7 Film Indonesia yang Kurang Mendapat Apresiasi, Tapi Moncer di Luar Negeri

7 Film Indonesia yang Kurang Mendapat Apresiasi, Tapi Moncer di Luar Negeri
info gambar utama

Kawan GNFI, bicara soal film Indonesia yang berkualitas tentu tak ada habisnya. Sebut saja Film Gundala (Joko Anwar) yang mendapatkan beragam apresiasi dari pecinta film dunia.

Sayangnya, di antara semua film yang diproduksi oleh sineas Indonesia, tak semuanya mendapat apresiasi dari penonton di Indonesia, alias kurang laku di layar bioskop, atau malah dibredel (gagal tayang). Ironisnya, beberapa film yang justru berkualitas itu malah moncer di bioskop luar negeri, bahkan ada yang mendapatkan beberapa penghargaan internasional dunia perfilman.

Dalam artikel ini penulis akan membahas soal film Indonesia yang keren namun kurang mendapat apresiasi bagus dari dalam negeri, namun malah mendapatkan beragam penghargaan dan ditayangkan di festival film internasional.

Film-film tersebut punya cerita yang tak biasa, tema yang berani, bahkan sebagian di antaranya gagal tayang karena pemerintah menganggapnya tabu tabu atau dianggap sebagai aib.

Berikut daftarnya, kawan:

1. Kucumbu Tubuh Indahku (2018)

Isu LGBT memang merupakan isu yang sangat sensitif di Indonesia. Unsur agama dan budaya timur yang kental membuat masyarakat Indonesia menyisihkan kaum-kaum ini.

Film Kucumbu Tubuh Indahku merupakan film yang menceritakan perjalanan hidup Juno, seorang penari Lengger Lanang. Kesenian yang identik dengan pria yang berdandan menjadi seperti wanita.

Film ini mengangkat isu seksualitas sesama jenis ini digambarkan secara gamblang, yang berbuntut film ini jadi kontroversial dan dilarang tayang di bioskop Indonesia. Ironisnya, film ini memenangkan 2 dari 7 nominasi di ajang Festival Film Tempo 2018.

2. Marlina Si Pembunuh Empat Babak (2017)

Film Marlina Si Pembunuh Empat Babak merupakan film yang meraih beragam prestasi lokal maupun internasional. Film ini berhasil memenangkan 10 kategori dari 15 nominasi Festival Film Indonesia tahun 2018.

Dibintangi oleh Marsha Timothy, film ini menceritakan seorang janda yang suaminya baru saja meninggal. Tujuh orang perampok mendatangi rumahnya berniat untuk mengambil semua harta dan memperkosanya.

Marlina pun meracuni mereka semua dan memenggal kepala bos perampok. Dari desanya yang terpencil di pedalaman Sumba itu, Marlina membawa kepala tersebut ke kota untuk melaporkannya kepada polisi.

3. Turah (2016)

Turah merupakan film indie yang bakal memberikan perspektif baru soal kehidupan masyarakat miskin yang tertinggal dan terisolasi dari ingar-bingar modernitas.

Film ini bercerita tentang masyarakat kampung Tirang di Tegal yang sangat miskin. Mereka tak memiliki akses air bersih dan listrik. Satu-satunya penolong mereka adalah Darso, si juragan kaya.

Darso yang seakan mampu melakukan segalanya pada penduduk kampung, kemudian ditentang oleh Turah dan Jadag, 2 orang yang mencoba melawan dominasi Darso. Lalu, masalah kemudian datang ketika Darso tak mau lagi memberi bantuan ke desa tersebut.

Mendapatkan sejumlah penghargaan dan apresiasi internasional atas film ini, rasanya kita patut bangga. Sayangnya, di hari penayangan perdana film ini hanya 8 orang saja yang menontonnya.

4. Istirahatlah Kata-Kata (2016)

Film Istirahatlah Kata-Kata merupakan sebuah tayangan fiksi sejarah yang mendramatisir kehidupan Widji Thukul, seorang sastrawan dan aktivis yang vokal menyuarakan perlawanan terhadap rezim Orde Baru.

Puisinya yang kritis membuatnya menjadi buronan hingga akhirnya ia menghilang tanpa bekas pada tahun 1998. Meski begitu, film ini juga menyajikan dark comedy yang satir dan sangat menghibur.

Tapi, karena temanya sensitif, film ini hanya tayang selama beberapa hari di bioskop. Bahkan, saking sensitifnya film ini, aparat mendatangi tempat-tempat yang menayangkan film ini.

5. Babi Buta yang Ingin Terbang (2016)

Babi Buta yang Ingin Terbang adalah film dengan genre drama, yang mengisahkan kehidupan masyarakat etnis Tionghoa saat kaum pribumi sedang gencar melakukan persekusi.

Berkisah tentang, Linda, gadis keturunan Tionghoa, dan Cahyono, sahabatnya, kondisi masyarakat saat itu membuat hubungan persahabatan mereka terhalang oleh norma sosial.

Film ini mengangkat isu nasionalisme di antara masyarakat etnis Tionghoa yang kerap terpinggirkan. Hal inilah yang membuat film Babi Buta yang Ingin Terbang ini mendapat banyak penghargaan internasional.

6. Siti (2015)

Mengangkat kelamnya hidup masyarakat kelas bawah, film Siti hadir dengan format warna hitam putih. Siti merupakan seorang pemandu karaoke kelas bawah di Parangtritis, Yogyakarta.

Di siang hari, Siti bekerja sebagai penjual peyek jingking. Semua itu dilakukannya demi membayar hutang suaminya yang lumpuh. Tak hanya itu, ia juga harus membiayai kehidupan keluarganya. Namun ironisnya, suami Siti malah menganggapnya rendah karena pekerjaannya.

Film ini mendapat beragam penghargaan di luar negeri, salah satunya masuk dalam kategori naskah terbaik dan sinematografi terbaik di festival film Shanghai 2015.

7. Senyap (2014)

Senyap merupakan film dokumenter karya sutradara Joshua Oppenheimer, sutradara dari film kontroversial, The Act of Killing. Film dokumenter ini mengangkat kisah kelam di balik pembantaian PKI tahun 1965.

Berbeda dengan film sebelumnya, Senyap mengangkat cerita dari sudut pandang korban. Kehidupan Adi dan keluarganya berubah lantaran mereka dianggap sebagai bagian dari organisasi PKI.

Dikisahkan, kakak Adi menjadi salah satu korban pembantaian dan Adi kemudian berusaha mencari tahu siapa yang menjadi pembunuh kakaknya. Film ini bahkan menjadi salah satu nominasi film dokumenter terbaik Oscar.

Nah, kawan, demikian 7 film Indonesia berkualitas yang kurang mendapatkan apresiasi, namun malah dianggap memiliki kualitas baik melalui pengargaan internasional.

Gimana menurut kawan GNFI?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Mustafa Iman lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Mustafa Iman.

Terima kasih telah membaca sampai di sini