Pageblug Jawa 1910-1926, dr. Cipto Mangunkusumo, dan Covid19

Pageblug Jawa 1910-1926, dr. Cipto Mangunkusumo, dan Covid19
info gambar utama

Di negeri ini, sejarah mencatat, selain pandemi flu Spanyol 1918, sebelum itu, wabah pes menyerang mulai 1910. Wabah pes pertama menyerang Malang, Jawa Timur dan menyebar ke pelosok negeri. Selama 1911-1939 wabah pes merenggut 39.254 nyawa di Jawa Timur, Jawa Tengah 76.354 jiwa, dan 4.535 jiwa di Yogyakarta.

Sepanjang 1933-1935, wabah pes mencapai puncak di Jawa Barat merenggut 69.775 jiwa. Menurut Syefri Luwis, penulis buku “Epidemi Penyakit Pes di Malang : 1911-1916”, sebelumnya ditemukan kasus pes pada 1905 Tanjung Merowa Deli, Sumatera. Dua korban, pekerja perkebunan terinfeksi pes. Pemerintah kolonial mengabaikan, meski dokter menjelaskan pes bisa terjadi lagi.

 Perbaikan rumah melalui pengendalian hama di Malang. Foto: dokumen Syefri Luwis, penulis buku “Epidemi Penyakit Pes di Malang : 1911-1916”
info gambar

Bermula dari gagal panen yang mendorong pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa pada saat itu mengambil keputusan untuk mengimpor beras dari Rangoon (kini Yangon), Burma. Keputusan ini dibuat meskipun sudah ada peringatan tentang wabah pes yang melanda Myanmar. Pada Oktober 1910, impor pun dilaksanakan. Beras diangkut dengan kapal diturunkan di Surabaya, lantas didistribusikan melalui jalur kereta.

Apa daya, beras tertahan karena jaringan kereta terputus akibat banjir antara Wlingi, Blitar-Malang. Beras dipindahkan ke gudang penyimpanan di sekitar jalur kereta. Di dekat gudang beras banyak ditemukan tikus mati, terinfeksi kutu yang menularkan penyakit pes.

Penyakit pes karena bakteri berbentuk batang atau basil bernama Yersinia pestis. Basil ini ada di kutu tikus jenis xenopsylla cheopis, kutu ini yang menyebarkan penyakit pes. “Wabah ditemukan pertama di Dampit dan Turen, Malang. Sejumlah penduduk meninggal,” katanya.

Pes mewabah karena saat itu musim hujan, suhu udara rendah hingga kutu mudah berkembangbiak, tikus jadi inang bagi kutu itu. Tikus yang terinfeksi bersarang di tempat tidur yang terbuat dari bambu . Kutu tikus menggigit orang yang tidur. Kutu juga menggigit kaki orang karena saat itu lantai beralas tanah dan banyak penduduk tak pakai alas kaki.

Sejumlah surat kabar lokal melaporkan kejadian itu, namun pemerintah Hindia Belanda abai. Burgerlijke Geneeskundige Dienst (BGD) atau Dinas Kesehatan Publik menyangkal penyakit zoonosis yang menular dari hewan ke manusia ini. “Pemerintah Hindia Belanda baru bergerak menangani wabah 27 Maret 1911.”

Malang Karantina

Dalam sebuah perkampungan, korban meninggal mencapai 300 orang. Bahkan ada desa yang penduduknya habis, meninggal dunia terinfeksi pes. Karena tak tahu jenis penyakit baru ini, masyarakat menganggap pandemi ini sebagai gangguan makhluk halus atau makhluk gaib. Penduduk menggambar dinding rumah dengan gambar buto atau raksasa untuk mengusir pagebluk.

Direktur BGD De Vogel memerintahkan Malang dikarantina. Penduduk Malang dilarang keluar dan masuk. “Jika ada yang keluar-masuk harus memiliki surat jalan, mirip dengan sekarang,” kata Syefri Luwis.

Kalau ada yang nekat masuk tanpa izin bakal ditembak mati tentara. Setiap perbatasan dijaga tentara. “Ada catatan yang meninggal ditembak tentara. Meski begitu banyak yang berhasil kabur melalui jalan tikus,”

Sementara dokter Eropa takut turun ke Malang, mereka ketakutan dengan penyakit pes yang disebut black dead. Penyakit pes menyerang Eropa 1346-1350, merenggut nyawa sepertiga penduduk Eropa. Selain itu, juga tak ada alat pelindung diri yang memadai.

Gubernur Jenderal D. Fock (kiri) di pusat pengendalian hama di Pasar Malam di Klaten. Foto: dokumen Syefri Luwis, penulis buku “Epidemi Penyakit Pes di Malang : 1911-1916”
info gambar

BGD mengeluarkan aturan calon dokter yang menempuh pendidikan di Stovia terutama mahasiswa semester akhir wajib turun langsung menangani pasien. Setelah kembali ke Batavia, para mahasiswa dinyatakan lulus.

BGD juga menyemprot kereta dengan sulfur sebagai disinfektan. Malang menjadi kawasan penting karena menjadi tujuan warga Eropa berlibur. Sulfur juga disemprotkan ke rumah dan pakaian. Bahkan pemerintah kolonial Hindia Belanda juga membakar sebagian rumah penduduk yang menjadi sarang tikus.

Pemerintah Hindia Belanda juga mengeluarkan sayembara mengumpulkan bangkai tikus untuk dimusnahkan. Jumlah tikus yang terkumpul sampai 1 juta ekoran. Pada 1912, status Malang sebagai kawasan karatina dibuka atas permintaaan perkebunan dengan alasan kepentingan perekonomian. Akibatnya, korban meningkat dan terjadi penularan lebih luas.

Banyak desa yang dikosongkan dan pindah ke barak. Aturan isolasi bagi pasien pes di barak khusus menimbulkan keresahan. Selama isolasi di barak keluarga tak bisa menjaga dan merawat, hingga banyak yang meninggal.

Rumah penduduk sebagian besar berdinding gedek atau anyaman bambu, Pemerintah Hindia Belanda membangun rumah dengan tembok. Sedangkan rumah berdinding gedek dan atap rumbia dibakar. “Rumah dibangun kolonial, tapi ujungnya utang,” katanya.

Rumah warga desa banyak dibakar, karena banyak yang meninggal. Warga yang selamat pindah ke permukiman baru. Selama 1911-1914, dibangun 107.227 rumah berdinding tembok. Perbaikan rumah menghabiskan biaya 15-20 golden. Biaya pengasapan 18,7 golden. Upah penduduk bumiputra rata-rata 0,20-1,2 golden, sedangkan keturunan Tionghoa 0,3-2,5 golden.

“Utang warga makin banyak hingga menimbulkan gelombang protes,” katanya.

Sosialiasi pes

Sosialisasi penyakit pes dilakukan di sekolah dan rumah gadai. Sosialisasi, katanya, tak tepat sasaran. Termasuk memasang papan peringatan di sejumlah titik desa yang terinfeksi pes, saat itu tak banyak yang bisa membaca. “Hanya 10% bisa baca aksara Jawa (Hanacaraka).”

Selebihnya menguasai aksara Arab Melayu atau buta aksara. Papan peringatan aksara Jawa bertulis,”di desa ini sedang terjadi wabah penyakit pes. Jangan memasuki rumah di sekitar sini. Jangan menginap di kampung ini. Jangan megenakan pakaian apapun di desa ini,” kata Syefri.

Kepala desa kemudian mengumpulkan penduduk di bawah papan peringatan, lantas orang terpelajar membacakan keterangan di papan peringatan ke penduduk. “Apakah sosialisasi tercapai?” tanya Syefi.

Dia bilang, belum tentu warga bisa datang dan tingkat pendidikan berbeda, kemungkinan tak bisa memahami penjelasan itu.

BGD mendirikan Dienst der Prestbestrijding atau Dinas Pemberantasan Pes 1915, empat tahun setelah wabah pes berlangsung. Setelah itu, penderita pes menurun. BGD juga mencetak buku berjudul “Penyakit pes di tanah Jawa, daya dan upaya menolaknya” Sangat terlambat, ujar Syefri, buku cetak pada 1915, setelah empat tahun epidemi pes.

Sri Sultan Hamengkubuwono VIII datang ke Malang memberi bantuan untuk penanganan penyakit pes. Pemerintah Hindia Belanda membentuk pemerintahan kotapraja atau Gemeente Malang 1914. Sebelumnya Malang merupakan Afedling di bawah Karesidenan Pasuruan. Tujuannya agar penyakit pes ditangani sendiri oleh Pemerintah Kotapraja Malang, dan pemerintah pusat tak perlu turun langsung.

Dokter Bumiputera

Sejarawan dan peneliti Center for Culture and Frontier Studies Universitas Brawijaya FX Domini BB Hera menjelaskan, dokter Eropa yang menangani pasien pes cenderung rasis. Mereka menolak melayani dan merawat pasien bumiputera.

“Wabah pes ini menggerakkan para dokter bumiputera. Dokter Tjipto Mangunkusumo dan dokter Soetomo, turun tangan,” kata Domini dalam Sarasehan Pancasila yang diselenggarakan Universitas Negeri Malang pertengahan November lalu.

dr. Cipto Mangunkusumo | DBNL.org
info gambar

Dari kesaksian Tjipto, kalau diketahui ada yang terinfeksi penyakit pes dilarang melintas di kampung, juga tak boleh masuk rumah. Tjipto menyaksikan pasien yang akhirnya duduk di bawah pohon kamboja dan mengembuskan napas terakhir.

Keduanya menjadi relawan sekaligus mengobati penduduk yang terserang pes. Saat itu, dokter Soetomo memberi pelayanan gratis bagi penduduk bumiputera, Tjipto menggratiskan biaya khusus bagi masyarakat miskin. Sedangkan orang kulit putih dari bangsa Eropa dibebani biaya berkali lipat.

Tjipto blusukan dari ke kampung ke kampung. Saat mengunjungi desa di Kepanjen, dia mendengar suara bayi menangis di dalam rumah. Bayi tergeletak di antara jenazah kedua orangtua yang terserang pes. Hartinya tergerak, Tjipto menggendong bayi dan mengangkat sebagai anak dan diberi nama Pesjati (Pesyati).

Kampung itu diasapi belerang, bahkan ada yang dibakar dan warga relokasi karena sekampung terjangkit pes. Saat menangani pes, Tjipto berhati-hati dan memperhatikan keselamatan sesuai pengetahuan medis. Kala itu, dia tak menggunakan alat pelindung diri.

Langkah teknis di lapangan ini dipelajarai di Kampus Stovia.

Domini bilang, telah membaca 200-an jurnal arkeologi, hanya empat jurnal yang membahas penyakit atau wabah masa lalu. Dia bilang, tak banyak peneliti konsen di Paleo Epidemologi atau Paleo Antropologi. Sejauh ini, katanya, tak ada penelitian forensik tulang atau sisa hayat masa lalu.

Paleo Antropologi biasa ahli anatomi yang meneliti berdasar sisa hayat. Infrastuktur riset tentang penyakit menular juga terbatas. Di Indonesia, peneliti Paleo Antropologi kurang dari lima orang. Ilmu ini, katanya, belum berkembang.

Padahal, kata Domini, penelitian itu penting guna mempelajari penyakit masa lalu jadi bisa mitigasi wabah. Apalagi wabah ini tak terlihat dan sulit terdeteksi, seperti COVID-19.

Vaksin pes ditemukan 1930, lantas disuntikkan ke pasien. Ternyata vaksinasi juga menyebabkan kematian pasien hingga menimbulkan gelombang protes.

Dimasa sekarang kita menghadapi pandemi COVID-19, apresiasi yang sangat tinggi juga pantas diberikan bagi para tenaga medis dan semua pihak yang telah terlibat termasuk para relawan. Kita pun menjadi bagian dalam perjuangan tersebut dengan tetap menerapkan protokol kesehatan, menyebarkan informasi yang valid dan tidak memberi stigma dan mengucilkan para pasien. Tetap waspada dan terus saling mendukung untuk bersama-sama keluar dari masa krisis kesehatan masyarakat dan ekonomi.

Republished dari Mongabay.co.id atas MOU GNFI dengan Mongabay Indonesia

===

Sumber:

“Tangani Pandemi Corona, Belajar Dari Wabah Pes Di Jawa.” Mongabay Environmental News, 27 Dec. 2020, www.mongabay.co.id/2020/12/27/tangani-pandemi-corona-belajar-dari-wabah-pes-di-jawa/.

UGM, Oleh: TROPMED. “Kolonialisme, Wabah, Dan Dokter Pribumi.” Universitas Gadjah Mada, 12 Aug. 2020, tropmed.fk.ugm.ac.id/2020/08/12/kolonialisme-wabah-dan-dokter-pribumi/.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini