Demokrasi Amerika Serikat, Bagi Penduduk yang Tidak Berbahasa Inggris

Demokrasi Amerika Serikat, Bagi Penduduk yang Tidak Berbahasa Inggris
info gambar utama

*Penulis senior GNFI

Pemilihan presiden Amerika Serikat yang membuat warga Amerika Serikat (juga dunia) tegang sudah selesai dan semua orang sudah tahu pemenangnnya adalah Joe Biden – mantan wakil presiden AS dan pasangannya Kamala Haris. Joe Biden sudah mengantongi 290 electoral college (syarat pemenag pilpres AS ini harus mendapatkan 270 electoral college) sementara incumbent Donald Trump memperoleh 214. Pemilihan presiden kali ini berbeda dengan pemilihan sebelum-sebelumnyanya karena aadanya pandemi Covid19 ini sudah banyak warga yang melakukan pemilihan lebih awal melalui kantor pos.

Seperti biasanya pertarungan pemilihan presiden di Amerika Serikat merebutkan pemilih tradisional dua partai utama – partai Republik dan Demokrat di negara-negara bagian tradisional mereka yang dikenal sebagai Blue (Demokrat) dan Red (Republik) States. “Negara Bagian Merah” dipersepsikan sebagai wilayah Konservatif, sedangkan “Negara Bagian Biru” dipersepsikan sebagai wilayah Liberal.

Pertarungan juga terjadi di Swing States dimana pemilihnya disebut sebagai Swing Voters – yang didefinisikan secara umum sebagai: “Someone who does not always vote for the same politicalparty and who might be persuaded to vote for one of several parties in an election– atau pemilih yang tidak selalu memilih satu partai, dan dapat di yakinkan untuk pindah memilih partai lain. Hal ini tergantung pada isu-isu terbaru yang muncul.

Ada persamaan pemilihan tahun ini dengan pemilihan presiden tahun 2016, yaitu kandidat partai Demokrat Hillary Clinton dalam berbagai polling mengungguli pesaingnya dari partai Republik Donald Trump terutama di negara-negara bagian yang didominasi partainya. Demikian pula akhir-akhir ini Joe Biden dan Demokrat menurut polling diatas petahana Donald Trump. Namun belajar dari tahun 2016, Donald Trump meyakinkan pendukungnya untuk tidak percaya pada hasil polling dan dia sangat intensif melakukan kampanye didaerah-negara dimana banyak swing votersnya yang dikenal dengan Battleground – “daerah pertempuran” atau daerah kunci dengan “take advantage” atau memanfaatkan “kelengahan” partai Demokrat karena bangga kandidatnya dalam berbagai polling sudah merasa menang; dan terrbukti Trump menang.

Pada pertarungaan kemaren Donald Trump mengulang lagi strateginya mengunjungi wilayah-wilayah battleground itu, dan Joe Biden nampaknya menyadari kesalahan tahun 2016 dengan juga mengunjungi wilayah-wilayah ini seperti Philadelphia, Ohio, Wisconsin, Texas, Arizona, Michigan, Florida, Pennsylvania dan sebagainya, dimana para pemilihnya masih belum menentukan pilihannya – Undecided Voters, dan harus diyakinkan dengan isu-isu penting (kadang masalah pribadi).

Yang tidak kalah penting bagi kedua calon presden ini adalah pemilih yang tergolong minoritas, yaitu para imigran yang datangnya di Amerika Serikat lebih akhir dibandingkan dengan imigran tradisional yang lebih awal datangnya seperti dari berbagai negara Eropa dan Afrika. Imigran yang terakhir datangnya ini dari negara-negara Asia seperti dari Pilipina, Cina, India, Korea, Indonesia; negara-negara Timur Tengah, dan Amerika Selatan. Banyak penduduk Amerika Serikat dari negara-negara ini tidak berbahasa Inggris. Namun demikian suara mereka sangat penting dalam suatu pemilihan. Bak gadis cantik mereka ini juga jadi perebutan partai politik.

Memang kalau kita mengunjungi Los Angeles misalnya, begitu mendarat di LAX atau bandara Los Angeles maka rasanya kita bukan berada di Amerika Serikat karena banyak wajah non-bule, misalnya petugas imigrasinya warga AS keturunan Pilipina, polisinya keturunan Korea, naik taxi- sopirnya dari Singapura, Lebanon, Vietnam dsb. Suara mereka dalam pemilihan presiden ini menentukan bagi kedua partai tradisional itu.

Junior saya di Program Pertukaran Pemuda ASEAN-Jepang tahun 1982 yang sekarang bermukim di Los Angeles Amerika Serikat mengirimkan lagi (sebelumnya sudah pernah mengirim dan menjadi bahan tulisan saya di GNFI ini) Surat Suara Pemilihan tahun 2020 ini dalam bahasa Indonesia; dan denga yakinnya mengatakan “saat ini kita kalahkan Trump”.

Karena pentingnya suara mereka ini, pada tahun 2006 ada Undang-Undang pemerintah Federal (pusat) untuk memperluas tambahan bahasa Hak-Hak Memilih yng sudah diatur ditahun 1965 dimana setiap wilayah dengan penduduk lebih dari 10.000 yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris dan dibuktikan dalam sensus penduduk yang menyebutkan penduduk ini minim kemampuannya berbahasa Inggris – disedikan bahan-bahan keperluan pemilihan dalam bahasa yang mereka pilih. Undang-Undang ini diperbahurui pada tahun 2020 ini.

Sumber : Dok. Pribadi
info gambar

Los Angeles yang wilayahnya sangat banyak pendatang yang minim berbahasa Inggris ini, menyediakan kertas suara dalam bahasa Arab, Armenia, Cina, Khmer/Kamboja, Parsi, Korea, Spanyol, Tagalog/Pilipina, Vietnam, Hindi, Jepang, Thailand, Rusia, Birma, Monggolia dan termasuk bahasa Indonesia. Pada bulan September 2020 saja sudah ada lebih dari 70.000 pemilih yang meminta dikirim surat suara dengan bahasa bukan bahasa Inggris. Di wilayah-wilayah selain Los Angeles juga banyak pemilih yang menginginkan surat suara yang tertulis dalam bahasa ibu mereka. Seorang pejabat daerah Cook County menjelaskan bahwa “Inti dari demokrasi kita mengharuskan semua penduduk memiliki kesempatan dan akses yang sama untuk menjalankan hak mereka memilih, terlepas dari apa bahasa mereka, kemampuan fisik mereka atau kemampuan literasi mereka”.

Orang Indonesia yang bemukim di Amerika Serikat (dan juga dari negara-negara lain), suaranya sangat penting dalam memenangkan Joe Biden menduduki Gedung Putih.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

AH
AH
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini