Pesona ‘’Rapuhnya’’ Penari Gandrung Sewu yang Bisa Dinikmati 24 Jam Tanpa Henti

Pesona ‘’Rapuhnya’’ Penari Gandrung Sewu yang Bisa Dinikmati 24 Jam Tanpa Henti
info gambar utama

Jauh sebelum dikenal sebagai wujud rasa syukur pasca panen, Tari Gandrung khas Banyuwangi sempat menjadi alat pemersatu masyarakat selepas kekahalan peran melawan Belanda. Tarian yang masih jadi satu aliran dengan Jaipang dari Jawa Barat dan Ronggeng dari Jawa Tengah ini bahkan punya peranan akan lahirnya Kabupaten Banyuwangi.

Pasca perang, para masyarakat mengunjungi kerabatnya yang ditinggal dan kehilangan anggota keluarganya. Kekalahan pahit yang dialami oleh mayoritas rakyat Blambangan itu tentu saja membekas pada diri mereka.

Menurut catatan John Cholte dalam Gandroeng van Banyuwangi yang dikutip Beritabaik.id, rakyat yang tersisa kala itu hanya berjumlah 5.000 jiwa akibat peperangan yang terjadi pada tahun 1767.

Oleh karena itu kesenian Tari Gandrung awalnya digunakan sebagai pemersatu rakyat Blambangan yang tercerai berai akibat kekalahan itu. Kemudian masyarakat mengajak kerabatnya untuk mendirikan suatu pemukiman baru yang kini akhirnya dikenal sebagai Kota Banyuwangi. Namun, seiring berjalannya waktu tarian ini akhirnya sering dibawakan sebagai bentuk rasa syukur masyarakat setiap masa panen.

Ini adalah versi lain yang dikisahkan menjadi asal-usul keberadaan Tari Gandrung. Tarian tradisional ini tidak lepas dari Kerajaan Blambangan. Kata ‘gandrung’ sendiri konon kerap digunakan sebagai wujud rasa kagum dan terpesonanya masyarakat Blambangan yang agraris kepada Dewi Sri.

Dewi Sri adalah Dewi Padi pembawa kesejahteraan masyarakat. Bahkan para penari gandrung pertama adalah kelompok lelaki yang disebut sebagai Marsan.

Untuk terus mempertahankan ikon ini pun Tari Gandrung juga kerap ditemukan pada penampilan resepsi pernikahan, khitanan, dan seremonial tradisional lainnya. Bahkan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi pun tak hilang akal untuk tetap memertahankan kesenian Tari Gandrung ini.

Setiap tahunnya akan diadakan Festival Gandrung Sewu yang melibatkan sedikitnya 1.000 penari—bahkan lebih—yang dibawakan oleh perempuan dari berbagai usia. Festival ini selalu menjadi acara besar yang ditunggu masyarakat luas. Bahkan animonya pun terasa sampai pada para pelancong dari luar negeri.

Namun kini, untuk bisa merasakan ‘’sensasi’’ melihat penari Gandrung Sewu, sebenarnya Kawan GNFI juga bisa menikmatinya tanpa perlu menunggu Festival Gandrung Sewu. Pesona ribuan penari Tari Gandrung ini bisa Kawan GNFI temukan di Taman Gandrung Terakota.

Pesona Seribu Penari Gandrung di Kaki Gunung Ijen

Taman Gandrung Terakota tepatnya berada di Jiwa Jawa Resort. Rute petunjuknya sama menuju ke arah Kawah Ijen karena tempat Taman Gandrung Terakota juga berada di bawah kaki Gunung Ijen. Melalui gerbang Taman Gandrung Terakota, Kawan GNFI akan disuguhkan dengan terasering persawahan yang rapih dan hijau terhampar di setiap sudut.

Di situlah Kawan GNFI akan disambut dengan barisan ratusan patung penari gandrung yang tersebar di berbagai spot persawahan. Ya, para penari itu berbentuk patung yang ditelakkan berjajar di empat sudut berbeda di pinggirah sawah.

Eratnya nilai agraris dan para penari gandrung semakin membuat satu kesatuan alam yang harmonis. Nantinya jumlah patung itu akan terus ditambah hingga mencapai 1000 patung gandrung.

Dari setiap sudut Taman Gandrung Terakota, Kawan GNFI tidak hanya bisamenikmati perbukitan hijau dan hamparan sawah saja. Di tengah hamparan tersebut ada spot amfiteater terbuka yang berada di ketinggian 600 meter di atas permukaan laut. Dari sini, Kawan GNFI bisa menikmati empat buah rangkaian gunung dari kejauhan, yaitu Merapi, Raung, Meranti, dan Suket.

Di sisi barat, keindangan Gunung Ijen masih bisa terlihat. Sedangkan ke arah timur, Kawan GNFI akan melihat Selat Bali dengan warna birunya. Paket lengkap untuk menikmati panorama keindahan khas Banyuwangi.

Makna Bahan Patung Gandrung yang Mudah Rapuh

Taman Gandrung Terakota diklaim menjadi salah satu galeri raksasa terbuka milik Indonesia, khususnya Banyuwangi. Ada hal menarik dari patung-patung cantik ini. Kurator Taman Gandrung Terakota, Dr Suwarno Wisetrotomo, yang merupakan dosen Institut Seni Indonesia Yogyakarta mengatakan bahwa bahan pembuatan patung adalah tembikar.

Jika biasanya patung dibuat dari kayu atau batu yang lebih tahan lama, patung penari gandrung di sini justru memilih bahan yang cenderung mudah rapuh. Hal ini bukan tanpa makna. Tembikar dinilai memiliki filosofi yang kuat dengan para penari gandrung.

Jika ditelisik, tembikar merupakan bahan dari tanah liat yang dibakar. Tembikar yang asalnya dari tanah dan dekat dengan sawah, memiliki filosofi membumi tentang siklus kehidupan. Tembikar yang digunakan pun sebelumnya melalui proses pembakaran maksimal 1.000 derajat Celsius.

Proses pembakaran tersebut di bawah kualitas keramik sehingga jelas menghasilkan bahan yang mudah rapuh. Ditambah patung gandung pun dibuat berongga. Konsep ini sebagai isyarat bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini.

Kerentanan itu pada akhirnya memiliki makna dan nilai bahwa yang abadi dari setiap kehidupan adalah proses. Tidak ada hasil yang sifatnya abadi.

Memang diakui bahwa pembuatan patung gandrung itu terbilang rumit. Apalagi proses pembuatannya dilangsungkan di Kasongan, Yogyakarta dan dibuat secara manual satu per satu dengan empat formasi gerakan yang berbeda.

Kawan GNFI ada yang sudah mengunjungi Taman Gandrung Terakota?

--

Sumber: BanyuwangiBagus.com | Indonesia.go.id | IndonesiaKaya.com | BeritaBaik.id | Liputan6.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini