Desa Menagih Sumpah Pemuda

Desa Menagih Sumpah Pemuda
info gambar utama

Coba kita bayangkan apabila 92 tahun yang lalu sekumpulan pemuda tidak bersumpah satu tanah air, bangsa dan bahasa. Mungkin imajinasi kita tentang Indonesia hari ini tidak akan ada. Sumpah kolektif tersebut menjadi momentum untuk berhimpunnya daya dan energi para pemuda.

Sekarang ini, menurut Yasraf Amir Piliang, dunia bisa dilipat. Artinya ruang dan waktu menjadi sempit karena semakin canggihnya teknologi dan mutakhirnya ilmu pengetahuan. Kini dunia tidak hanya bisa dilipat, tetapi juga ada di kantong celana kita. Semuanya sesederhana itu, karena ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang kekinian menjadikan semuanya serba efisien dan efektif.

Sekalipun efektif dan efisien, layaknya obat, iptek juga meninggalkan efek samping; di antaranya kerusakan lingkungan, anomali iklim, serta perubahan sosial dan perilaku masyarakat yang semuanya itu bisa kita amati di sekitar kita. Tak terkecuali, desa juga terkena efek samping kemajuan iptek. Namun, bagaimanapun juga, desa masih kuat bertahan terhadap globalisasi ataupun efek samping kemajuan iptek dibanding kota.

Di samping itu, ada satu momen yang menarik. Di saat kota babak belur dihantam pandemi covid-19, nyatanya desa masih kuat bertahan. Setidaknya masyarakat desa bisa menanam apa saja dan mengais dari alam untuk bertahan hidup. Mereka bisa hidup harmonis dengan alam, serta menjaganya seperti anak kandung sendiri. Di sinilah kita menjadi tahu bahwa peran desa sangatlah vital.

Pada sisi kebijakan, tahun 2011 yang lalu, pemerintahan SBY-Boediono menerbitkan masterplan percepatan & perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) dengan tujuan kesejahteraan Indonesia. Dilansir dari dokumen MP3EI, koridor-koridor ekonomi akan disebar di beberapa pulau, di mana nantinya koridor tersebut akan disatukan dan kemudian dihubungkan dengan pasar global.

Kini, di zaman pemerintahan Jokowi-KH Ma’ruf Amin, cetak biru perencanaan nasional mempunyai semangat yang masih sama, namun dikemas dengan sampul berbeda. Atas nama pembangunan tersebut, sekali lagi desa terkena efeknya, seperti konflik lahan. Kritik dari berbagai pihak banyak berdatangan, namun tak sedikit pula yang mengamini bahwa cetak biru perencanaan tersebut akan sukses dan membuat Indonesia menjadi negara maju. Benarkah?

Apakah Desa dan Pemudanya Berdaya?

Lalu, di manakah pemuda desa? Realitanya, di antara mereka masih ada yang termarginalkan. Mereka tidak punya daya untuk mengakses sumber ekonomi ketika lahan dirampas, dicap pengangguran, dituduh malas, serta tidak berpendidikan dan produktif.

Hak bekerja, mengisi ruang desa untuk berkarya, mengakses pekerjaan dan pendidikan, seharusnya bisa mereka capai dengan adil sesuai undang-undang yang sudah tertulis. Selain itu, sesungguhnya terdapat banyak sektor yang bisa dikerjakan untuk memberdayakan pemuda. Terlebih dengan adanya dana desa, pemerintah pusat, pemerintah daerah dan pemerintah desa, bisa berkolaborasi untuk menghasilkan program jangka panjang.

Salah satu contoh adalah sektor pertanian yang paling strategis dan realistis untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya di desa. Akan tetapi, sudah menjadi rahasia umum kalau menjadi petani di Indonesia tidaklah ekonomis. Oleh sebab itu, banyak pemuda desa tidak mau menjadi petani. Mereka lebih memilih berurbanisasi ke kota-kota yang bernilai ekonomi tinggi.

Di tingkat ASEAN, kita bisa mencontoh Thailand yang sukses dengan pertaniannya untuk memberdayakan pemuda dan desa. Menurut Faysse et al. (2019) dalam artikelnya di jurnal Outlook on Agriculture, pemerintah Thailand mengeluarkan program Young Smart Farmer dan Farming Entrepreneur yang dimulai tahun 2007.

Program ini sukses mencetak petani-petani baru dari kalangan pemuda desa dan mahasiswa. Mereka didukung oleh pemerintah dari berbagai aspek seperti penyediaan lahan dan modal bertani, serta pelatihan pertanian yang modern dan tersistematis. Mereka juga mendapat koneksi ke industri dan pasar, serta branding pertanian modern. Universitas juga menyediakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang siap pakai untuk para petani muda.

Barangkali program seperti itu sudah dijalankan oleh pemerintah Indonesia, namun hasilnya belum optimal.

Di sinilah Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Dunia bisa lebih mengoptimalkan program tersebut. Mengambil contoh program “bantu guru melihat dunia”, sebuah program baru seperti “bantu petani muda praktik di belahan dunia” bisa dibentuk.

Hal yang terpenting adalah menjembatani para petani muda untuk melihat pertanian di luar negeri. Lalu, mengapa harus “petani muda praktik”? Tentu tidak hanya dengan melihat saja, petani muda harus terjun langsung dan merasakan olah pertanian di berbagai negara. Setelahnya, mereka bisa kembali ke desa masing-masing untuk berkarya.

Menurut data BPS, Indonesia diproyeksikan memiliki usia produktif yang pada kurun waktu 2020-2035. Proyeksi tersebut akan sirna belaka bila tidak dipersiapkan sejak sekarang. Kita pasti tidak ingin kecolongan untuk menghadapi bonus demografi tersebut. Dengan semakin banyaknya usia produktif, tentu ketahanan pangan kita juga harus baik. Lagi-lagi pilihan terakhir yang paling rasional dan strategis adalah sektor pertanian. Oleh karena itu, promosi dan rebranding tentang pertanian harus segera dilakukan di samping melakukan program-program lain.

Saat ini 42,06% atau sekitar 31 juta pemuda tinggal di desa (BPS, 2019). Apabila kuantitas tersebut dikonversikan menjadi kualitas serta dimanfaatkan dengan baik, kita menjadi optimis bahwa desa dan pemudanya akan semakin berdaya dan kota semakin jaya. Harapannya, tidak akan ada lagi kata-kata desa menagih sumpah pemuda. Semoga!

Penulis:

Nurhadi Eko Firmansyah

Department of Parasitology, Khon Kaen University

Permitha Thailand

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini