Indonesia Ternyata Punya Dua ‘’Parijs van Sumatra’’ yang Terlupakan

Indonesia Ternyata Punya Dua ‘’Parijs van Sumatra’’ yang Terlupakan
info gambar utama

Sebelumnya GNFI pernah membahas kalau Indonesia punya satu kota dengan julukan Parijs van Sumatra yang sudah terlupakan, yaitu kota Medan. Kota yang dikenal Tanah Deli ini sempat populer di kalangan orang Belanda sejak akhir abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20.

Awalnya, Parijs van Sumatra adalah bentuk ‘’kompetisi’’ Belanda karena kala itu di tahun yang sama, Inggris sudah membangun pulau Pinang dan Singapura untuk menjadi koloni Inggris di sepanjang Semenanjung Malaya.

Tidak mau kalah, Belanda pun ingin membangun kota koloni yang sama seperti Inggris. Dan pada kala itu pembangunan kota koloni yang dilakukan Belanda dan Inggris merupakan simbol kesuksesan suatu negara. Untuk itu Belanda membuat Medan sebagai upaya membangun kota koloni. Ditambah, komoditas utama Medan, yaitu tembakau merupakan tembakau favorit orang-orang Eropa saat itu.

Asal-Usul Istilah Parijs van Sumatra di Medan

Medan Dijuluki Parijs van Sumatra
info gambar

Para Deliaan alias Belanda-Deli yang membuat Medan identic dengan suasana Eropa sehingga muncul istilah Parijs van Sumatra. Deliaan diketahui sangat menjiwai pesona Paris yang mereka bawa sampai ke Medan. Paris yang romantis dan penuh dengan orang-orang yang mampu bekerja keras adalah karakter dan etos yang mereka bawa ke Medan.

Medan pernah sempat dihiasi oleh gedung-gedung bercorak art deco bercat putih, beragam monument, dan simbolisasi di ruang publik yang erat kaitannya dengan citra Eropa. Tren yang sedang terjadi di Eropa kala itu juga mentah-mentah ‘’diimpor’’ oleh para Deliaan untuk menjadi bagian utama dari budaya baru perkotaan di Medan.

Salah satunya tren Baret Perancis, pertujukkan opera, hingga bacaan roman picisan bertema percintaan dan dektektif khas Paris. Apapun yang menjadi tren di Paris, maka bisa segera ditemukan di Medan. Para Deliaan itulah yang membawanya ke Medan.

Keasrian kota Paris benar-benar tergambar di Medan. Selain kekhasan dengan gedung-gedung putih, suasana asri dilengkapi dengan petak-petak rumput hijau nan segar pun menyelimuti seluruh kota Medan. Jalanan kota selalu bersih karena disirami setiap pagi dan sore. Kala malam menyambut, sudut-sudut utama kota dibuat terang karena hiasan lampu gas yang memendar.

Namun, keindahan kota Paris di Medan itu hancur seketika seiring dengan pecahnya Perang Dunia II. Perang membuat Medan berhenti berkembang, mengikuti terhentinya perkembangan di Paris. Perang Dunia II turut membuat citra Meda sebagai salah satu kota terkemuka di Hindia Belanda dan dianggap sebagai kota ‘’masa depan’’ seketika tenggelam.

Parijs van Sumatra itu kini telah hilang dan yang ada hanya kenangan jejak perubahan mentalitas masyarakat yang sangat mirip dengan masyrakat Paris. Seiring dengan keinginan tak mau lagi dibayang-bayangi oleh kenangan kolonial Belanda, banyak bangunan-bangunan tua bercat puti itu tidak terawat, diterlantarkan, dirombak, bahkan sampai dihancurkan.

Medan sudah menjadi kota maju dan metropolis Indonesia, tidak ada lagi Hindia Belanda.

Kota Bukittinggi Juga Pernah Dijuluki Parijs van Sumatra

Bukittinggi Dijuluki Parijs van Sumatra
info gambar

Tak banyak yang ingat bahwa julukan Parijs van Sumatra juga pernah disematkan pada kota Bukittinggi. Kota kedua terbesar di Sumatra Barat ini memang kerap menjadi kota persinggahan perjalanan dari Medan dan Pekanbaru menuju Padang, atau sebaliknya.

Tak heran, suasana Bukittinggi memang sangat sejuk dan cocok jadi tempat persinggahan dengan melihat ikon Jam Gadang yang dikenal sebagai kembaran Big Ben. Ini karena mesin jam yang digunakan pada Jam Gadang diketahui sama persis seperti mesin jam Big Ben London. Mesin jam ini dibuat oleh perusahaan jam dari Jerman yaitu Vortmann Relinghausen yang konon hanya diporduksi dua unit di dunia.

Berbeda dengan kota Medan yang ‘’menyadur’’ keindahan kota Paris, salah satu alasan Bukittinggi diberi julukan Parijs van Sumatra adalah karena kondisi alamnya. Kota dengan liukan pegunungan nan elok, pemandangan hijau royo-royo, hamparan ngarai yang memesona, serta hamparan Tri Arga (tiga gunung) yang indah, yaitu Gunung Merapi, Gunung Singgalang, dan Gunung Sago.

Bahkan Bukittinggi masih punya 27 bukit lain yang membuat Bukittinggi begitu sejuk dan cantik.

Alasan lain yang membuat Bukittinggi erat dengan sebutan Parijs van Sumatra adalah karena asal-usul kota ini sendiri. Bung Hatta pernah berkata, ‘’Bukittinggi tidak lahir dari rahim kebudayaan Minangkabau.’’

Itu karena kota Bukittinggi merupakan benteng yang diciptakan oleh tangan-tangan Belanda. Sekitar tahun 1825-1826, Belanda mendirikan benteng bernama Fort de Kock di Bukit Jirek—kini berada 300 meter sebelah utara Pasar Bukittinggi. Benteng itu dibangun untuk membantu Kaum Adat menghadapi Kaum Paderi (Agama).

Sedangkan nama benteng itu diambil dari nama seorang perwira Belanda yang pernah menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yakni Hendrik Merkus de Kock.

Seiring berjalannya waktu kekuasaan pemerintah kolonial Belanda yang semakin menguat, benteng ini pun merekah menjadi kota administratif. Karena kota ini merupakan perluasan dari kekuasaan Belanda dari sebuah pendirian banteng, tak heran kalau secara de facto kota Bukittinggi hanya memiliki luas 25,24 kilometer persegi dan membuatnya menjadi kota terkecil keempat di Indonesia.

Karena keindahan dan kesejukan alam yang terhampar di kota Bukittinggi, suasananya itulah yang pernah mengingatkan siapapun yang berkunjung ke Bukittinggi, merasa seperti di kota Paris.

Kawan GNFI pernah berkunjung ke Bukittinggi?

--

Sumber: Good News From Indonesia | Kompas.com | Jelajahsumbar.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini