Penemuan Bersejarah: Hilang 172 Tahun, Burung ini Ditemukan Kembali di Kalimantan

Penemuan Bersejarah: Hilang 172 Tahun, Burung ini Ditemukan Kembali di Kalimantan
info gambar utama

Muhammad Suranto dan Muhammad Rizky Fauzan sungguh beruntung. Dari hutan di Kalimantan, pada 15 Oktober 2020 lalu, mereka menjumpai jenis burung yang tak dikenali. Dengan rasa penasaran, mereka menangkap jenis tersebut.

Setelah memotret burung itu dari berbagai sudut, mereka melepasnya. Berikutnya, mereka melaporkan temuannya ke kelompok pengamat burung, BW Geleatus.

Hasil foto-foto burung itu pun menjadi perbincangan hangat di kelompok Geleatus. Pada 8 Oktober 2020, para pengamat burung ini pun membuat grup WA khusus dengan nama ‘New Species’.

Perbincangan dalam grup semakin intensif. Mohammad Irham, Peneliti Ornitologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI], pada 9 Oktober 2020 menyatakan, burung itu dari keluarga Malacocincla,

Sehari berikutnya, Panji Gusti Akbar, dari Kelompok Ornitologi Indonesia Birdpacker mencurigai burung itu adalah pelanduk kalimantan [Malacocinclaperspicillata].

Burung pelanduk kalimantan yang ditemukan kembali setelah 172 tahun menghilang. Foto: Muhammad Rizky Fauzan
info gambar

“Saya curiga ini burung pelanduk kalimantan, namun sempat ragu karena morfologinya agak berbeda dengan spesimen yang ada di Museum Naturalis Biodiversity Center di Leiden, Belanda. Namun begitu, tak ada burung lain yang mirip selain pelanduk kalimantan tersebut,” tutur Panji seperti dikutip MongabayIndonesia, Selasa [02/3/2021].

Spesies pelanduk kalimantan di museum memang memiliki mata kuning, namun dijelaskan Panji, itu adalah mata palsu karena mata memang tidak bisa diawetkan. Sedangkan paruh dan kakinya berwarna agak kemerahan karena disporasi dalam proses pengawetan.

Ia pun berkonsultasi dengan banyak peneliti ornitologi, dan hasilnya semua yakin burung tersebut adalah jenis pelanduk kalimantan.

“Akhirnya kami sepakat bikin paper yang akhirnya dipublikasikan di Jurnal Birding Asia Vol. 34 tahun 2020,” terang Panji yang juga menjadi penulis di laporan tersebut.

Penemuan bersejarah

Temuan burung yang dalam Bahasa Inggris disebut Black-browed babbler ini mengejutkan para ahli biologi, sebab telah 172 tahun lalu menghilang.

Menurut Teguh Willy Nugroho, Pengendali Ekosistem Hutan [PEH] Pertama Balai Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah, semua bermula pada tahun 1840-an, ketika Ahli Geologi dan Naturalis Jerman, Carl A.L.M. Schwarner mengumpulkan berbagai spesimen. Salah satunya adalah Malacocinclaperspicillata. Kemudian digambarlah burung itu oleh ornitologi asal Prancis, Charles Lucian Bonaparte, sekitar tahun 1850.

Temuan ini telah dituliskan dalam Jurnal Birding Asia Vol. 34 tahun 2020. Foto: Muhammad Rizky Fauzan
info gambar

“Namun ada mislabel spesimen di Belanda, karena diambil di Pulau Jawa. Tahun 1895, Ahli Ornitologi Swiss, Johann Buttikofer memberi keterangan bahwa Schwaner waktu itu berada di Pulau Kalimantan,” kata Teguh.

Dengan penemuan tersebut, teka-teki selama 172 tahun tentang asal burung ini terjawab.

Jenis pelanduk

Burung pelanduk kalimantan sesungguhnya bukan satu-satu burung dari jenis pelanduk. Di Indonesia, diketahui ada jenis lain lagi yaitu pelanduk dada putih [Trichastoma rostratum], pelanduk ekor pendek [Malacocincla malaccensis], pelanduk merah [Trichastoma pyrrogenys], pelanduk semak [Malacocincla sepiaria], pelanduk sulawesi [Trichastoma celebence], dan pelanduk topi hitam [Pellorneum capistratum]. Sayangnya, semua jenis burung tersebut masih minim data.

Pelanduk kalimantan ditemukan pada Oktober 2020 lalu. Foto: Muhammad Rizky Fauzan
info gambar

Menurut Teguh, dari literatur yang ada saat ini, burung pelanduk kalimantan berukuran 16 sentimeter, berwarna cokelat dengan burik abu-abu di perut, memiliki dahi dan garis alis hitam, iris kuning, paruh hitam, dan kaki merah muda. Suara burung ini belum diketahui dan persebarannya di Pulau Kalimantan.

Namun, James A. Eaton dari BirdsofIndonesianArchipelagoGreaterSundasandWallace pada 2016 menyatakan, burung tersebut memiliki penampilan khas, yaitu paruh yang kuat, besar, sayap serta ekor pendek. Supercilium hitam mencolok, garis-garis putih, mahkota dan bagian atas cokelat pucat berwajah abu-abu pucat, dada abu-abu bergaris tipis putih.

James juga menuliskan, burung pelatuk kalimantan mungkin penghuni bekas rawa gambut yang luas di Kalimantan bagian selatan di sekitar Kawasan Sebangau atau kawasan lindung sekitarnya. Dia juga penghuni lanskap Pegunungan Kayan Mentarang.

Atas keberuntungan yang akhirnya memecahkan teka-teki 172 tahun itu, Muhammad Suranto dan Muhammad Risky Fauzan mengatakan tidak menyangka telah menemukan spesies burung yang menurut para ahli telah dianggap “punah” tersebut.

“Kami pikir itu hanyalah burung yang belum kami lihat sebelumnya,” kata Muhammad Rizky Fauzan dalam keterangan tertulis.

Penelitian dan habitat

Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, Indra Exploitasia, sangat mengapresiasi penemuan ini. Menurutnya, ini sebuah pencapaian tinggi untuk dunia konservasi, sebab burung tersebut selama ini sudah dianggap punah.

“Kita berusaha akan melestarikannya di alam liar dan meneliti lebih lanjut,” kata Indra.

Mengacu Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dalam Pasal 5 disebutkan, jenis tumbuhan dan satwa yang wajib dilindungi adalah apabila diketahui populasi yang kecil, adanya penurunan individu yang tajam di alam, dan daerah persebarannya terbatas [endemic].

“Terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang memenuhi kriteria dalam ayat satu, yaitu yang mempunyai populasi kecil, maka wajib dilakukan upaya pengawetan.”

Berdasarkan data Burung Indonesia, jumlah jenis burung di Indonesia tahun 2020 tercatat sebanyak 1.794 spesies. Jika dibanding 2019, angka ini bertambah 21 jenis, dari sebelumnya 1.773 spesies.

===

Artikel ini adalah republikasi dari artikel di Mongabay.co.id atas MoU GNFI dengan Mongabay Indonesia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini