Menarik Para Digital Nomad Tinggal di Indonesia

Menarik Para Digital Nomad Tinggal di Indonesia
info gambar utama

Dulu tahun 1973, saya di Fakultas Ekonomi Unair memperoleh mata kuliah Antropologi yang diajarkan oleh almarhum Prof. Soetandyo (beliau juga pendiri FISIP Unair). Dalam kuliahnya itu almarhum dengan sangat menarik menjelaskan tentang antropologi budaya, juga cerita tentang masyarakat Nomaden pada jaman-jaman kuno seperti jaman batu, dimana masyarakat/suku Nomaden itu berpindah-pindah tempat disebabkan karena alam tidak mendukung mereka dalam menacari kebutuhan hidup seperti makan.

Namun sejak beberapa tahun lalu muncul masyarakat Information Technology (IT) yang disebut sebagai Digital Nomad. Mereka ini tentu tidak seperti masyarakat Nomad yang diceritakan Prof. Soetandyo itu, tapi merupakan kelompok masyarakat baru di era digital ini.

Secara umum disebutkan pengertian masyarakat Digital Nomad ini antara lain orang yang menggunakan teknologi komunikasi dalam mencari penghasilan dan mereka ini berpindah-pindah tempat dengan cara nomaden tadi. Orang-orang ini adalah orang yang bekerja diluar negeri, bahkan di kedai kopi, perpustakaan umum, tempat rekreasi dsb dengan menggunakan IT yang dihubungkan lewat internet seperti laptop atau HP.

Mereka ini umumnya sukses dalam mencari penghasilan dan umumnya terdiri dari pensiunan (atau menjelang pensiun), orang yang ingin bekerja independen, flexible dan bebas menentukan lokasi dimana mereka bekerja serta para entrepreneur muda. Mereka ini bisa saja seorang investor keuangan, peenulis buku, ahli marketing digital, pembuat vlog atau video tentang parawisata dan kuliner dsb.

Mereka ini juga sekarang menjadi target beberapa negara agar mau tinggal dinegaranya bekerja dengan nyaman sebagai Digital Nomad, negara – negara itu termasuk Indonesia yang mulai gencar menarik mereka untuk tinggal di Bali dalam waktu lama dengan diberikan kemudahan mendapatkan Visa tanpa surat ijin kerja (Work Permit).

Resty Woro Yuniar seorang peenulis, baru-baru ini menceritakan kenapa Bali menjadi daya tarik bagi para Digital Nomad. Mislkan kisah tentang Dan Clarke seorang investor Cryptocurrency yang biasanya bekerja riwa-riwi Jakarta- Singapura, menyatakan betah bekerja dengan laptopnya di Bali karena berbagai fasilitas modern yang ada. Misalkan diakui bahwa di beberapa wilayah di Bali WI-FI nya bahkan lebih bagus dan kuat dibandingkan dengan di beberapa wilayah di Singapura.

Selain itu, biaya tinggal di Bali sangat dapat dijangkau; menyewa Villa bagus hanya US 900/bulan, Villa ini ada kolam renangnya, ada pegawai yang membersihkan setiap hari; ada fasilitas Netflix dan PlayStation gratis. Dia bekerja sebagai Digital Nomad seperti seorang raja.

Memang, beberapa keunikan pulau dewata ini sangat menarik bagi para Digital Nomad misalnya adat-istiadat Bali, agama Hindu Bali, pantai yang biru, panorama persawahan dengan bentuk sawah padi terasiring, masyarakatnya yang toleran, dan tentu fasilitas internetnya bagus.

Karena itu pihak pemerintah dalam rangka membangkitakan ekonomi di era pandemi covid-19 ini berusaha memberikan kemudahan Visa selama lima tahun dan tanpa ijin kerja kepada para Digital Nomad yang berasal dari berbagai negara di belahan dunia. Menteri Pariwisata Sandiaga Uno bekerkoordinasi dengan pihak imigrasi dan inudtsri properti dalam rangka menarik minat masyarakat Digital Nomad untuk tinggal dan bekerja di Bali.

Menparekraf Sandiaga Uno, mengatakan bahwa kebijakan pemberian kemudahan Visa bagi para Digital Nomad bertujuan agar mereka menganggap Bali sebagai rumah kedua. Mereka bisa bekerja di pantai maupun persawahan yang tenang seperti di daerah Ubud.

Para Digital Nomad ini berpendapat bahwa bila kebijakan kemudahan Visa bagi mereka ini berjalan, maka akan membuat ekonomi Indonesia bangkit dan bisa disejajarkan dengan negara Georgia dan Estonia yang sudah lebih dulu mengeluarkan kebijakan serupa.

Namun kita jangan dulu berbangga dengan daya tarik pulau Bali, karena di tingkat ASEAN Bali bersaing dengan Chiang Mai, Thailand; Penang, Malaysia; Da Nang dan Ho Chi Minh, Vietnam maupun Davao di Pilipina. Negara-negara ini juga memiliki kebijakan serupa yakni memberi kemudahan Visa bagi para Digital Nomad.

Sebenarnya selain Bali, Indonesia punya banyak tempat-tempat yang menarik bagi masyarakat Digital Nomad untuk berlama-lama tinggal dan bekerja dengan Laptop nya, seperti Yogyakarta, daerah perkebunan teh di Jawa Barat, daerah dekat danau Wakatobi, Minahasa, Sumatra Barat dll.

Namun, Indonesia juga perlu memperhatikan berbagai kelemahan, misalkan birokrasi yang panjang dan berbelit-belit; praktek pemberian uang sogok dsb; karena banyak laporan para wisatawan memberi uang sogok agar masa tinggalnya bisa diperpanjang. Pernah seorang Digital Nomad dari Amerika Serikat bernama Kristen Gray dideportasi dari Indonesia karena pelangaran Visa.

Selain itu kalau kita serius ingin meningkatkan jumlah wisatawan asing yang masuk ke Indonesia tentu harus diperhatikan perbaikan infrastruktur, tidak hanya hotel, Bandara, fasilitas kesehatan dll, tapi juga infrastruktur teknologi informasi.

Para Digital Nomad tentu tidak akan mau tinggal lama di suatu daerah di negeri kita dimana Internet nya sering lemot. Padahal kemajuan IT ini merupakan syarat mutlak masyarakat Digital Nomad untuk bisa bekerja.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

AH
AH
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini