Kisah Keberadaan Kopi di Bandung yang Pernah Jadi Alat Mata-Mata Belanda

Kisah Keberadaan Kopi di Bandung yang Pernah Jadi Alat Mata-Mata Belanda
info gambar utama

Tahukah Kawan GNFI kalau sebenarnya kopi bukan tanaman asli Indonesia. Sejarah mencatat bahwa komoditas kopi masuk ke Indonesia sejak abad ke-16 saat Indonesia dijadikan lokasi perdagangan yang strategis oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), Belanda.

Kopi arabika menjadi salah satu jenis kopi yang Belanda bawa dan pertama kali ditanam di sekitar Batavia, sampai ke daerah Sukabumi dan Bogor. Namun, keberadaan biji kopi pertama di tanah Priangan ternyata bukan diawali untuk tujuan perdagangan, melainkan jadi alat mata-mata Belanda.

Pasalnya dulu Bandung dicurigai oleh Belanda sebagai tempat pemberontak. Hingga pada tahun 1712, Belanda mengutus Abraham van Riebeek untuk mengintai Bandung. Di sela pengintaiannya inilah Abraham van Riebeek membawa benih tanaman kopi.

Dari hasil laporan van Riebeek, Belanda semakin sadar akan potensi Bandung sebagai lokasi strategis bagi pemberontak. Apalagi sampai abad ke-18 Bandung masih dipenuhi hutan belantara sehingga dianggap menjadi tempat yang aman untuk bersembunyi.

Namun nampaknya spekulasi Belanda terhadap Bandung yang merupakan tempat pemberontak hanya sebatas perkiraan saja. Tercatat baru 30 tahun kemudian Belanda menempatkan serdadunya yaitu Kopral Arie Top dengan wilayah tanggung jawab meliputi Bandung-Cimahi.

Berjaya Sampai ke Eropa, Namun Tidak Bertahan

Kopi Bandung Berjaya di Eropa
info gambar

Sejak biji kopi pertama yang dibawa oleh Belanda ke Tatar Priangan, sepanjang abad ke-18 Belanda memang memaksa kaum pribumi untuk membuat perkebunan kopi. Kala itu ada Javakoffie yang kopinya terkenal hingga ke Eropa.

Namun karena iklim dan bibit kopi yang kurang baik, pada akhirnya Belanda membuka perkebunan kopi di daerah selatan lereng Gunung Tangkubanparahu. Hal ini dicetus oleh seorang Belanda bernama Pieter Engelhard. Terbukti hasilnya sangat memuaskan sampai pada tahun 1807. Kopi hasil pembibitan di wilayah Tangkuban Parahu itu mampu memenuhi permintaan ke Eropa.

Sampai akhirnya perkebunan kopi pun meluas hingga lereng Gunung Patuha, Gunung Mandalawangi, Gunung Galunggung, dan Gunung Malabar.

Melihat potensi perkebunan kopi yang menjanjikan, Belanda pun diketahui mulai tahun 1789 sudah membangun jalan setapak yang bisa dilewati kuda untuk menghubungkan Batavia-Bogor-Cianjur-Bandung. Jalur darat ini tentu saja untuk mengangkut hasil bumi dari wilayah Priangan (Jawa Barat) menuju Batavia.

Gudang Kopi yang Kini Jadi Kantor Wali Kota Bandung

Gedung Wali Kota Bandung Bekas Gudang Kopi
info gambar

Melihat potensi kopi yang sangat bagus dari wilayah Priangan, lalu dibangun jalur darat untuk pendistribusian ke Batavia (Jakarta), Bandung rupanya menjadi kota yang mencatat kisah penting dalam sejarah keberadaan kopi.

Tahukah Kawan GNFI kalau ternyata gedung utama Balai Kota Bandung, tempat wali kota Bandung bekerja ternyata dulunya adalah gudang kopi untuk pengepakan kopi serta tempat ‘’transit’’ pendistribusian hasil panen kopi.

Sebelum beralamatkan di Jalan Wastukencana yang menjadi letak bangunan Balai Kota Bandung saat ini, dulu pusat pemerintahan Belanda di tanah Priangan adalah di Jalan Braga. Tepatnya di bangunan yang sekarang menjadi Bank BJB Syariah.

Lahan yang berada di Jalan Wastukencana itu dulunya dimiliki oleh Andries de Wilde, yang disebut-sebut sebagai seorang tuan tanah Priangan pertama keturunan Belanda. Pada tahun 1819, saat perkebunan kopi di Priangan berkembang, Andries de Wilde yang juga merupakan pemilik usaha kopi itu akhirnya membangun gudang kopi bernama Koffie Pakhuis yang dalam bahasa Indonesia artinya Gedung Kopi.

Namun sejak penanaman bibit kopi di Bandung tidak maksimal dan jalur transportasi pendistribusian kopi ke Batavia sudah mulai berkembang. Pada tahun 1927, Koffie Pakuis dirobohkan. Bekas lahannya itu dibangun dan dirancang kembali oleh arsitek Belanda bernama E.H. de Roo, yang hingga kini difungsikan sebagai kantor pemerintahan atau kantor wali kota Bandung.

Pindahnya lokasi Balai Kota ini ada kaitannya dengan haminte atau pemindahan pemerintahan kota para pada masa kedudukan Belanda pada tahun 1906. Dan sejak menjadi pusat pemerintahan, gedung utama Balai Kota itu sempat dikenal sebagai Gedong Papak karena memiliki atap yang datar.

Selain dibangun gedung pusat pemerintahan, sejumlah bangunan publik pendukung pun didirikan di balai kota seperti Javasche Bank pada tahun 1909 (yang kini jadi gedung Bank Indonesia), lalu Gereja Katedral (1921), dan Gereja Bethel (1925).

Baru pada tahun 1935, bangunan Balai Kota diperluas dengan menambah bangunan baru menghadap ke Pieter Sijthoff Park yang kini bernama Taman Balai Kota.

Tahun 1980-an dibangun gedung kembar tambahan di sebelah kiri dan kanan Gedong Papak untuk keperluan perkantoran. Hingga kini Gedong Papak itu masih menjadi kantor resmi wali kota Bandung. Meski sebenarnya nama Gedong Papak sudah jarang disebut lagi.

Kopi Aroma, Kopi Legendaris dari Bandung
info gambar

Meski begitu, eksistensi kopi di Bandung masih bisa ditelusuri dengan keberadaan penjual kopi yang masih bertahan hingga sekarang. Kawan GNFI tentu tahu Kopi Aroma yang legendaris itu? Kopi Aroma sudah berdiri sejak 1930 yang dibangun oleh Tan Houw Sian.

Namun ternyata ada kopi khas Bandung yang usianya lebih tua lagi, yaitu penjual kopi di Maison Bogerijen yang kini menjadi Braga Permai. Penjual kopi di sini masih mempertahankan resep sejak tahun 1918.

Selain itu ada pula Het Snoephuis yang berdiri tahun 1929 di Jalan Braga. Lalu ada pula Warung Kopi Purnama yang juga terkenal legendaris di Jalan Alkateri No. 22, yang berdiri sejak tahun 1930.

Kawan GNFI sudah pernah coba yang mana dari sekian kopi legendaris Bandung itu?

--

Sumber: Humas.Bandung.go.id | AyoBandung.com | Bandung.Merdeka.com | Pikiran-Rakyat.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini