Kisah Awal Peringatan Hari Nusantara 13 Desember yang Tak Boleh Terlupakan

Kisah Awal Peringatan Hari Nusantara 13 Desember yang Tak Boleh Terlupakan
info gambar utama

Hampir terlupakan, peringatan Hari Nusantara pada tanggal 13 Desember sedang dikampanyekan pemerintah sebagai hari perayaan penting layaknya Hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober dan Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus. Pasalnya kedaulatan Indonesia pada titik balik kelautan dan kemaritiman terbentuk pada tanggal ini.

Tepatnya pada 13 Desember 1957 yang melahirkan deklarasi Perdana Menteri Indonesia, Djuanda Kartawidjaja, mengenai batas laut Indonesia yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda. Deklarasi ini menjadi salah satu gebrakan dari Djuanda, untuk Indonesia, bahkan untuk negara-negara kepualauan lainnya.

Ini karena hasil akhir dari upaya tersebut melahirkan pengakuan tentang negara kepualauan yang tidak hanya berlaku untuk Indonesia, melainkan untuk negara-negara kepualau di seluruh dunia. Deklarasi pengakuan terhadap negara kepualauan Indonesia ini akhirnya diakui dalam konvensi hukum laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-III tahun 1982 dengan nama United Nations Convention On The Law of The Sea (UNCLOS 1982).

Meski begitu, banyak rintangan yang harus dihadapi Indonesia kala itu dan membuat Djuanda harus bekerja keras melakukan berbagai pembicaraan pada tingkat internasional. Begini kisahnya.

Perjuangan Mempertahankan Teritorial Indonesia

Sejak kumandang kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, kala itu kawasan peraian Indonesia masih berdasarkan Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939), yang artinya masih menggunakan produk hukum HIndia Belanda. Dalam peraturan tersebut, batas territorial laut Indonesia hanya 3 mil dari garis pantai.

Dalam aturan tersebut kapal-kapal asing masih bebas berlayar di Laut Jawa, Laut Banda, dan Laut Makassar. Di sisi lain itu dapat mengancam keamanan dan kedaulatan Indonesia. Apalagi Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah dan menggiurkan.

Kala itu Djuanda yang menjadi Perdana Menteri menganggap perlu untuk mengubah sistem ketatalautan Indonesia untuk mengubah zona teritorialnya. Melalui Deklarasi Djuanda yang disahkan menjadi UU No. 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia, salah satu isi dari Deklarasi Djuanda itu adalah:

‘’Bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.’’

Deklarasi itu bukan berarti berjalan mulus karena banyak menuai protes dunia internasional seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, Perancis, Selandia Baru, dan tentu saja Belanda. Mereka mengirimkan surat protes.

Dengan perjuangan diplomasi Djuanda dibantu oleh Hasyim Djalal dan Mochtar Kusumaatmadja, akhirnya Deklarasi Djuanda itu diakui dan lahir Konvensi Hukum Laut PBB atau UNCLOS 1982. Setelah itu, barulah pemerintah meratifikasi hukum tersebut dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982. Ini dilakukan untuk mempertegas aturan dari PBB yang menyatakan Indonesia adalah negara kepulauan.

Hasilnya, kawasan Indonesia bertambah menjadi 5,8 juta kilometer persegi yang terdiri dari laut territorial dan perairan pedalaman seluas 3,1 juta kilometer persegi, serta Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2 juta kilometer persegi.

Secara geopolitik dan geoekonomi Deklarasi Djuanda jelas memiliki arti yang sangat penting dan strategis bagi bangsa Indonesia. Meski begitu, dilansir dari Harian Kompas terbitan 15 Desember 2004, pemerintah baru memperingatinya sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2000.

Dan baru melalui Keputusan Presiden Nomor 126 Tahun 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri kemudian mengukuhkan Hari Nusantara setiap tanggal 13 Desember.

Menilik Lebih Jauh Arti ‘’Nusantara’’

Nusantara
info gambar

Sebagai negara kepulauan, kata ‘’Nusantara’’ memang kerap menjadi istilah yang digunakan untuk menyebut Indonesia. Bahkan jauh sebelum nama Indonesia dicetuskan, Nusantara sudah digambarkan sebagai negara kepulauan. Hal ini tertuang pada Perundang-Undangan Madjapahit (1967), bahwa nama Nusantara sudah ada sejak masa Kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14.

Kala itu Nusantara diidentikan dengan konteks politik, yaitu sebagai wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit atau wilayah-wilayah yang akan ditaklukan. Kala itu kawasan Nusantara terdiri dari benua Asia dan Australia, bahkan termasuk Semenanjung Malaya.

Dalam perundang-undangan tersebut, Nusantara tercatat diucapkan oleh Gajah Mada, patih Majapahit. Ini ia ucapkan lewat Sumpah Palapa saat upacara pengangkatan menjadi Patih Amangkubumi Majapahit pada tahun 1258 Saka atau 1336 Masehi.

‘’Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, Samana isun amukti palapa,’’ ucapnya yang GNFI kutip dari Kompas.com (15/02/2020).

Artinya, ‘’Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikian saya (baru akan) melepaskan puasa.’’

Nusantara sendiri terdiri dari kata ‘’nusa’’ yang artinya pulau dan ‘’antara’’ yang artinya lain atau seberang. Sempat terlupakan sejak Kerajaan Majapahit bubar, kata Nusantara dipopulerkan kembali oleh tokoh pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara. Nusantara digunakan sebagai pengganti istilah Nederlandsch Oost-Indie atau Hindia Belanda.

Namun ada pula yang menyebutkan bahwa Nusantara diperkenalkan kembali oleh Ernest Francois Eugene Douwes Dekker atau lebih dikenal dengan Dr Setiabudi. Kala itu Setiabudi ingin mengubah kata Nusantara pada zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah menjadi lebih nasionalistis. Mengambil dari kata asli dari ‘’antara’’, maka Nusantara diartikan Setiabudi sebagai, ‘’Nusa di antara dua benua dan dua samudra’’.

Hingga kini istilah Nusantara yang sangat menggambarkan Indonesia sebagai negara kepulauan masih sangat populer disebut oleh masyarakat Indonesia.

--

Sumber: Kompas.com | Brilio.net | Tirto.id | Tagar.id | ITS.ac.id

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

DY
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini