Inilah Kelelawar-kelelawar yang Disucikan dan Menghidupi Masyarakat Klungkung

Inilah Kelelawar-kelelawar yang Disucikan dan Menghidupi Masyarakat Klungkung
info gambar utama

Goa Lawah, sebuah goa yang menjadi pusat sebuah pura. Puluhan ribu kelelawar (lelawah) tinggal dalam goa berdalaman sekitar 30 meter dan hidup berdampingan dengan umat yang tiap hari bersembahyang. Kotorannya jadi booster pupuk organik yang diambil warga.

Wayan Nuranta, tukang jaga dan kebersihan pura sigap membersihkan sisa bunga yang digunakan untuk bersembahyang oleh warga. Tiap hari, selalu ada yang datang membawa sesajen lalu sembahyang menangkupkan tangan di atas kepala untuk doa keselamatan alam dan kesejahteraan. Nuranta lah yang paling dekat dengan kerumunan kelelawar ini karena tiap hari bekerja melayani umat menghaturkan sesajen.

Ribuan kelelawar rehat siang di goa lawah sedalam sekitar 30-50 meter di kaki bukit kawasan perbatasan Klungkung-Karangasem, Bali. Foto Anton Muhajir
info gambar

Suara kelelawar terdengar riuh di dalam goa walau sedang rehat siang hari. Ada yang terbangun lalu terbang di dalam goa. Hewan-hewan sebesar buah kelapa ini bergantungan di sekeliling goa. Hilir mudik warga serta wangi dupa sudah jadi pemandangan harian di sini. Kombinasi goa gelap dengan suara kelelawar dan denting genta serta warna-warni kain di tugu dan pakaian adat warga, membuat suasana menjadi mistis dan syahdu.

Sebelum pandemi, para turis yang mengenakan kain dan selendang khusyuk melihat kelelawar ini. Pelancong diizinkan masuk ke dalam pura dengan syarat tak masuk ke dalam goa. Tugu-tugu persembahyangan tepat depan goa. Namun tak ada bau menyengat kotoran kelelawar.

Suasana pura sangat teduh. Sejumlah pohon raksasa dipelihara bahkan dililitkan kain untuk disucikan. Ada pohon yang seolah memiliki roman wajah. Bukit Pucak Sari ini lebat dan memberikan cadangan makanan cukup untuk para kelelawar yang tak pernah berani diganggu oleh siapa pun.

Alkisah pembaharu agama Hindu Empu Kuturan pada abad 14 singgah di salah satu bukit di Kabupaten Klungkung ini. Hanya ada goa dan kelelawar, belum ada pura. Kawanan kelelawar ini diyakini sudah ada sebelum Mpu Kuturan datang. Ada kekuatan di luar kemampuan manusia yang dirasakan Mpu Kuturan disini sampai dijadikan tempat pemujaan. Seperti tempat-tempat suci lain yang dibangun dari petilasan Mpu Kuturan. Saat itu masih sangat sederhana sebelum ditambah bangunan wantilan, tugu-tugu, dan gapura megah.

Sampai kini kelelawar dihormati atau disakralkan. “Kelelawar diyakini simbol kesuburan. Masyarakat Subak sebelum nanam padi sembahyang dulu di sini agar hasilnya gemah ripah, juga nelayan,” kata Putu Juliadi, salah satu pengurus pura Goa Lawah.

Mereka bahkan meminta atau nglungsur kotoran kelelawar untuk dipakai pupuk di sawah, ditebarkan sedikit saja dan diyakini mrana atau hama akan dijauhkan. “Ada ilmuwan Jerman yang ke sini, kelelawar ini karena makanannya buah bagus untuk pupuk,” tambah Juliadi. Hutan bebukitan Barat Besan, Dawan ini masih menyediakan pangan yang cukup untuk para kelelawar ini. Tak hanya itu, juga membantu reboisasi alami karena biji buah yang dimakan menjadi bibit dan meregenerasi pepohonan sekitar.

Bebukitan yang rimbun memberi makanan untuk kelelawar sekaligus air bersih untuk warga sekitar di kawasan gua lawah, Klungkung, Bali. Foto Luh De Suriyani diambil sebelum Pandemi
info gambar

Dampak jangka panjang yang dirasakan sampai kini adalah pasokan air tanah terjaga. Bahkan lokasi sekitarnya jadi sumber air bahan baku untuk PDAM. Kombinasi koloni binatang dan pura kerap memang menjadi resep kerjasama berkelanjutan perlindungan alam di Bali.

“Simboisis mutualisme dan mata rantai ini harus dijaga untuk kelestarian lingkungan. Saya mengharapkan desa tetangga dan pemerintah memberikan izin membangunnya diperketat sekitar bebukitan,” ujar Juliadi untuk mencegah alih fungsi lahan. Pihaknya juga melakukan penanaman pohon ketapang, singapur, dan tanaman buah lainnya untuk memastikan rantai makanan ini berjalan secara alami. “Sangat bersyukur. Biarkan alami tak pernah di-feeding. Mereka juga tak pernah makan yang sengaja diberikan,” tutur pria ini.

Kawanan binatang nocturnal, aktif di malam hari ini tiap hari keluar goa mulai petang. Gelombang kelelawar keluar dari pura menuju tempat mencari makan. Namun anehnya, tak semua keluar bersamaan, mereka seperti gantian. Ada sebagian menunggu. Bayangkan jika semua serempak keluar goa, kawasan ini bisa seperti ditutup awan kelelawar.

Sejauh ini tak ada insiden soal kelelawar dengan warga. Selain itu ada ular yang juga disakralkan di sekitar goa. Goa habitat kelelawar buah jika ditelusuri bisa sampai 50 meter. Namun mereka disebut tak pernah hinggap sampai ke ujung karena ada ular. Ini menjadi sistem pengendalian alami populasi kelelawar. Demikianlah, siklus alam jika dibiarkan alami mampu menjaga keseimbangannya.

Daya tarik kelelawar ini membuat pura goa lawah dikunjungi 150-200 orang per hari. Pendapatan dari tiket masuk sekitar Rp6000 untuk dewasa dan Rp4000 untuk anak-anak saja bisa sampai Rp450 juta per tahun. Ini dibagi antara desa adat dan pemerintah kabupaten.

Rejeki juga dirasakan warga sekitar yang menjual suvenir, makanan, canang untuk sembahyang, dan lainnya. Hampir tiap bulan ada rombongan ribuan warga untuk bersembahyang atau melakukan ritual terkait Nyegara Gunung (penghormatan satu kesatuan gunung dan laut) di pura goa lawah.

Lokasinya di bebukitan dan menghadap samudera di Pesinggahan, Klungkunga, Bali dinilai memberikan energi besar. Sehingga sakral dan disucikan. Diyakini pura ini beristana Dewa Maheswara, Dewa Basuki, dan Segara. Mereka melancaran atau “jalan-jalan” lewat jalur laut ini yang dijaga Naga Besuki dari pura agung Besakih, the mother temple.

Menemukan goa lawah tak sulit, karena persis berada di jalur jalan utama menuju Bali ke Timur. Dari pusat Kota Denpasar sekitar 1,5 jam berkendara. Pagi dan sore juga ada rombongan kera ekor panjang (macaca fascicularis) yang mencari makan. Belum lagi koloni burung dan lainnya. Barangkali harmoni ini yang membuat tempat ini begitu berenergi.

Dalam buku Jenis-jenis Kelelawar Agroforest Sumatera oleh Prasetyo PN, Noerfahmy S dan Tata HL diterbitkan World Agroforestry Centre – ICRAF dalam worldagroforestry.org menuliskan kelelawar merupakan salah satu jenis mamalia yang dapat digunakan sebagai indikator dalam penilaian suatu ekosistem.

Perannya sebagai pemencar biji, pemakan serangga dan penyerbuktidak dapat diabaikan, karena berfungsi dalam mengatur dan mengendalikan ekosistem. Kehilangan salah satu peran tersebut akan menyebabkan keseimbangan ekosistem terganggu. Inventarisasi mengenai jenis-jenis kelelawar telah banyak dilakukan di Indonesia.

Suyanto (2001) melaporkan bahwa kekayaan jenis kelelawar di Sumatera mencapai 68 jenis dari 35 Marga. Sebanyak 46 jenis dari 6 Marga yang terdiri dari 70% pemakan serangga (Microchiroptera) dan 30% pemakan buah (Megachiroptera) ditemukan di Provinsi Sumatera Utara dan Jambi.

Buku ini menyajikan deskripsi jenis-jenis kelelawar yang ditemukan di kedua provinsi tersebut pada beberapa tipe penggunaan lahan yaitu hutan primer, hutan sekunder, kebun karet monokultur, kebun karet agroforest dan kebun pekarangan yang diamati pada periode antara tahun 2005 – 2011.

Selain itu, perannya dalam ekosistem, areal persebarannya, habitat dan status kelangkaannya juga disajikan dalam buku ini sehingga menjadi bahan pertimbangan dalam mengelola sistem penggunaan lahan yang mempertimbangkan aspek-aspek konservasi.

--

Artikel ini diplublikasikan kembali dari Mongabay.co.id atas kerjasama GNFI dengan Mongabay Indonesia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini