Analisis Semiotika Kristeva pada Film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak

Analisis Semiotika Kristeva pada Film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak
info gambar utama

Semiotika merupakan studi tentang tanda-tanda, cara ekstra-verbal di mana energi tubuh dan pengaruhnya membuat jalannya dalam aspek bahasa. Semiotika mencakup alur dan artikulasi subjek. Sementara semiotik dapat diekspresikan secara verbal, itu tidak tunduk pada aturan sintaksis biasa. Sebaliknya, simbolik adalah cara penandaan yang bergantung pada bahasa sebagai sistem tanda yang lengkap dengan tata bahasa dan sintaksisnya (Kristeva 1984: 27).

Simbolis adalah cara penandaan di mana makhluk-makhluk yang berbicara berusaha mengekspresikan makna dengan meminimalkan potensi ambiguitas. Ekspresi para ilmuwan dan ahli logika adalah contoh paradigmatik dari orang yang mencoba menggunakan bahasa simbolik sedangkan ekspresi yang ditemukan dalam musik, tarian, dan puisi mencontohkan semiotik.

Semiotik dapat dilihat sebagai mode ekspresi yang berasal dari alam bawah sadar sedangkan simbolik dapat dilihat sebagai cara sadar, seseorang mencoba untuk mengekspresikan menggunakan sistem tanda yang stabil baik tertulis, lisan, atau digerakkan dengan bahasa isyarat.

Dalam teori Kristeva, proses penandaan memiliki dua mode, yaitu semiotik dan simbolik. Dengan kata lain semiotika Kristeva adalah material kulit telanjang (raw material) dari signifikasi yang bersifat badaniah dan hal libidinal yang mesti memanfatkan, sekaligus menyediakan, saluran ke arah regulasi dan kohesi sosial.

Pada simbolik Kristeva, adalah sebuah sistem yang teroedipalisasikan dan diregulasi oleh prosesproses sekunder di bawah hukum sang ayah. Sebelum mencapai semiotik dan simbolik Julia Kristeva melihat semiotika yang berdistingsi dengan simbol, the chora, dan hubungannya dengan wadah keibuan (maternal), serta artikulasinya dalam budaya.

Proses semiotik dalam film "Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak" berlandasan pada kecenderungan praliungistik dorongan-dorongan naluriah. Alur artikulasi subjek digambarkan pada skenario kekerasan yang terjadi di Sumba, tetapi benang merah berlandaskan kekerasan yang terjadi di Indonesia secara penindasan terhadap kalangan yang lebih lemah.

Tokoh Marlina mengamini ketimpangan gender yang terjadi di Indonesia. Proses semiotik melihat kultur Indonesia yang sedemikian beragam hingga ironi secara naluriah tergambar pada scene (Babak I dimana di film terdapat 4 babak) di film Marlina.

Babak 1 Film Marlina
info gambar

Janda muda yang ditinggal anak laki-laki serta suaminya yang baru saja meninggal mengisyaratkan tidak munculnya pertolongan dari siapa saja di sana. Bahkan jarak rumah tetangga tidak terlihat wujudnya. Tidak adanya upacara adat kematian, warisan yang ditinggalkan hanya ternak, jauh dari interaksi manusia memberikan alur intuisi kekerasan yang akan ditimbulkan oleh orang lain mengambil hak yang dimiliki Marlina.

Realisme sosial melihat ketimpangan gender, di mana pelaku perampokan beranggotakan 7 laki-laki dengan santai “bertamu” meminta harta dan martabat Marlina yang baru sepeninggalan suaminya, dan ironis mayat suami dimumikan duduk di rumah.

Simbolik yang menandai ironi kultur patriarki dalam film "Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak" tertuang pada dialog teks antara Markus dan Marlina ketika mengikuti Markus. Secara lirih terdengar sebagai berikut, Markus berucap, "Kau adalah perempuan paling berbahagia malam ini."

Mengenai hasrat Markus atas urusan yang harus dijalani Marlina di tempat. Ketika Marlina membantah Markus mengatakan bahwa, "Aku adalah perempuan bernasib paling sial." Selanjutnya Markus mengakhiri argumen itu, "Ah, kau perempuan, sukanya menjadi korban,” ungkapnya.

Screen Capture Babak 1 Film Marlina
info gambar

Pembahasan mengenai chora dari definisi Julia Kristeva sebagai ruang dalam perut ibu saat mengandung janin didalamnya, yang menentukan struktur tubuh, ego, dan identitas manusia sebagai subjek. Semiotika melihat chora dalam wadah semiotik dan simbolik menandai suatu kajian peristiwa, terlebih dalam film "Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak".

Analogi chora mewakili kondisi peran ibu dalam mengayomi anak yang tanpa welas pamrih pemberian kenyamanan setiap permintaan anak memberikan benang merang terhadap irono patriarki yang terjadi dalam film tersebut. Kesadaran inilah yang memberikan ruang patriarki menuntut lebih mengambil hak kaum yang lebih lemah mengangap enteng permasalahan dengan hak dominan.

Selayaknya seorang bayi yang meminta hak kepada ibu tanpa melakukan kewajiban yang sedikit setara, semua akan terpenuhi dengan sendirinya. Jika bayi tidak memperoleh apa yang diminta maka dia akan nangis, terlebih pemaksaan ironi kultur patriarki menghasilkan kekerasan diberikan ketika keinginan tidak memuaskannya.

Keintiman proses semiotik dan simbolik menarik benang merah chora sebagai induk problematika terbuat, terhadap skenario yang terjadi di film "Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak".

Semiotika Julia Kristema menganalogikan istilah ibu dalam material kulit telanjang, karena keinginan dibuat nyaman oleh suatu hal walaupun berakibat pemaksaan kehendak. Proses kehidupan pertama kali berorientasi pada sumber ritme dan gerak hidup manusia sejak tinggal pada tubuh ibu.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini