnya.

Tak disangka, pasukan VOC pimpinan Letnan Maurits van Happel berhasil melacak keberadaan Syekh Yusuf, memaksa sisa-sisa kekuatan Sultan Ageng menyingkir lebih jauh ke arah timur. Puncaknya, kedua pihak terlibat pertempuran hebat di Desa Tunggilis (kini masuk Kabupaten Ciamis). Jatuh banyak korban jiwa, salah satunya adalah Pangeran Kidul. Syekh Yusuf sempat menyelamatkan diri, meski menderita luka-luka akibat pertempuran brutal.

Jadi buronan VOC, Syekh Yusuf diketahui tinggal di kaki Gunung Ciremai, 130 km di utara Tunggulis. Demi memancing keluar dari persembunyian, Batavia menawan istri dan anaknya. Khawatir dengan keselamatan keluarganya, Syekh Yusuf pun menyerahkan diri pada Maret 1683.

Diasingkan ke Sri Lanka sampai Afrika Selatan

VOC kebingungan dengan nasib Syekh Yusuf yang sedang menjalani masa penahanan di Batavia (kini Jakarta). Komandan VOC di Makassar waktu itu, Willem Hartsink, mengusulkan agar ia lebih baik dipulangkan ke kampung halaman dan dijadikan tahanan rumah. Namun, usul tersebut ditolak pejabat tinggi di Batavia, Dirk de Haas (setelah mempertimbangkan pandangan Arung Palakka), lantaran takut dengan potensi bangkitnya kembali perlawanan rakyat Gowa-Tallo.

Menahannya terlalu lama di Batavia juga dirasa tidak bagus oleh VOC. Syekh Yusuf dianggap sebagai wali dan populer oleh orang-orang muslim Batavia sehingga tempat penahanannya ramai dikunjungi.

Keputusan akhirnya dibuat VOC yaitu mengasingkan Syekh Yusuf ke Kolombo, Sri Lanka (dulunya bernama Ceylon), pada 12 September 1684. Tidak sendirian, ia ditemani istri, anak, dan beberapa pengikutnya yang berjumlah 49 orang.

Infografik Syekh Yusuf
info gambar

Di Sri Lanka, Syekh Yusuf menyibukkan diri dengan menulis buku. Selain menulis buku, ia juga menggelar dakwah pada warga setempat. Karena pendekatannya yang bersahabat, tidak sedikit warga Sri Lanka beralih memeluk Islam.

Kesibukan lainnya Syekh Yusuf menerima orang-orang Nusantara yang hendak pergi-pulang haji berhubung Sri Lanka menjadi jalur persinggahannya. Semangat perjuangannya dibagikan di tempat tersebut dan VOC menilai pengaruh Syekh Yusuf masih sangat besar di tanah pengasingannya itu. Jadilah ia diasingkan ke lebih jauh, ke Cape Town, Afrika Selatan pada 1693.

Dimakamkan di Cape Town Lalu Dipulangkan Kembali ke Makassar

Cape Town, Afrika Selatan, menjadi tempat pengasingan terakhir Syekh Yusuf. Di tanah inilah ia wafat dan dikebumikan pada 23 Mei 1699 dalam usia 73 tahun. Namun, jasad sang wali hanya enam tahun berada di bumi Afrika Selatan karena Sultan Gowa, Abdul Jalil, meminta jasadnya dikembalikan ke tanah kelahirannya.

Hanya saja proses pemulangan jenazah Syekh Yusuf bukanlah perkara mudah karena tidak mendapat izin dari pemerintah kolonial VOC yang memang membuangnya untuk mengurangi pengaruh ulama besar itu di tanah kelahirannya sehingga bisa mengendurkan perlawanan.

Makam Syekh Yusuf di Afrika Selatan.
info gambar

Meski begitu berbagai cara ditempuhnya sehingga utusan Sultan Gowa berhasil membawa jenazah orang suci tersebut. Ketika perjalanan pulang itulah, jenazah Syekh Yusuf sempat singgah di beberapa tempat, seperti Sri Lanka, Banten, Sumenep (Madura), dan terakhir Makassar. Jenazah Syekh Yusuf kemudian dimakamkan di kompleks makam bangsawan Kesultanan Gowa pada April 1705.

Makam asli Syekh Yusuf sekarang berada di Gowa dan menjadi sasaran ziarah bagi orang-orang Makassar dan sekitarnya. Sementara itu tempat lain yang pernah menjadi tempat ia dimakamkan menyimpan peninggalan sang syekh berupa jubah, sorban, dan tasbihnya.

Makam Syech Yusuf
info gambar

Pahlawan Indonesia Kebanggaan Nelson Mandela

Afrika Selatan terus mengingat Syekh Yusuf meskipun ia bukanlah orang asli negara itu. Bekas area pengasingan Syekh Yusuf di Cape Town lalu menjadi daerah kecil bernama Macassar. Tak heran ada beberapa jalan yang namanya bernuansa Melayu seperti Macassar Road, Kramat Road, dan Syekh Yusuf Road.

Jalan Makassar.
info gambar

Bagi pahlawan revolusioner Afrika Selatan, Nelson Mandela, Syekh Yusuf adalah panutannya ketika berjuang melawan politik apartheid. Mantan Presiden Afrika Selatan itu pernah menyebut Syekh Yusuf sebagai "Salah Seorang Putra Terbaik Afrika".

Jauh dari masa ia hidup, Syekh Yusuf dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Suharto pada 7 Agustus 1995. Pemerintah Afrika Selatan kemudian turut melakukan hal yang sama pada 2009. Saat itu Syekh Yusuf dianugerahi penghargaan Oliver Thambo yaitu penghargaan sebagai Pahlawan Nasional Afrika Selatan oleh Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki kepada ahli warisnya yang disaksikan oleh Wapres RI. M. Jusuf Kalla di Pretoria Afrika Selatan.

---

Referensi: Wacana: Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya | Sri Mulyati, "Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka" | Rosihan Anwar, "Sejarah kecil "petite histoire" Indonesia, Volume 2" | Merle Calvin Ricklefs, "Sejarah Indonesia Modern 1200-2008"

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini