Rumah Mikro dari Styrofoam, Alternatif Ideal Bagi yang Cinta Bumi

Rumah Mikro dari Styrofoam, Alternatif Ideal Bagi yang Cinta Bumi
info gambar utama

Bagi Rendy Aditya Wachid dan Cassandra S. Damayanti yang merupakan co-founders RawHaus awalnya menjalankan perusahaan rintisan ini karena mimpi dan idealisme tentang konsep berkelanjutan, atau banyak dikenal dengan sistem sustainability.

Sejak perusahaan rintisannya—yang diwakili Cassandra atau akrab dipanggil Sasa—menyabet Juara 1 Nasional Kategori Kreatif dan Best of The Best Kategori Business Plan dari Wirausaha Muda Mandiri 2020, Rendy pribadi mengaku tingkat kepercayaan dirinya meningkat untuk terus mengkampanyekan tentang konsep alternatif rumah yang dibangun atas dasar cinta pada lingkungan.

Tapi rumah dari styrofoam, bukankah itu tidak ramah lingkungan?

Rumah Styrofoam Rawhaus
info gambar

Pada acara bincang-bincang Membumi Lestari x Good News From Indonesia (GNFI) dengan tajuk RAWHaus: A Smart Alternative-House pada Selasa, 8 Desember 2020 lalu, Rendy dan Sasa menjelaskan awal mula mereka ingin membangun semua hal yang sempat dipandang sebelah mata ini.

‘’Dari awal kita memang ekstrim memilih styrofoam. Selama ini penjelasan tentang styrofoam itu kayak yang bahaya banget. Styrofoam itu seperti kayak ngomongin nuklir. Padahal orang nggak paham kalau nuklir pun salah satu energi terbersih,’’ jelas Rendy.

Bagi Rendy, Sasa, dan seluruh anggota tim dalam startup bernama Rawhaus yang berbasis di Bandung ini punya prinsip bahwa tidak ada yang namanya sampah, yang ada adalah barang yan belum terevitalisasi.

‘’Barang apa yang panjang umurnya? Kami sebagai arsitek percaya sebenarnya bangunan itu umurnya bisa melampaui penciptanya,’’ aku Rendy.

Untuk itulah styrofoam, material yang butuh terurai 100 tahun inilah dicetuskan sebagai material utama untuk membuat rumah. Toh, sebuah rumah akan semakin berharga selama dia masih ada wujud bangunannya. Kalau bagi orang Indonesia, selama rumah itu kokoh berdiri, maka dia akan tetap berharga.

‘’Jadi kita bikin sesuatu yang tahan lama. Pokoknya kalau dia bukan single use dan tidak muda terkompos, ya udah kita bikin itu jadi sesuatu yang nilainya tinggi dan bermanfaat secara panjang,’’ kata Rendy lagi.

Dari Rumah yang Affordable, Menjadi Rumah yang Reasonable

Beberapa waktu lalu, isu tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) ramai dibahas setelah Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. Tujuannya adalah menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan layak huni dan terjangkau bagi peserta.

Saat membahas topik khusus Tapera ini, sosiolog Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Profesor Elly Malihah memandang ada hal esensial yang berubah di kalangan generasi muda atau angkatan produktif kerja yang saat ini sedang mendominasi di Indonesia.

Melihat dari segi kedinamisan perilaku generasi muda dalam ruang lingkup pekerjaan, Elly menilai bahwa mereka cenderung mulai berpikir untuk membuat perumahan berdasarkan fungsinya saja.

‘’Tidak usah besar, yang penting rumah yang sehat. Apalagi mereka nanti akan super sibuk yang kalau datang ke rumah hanya untuk tidur saja,’’ katanya saat diwawancarai GNFI (17/2020).

Ditambah dengan kondisi pandemi yang melanda Indonesia sepanjang tahun 2020, tingkah laku atau kebiasaan para pekerja sudah berubah secara drastic. Kehidupan dengan kebiasaan baru pada akhirnya membuat para pekerja, terutama generasi muda, semakin sadar bahwa produktifitas tetap bisa dilakukan di mana saja.

‘’Sekalipun rumahnya kecil, maka rumah itu harus representative. Harus nyaman sehingga mereka bisa bekerja dengan benar dan nyaman di rumahnya,’’ jelas Elly.

Nampaknya hal ini sejalan dengan apa yang dibangun oleh Rendy dan Sasa lewat Rawhaus. Hanya saja Sasa menegaskan bahwa nilai tambahan yang ingin dibangun sesuai dengan visi Rawhaus adalah gaya hidup dengan mengusung sustainability.

‘’Di awal, market education [tentang sustainability] memang jadi tantangan yang besar. Di awal, di sosial media, kita selalu menekankan bukan desainnya, tapi bagaimana gaya hidup orang di dalam rumah tersebut. Rumah yang kecil itu tujuannya apa sih? Supaya kita nggak konsumtif, supaya mindful aja dalam mengkonsumsi dan berkegiatan sehari-hari,’’ papar Sasa.

Lebih lanjut Rendy menjelaskan, ‘’Kalau rumahnya kecil berarti lemarinya kecil. Kalau lemarinya kecil berarti nggak konsumtif. Kalau rumahnya kecil, tapi lahannya besar, ya berarti bisa melakukan compose. Kalau mengkompos kan berarti memilah sampah lalu dia jadinya bercocok tanam. Lalu dia jadinya masak sendiri, nggak delivery.’’

Bagi Sasa dan Rendy, inilah rumah yang cocok untuk milenial. Mulai mengubah pola pikir tentang harga rumah yang mahal atau murah hanya karena permainan bisnis properti, namun milenial butuh rumah yang reasonable.

‘’Dari awal kita pengen bikin high performance zero habitat. Jadi nggak cuman bikin satu bangunan saja, tapi kita bikin lingkungan yang bisa kita tinggalin juga. Kalau di luar nggak ada lingkungan yang ideal buat generasi penerus kita, ya kita bikin sendiri lingkungan itu,’’ jelas Sasa.

Masih dalam proses tahapan pengembangan, Rendy dan Sasa mengaku masih akan terus melakukan riset tentang material daur ulang yang bisa menjadi material membangun rumah mikronya. Saat ini, selain sudah mulai efektif menggunakan styrofoam sebagai bahan utama membangun rumah, mereka juga sudah berhasil membuat ‘’keramik’’ yang dibuat dari limbah plastik.

Bagaimana Kawan GNFI? Tertarik buat rumah mikro dari styrofoam yang ramah lingkungan ini?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini