Grab yang Makin Meraksasa, dan Kesempatan Emas yang Hilang bagi Malaysia

Grab yang Makin Meraksasa, dan Kesempatan Emas yang Hilang bagi Malaysia
info gambar utama

Hari-hari belakangan ini, Grab benar-benar menarik perhatian, seiring dengan rencana perusahaan dari Singapura tersebut untuk melantai di bursa Amerika Serikat. Untuk mendukung rencana tersebut, Grab melakukan merger dengan Altimeter Growth, suatu perusahaan khusus untuk tujuan akuisisi (SPAC / special purpose acquisition company).

Rencana nilai (valuasi) transaksi keduanya yang diprediksi dapat mencapai kurang lebih 39,6 miliar dolar AS (atau setara Rp570 triliun) berdasarkan nilai PIPE (private investment in public equity) yang mencapai lebih dari 4 miliar dolar AS dan diprediksi akan memberikan investasi dalam bentuk dana tunai baru ke Grab sampai dengan total 4,5 miliar dolar AS.

Ini adalah kesepakatan SPAC terbesar yang pernah terjadi.

Valuasi hampir 40 miliar dolar AS tersebut didasarkan pada nilai ekuitas proforma. Dengan operasi di 8 negara dan 398 kota, Grab sudah menjadi startup paling berharga di Asia Tenggara.

Para investor dalam PIPE ini didalamnya termasuk dana investasi yang dikelola oleh BlackRock, Counterpoint Global (Morgan Stanley Investment Management), dan T.Rowe Price Associates, Inc., termasuk juga Fidelity International, Fidelity Management and Research LLC, Janus Henderson Investors, Mubadala, Nuveen, Permodalan Nasional Berhad, dan Temasek.

Tak ketinggalan investor terkemuka dari Indonesia, seperti Djarum, Keluarga Sariaatmadja, dan Sinar Mas juga berpartisipasi dalam penawaran PIPE ini.

Listing di bursa Amerika Serikat ini akan memberi Grab kekuatan ekstra di pasar utamanya, Indonesia, di mana saingannya Gojek sedang bersiap-siap untuk merger dengan raksasa eCommerce nasional, Tokopedia.

Anthony Tan dan MyTeksi (Malaysia Teksi) | Grab
info gambar

Di luar ingar bingar ini, perlu diingat bahwa sang raksasa Asia Tenggara yang bermarkas besar di Singapura tersebut pada dasarnya adalah sebuah perusahaan 'baru'. Grab yang didirikan pada 2012 di Malaysia dengan nama "MyTeksi" oleh Anthony Tan bersama dengan Tan Hooi Ling (keduanya adalah orang Malaysia yang sama-sama kuliah di Harvard University).

MyTeksi pada awalnya merupakan perusahaan yang berfokus pada bisnis berbagi kendaraan atau ride-hailing, untuk memberikan kemudahan, kenyamanan, dan keamanan dalam menggunakan jasa taksi.

Benar, pada awalnya MyTeksi adalah sebuah perusahaan Malaysia, bahkan pendanaan awalnya pun didapatkan dari Cradle Fund Sdn Bhd, sebuah agensi di bawah kementerian keuangan. MyTeksi berubah nama menjadi GrabTaxi yang kemudian berekspansi ke Filipina pada Agustus 2013, ke Singapura dan Thailand pada Oktober tahun yang sama, 2014 ke Vietnam dan Indonesia.

GrabTaxi awalnya mengajukan permohonan dana hibah dari Khazanah Nasional, SWF milik pemerintah Malaysia. Setelah proses yang panjang dan lama dan proses internal yang lama, akhirnya Khazanah tidak menyetujui untuk memberikan dana hibah. Justru, SWF dari negara tetangga Malaysia, Singapura, yakni Temaseklah yang kemudian setuju menggelontorkan dana 10 juta dolar AS ke Grabtaxi. Di tahun yang sama, GrabTaksi memutuskan untuk memindahkan kantor pusatnya dari Malaysia ke Singapura.

Itulah titik awal Grab berpindah ke Singapura, dari Malaysia, tempat lahirnya. Tentu saja banyak alasan lain. Majalah Finance Asia menerbitkan sebuah artikel yang menceritakan mengapa startup seperti Grab memilih Singapura, bukan Kuala Lumpur, sebagai kantor pusatnya. Menurut artikel tersebut, masalah regulasi terkait penggalangan dana dari modal ventura internasional menjadi alasan, mengapa akhirnya Singapura yang mereka pilih.

Majalah tersebut mengutip Chua Kee Lock, presiden grup dan CEO Vertex Holdings (milik Temasek yang mendanai Grab 10 juta dolar AS), yang sukses membujuk Grab untuk mengambil langkah tersebut (memindahkan kantor pusatnya) dan menjelaskan mengapa dia berharap lebih banyak perusahaan startup yang melakukan langkah yang sama.

Memilih Singapura | Grab
info gambar

Dia mengatakan bahwa Singapura mempunyai keunggulan bagi perusahaan-perusahaan startup karena mendapatkan subsidi awal dari pemerintah dan juga mendapatkan keringanan pajak. Tetapi yang lebih penting adalah ekosistem yang berkembang dengan baik untuk pendanaan awal yang pada akhirnya membantu menarik pemodal internasional dan membawa valuasi yang lebih tinggi pada perusahaan.

Dan menggunakan fasilitas dan reputasi Singapura sebagai ekosistem yang berkembang dengan baik untuk pendanaan awal yang membantu menarik pemodal internasional dan memberikan valuasi yang lebih tinggi untuk penawaran publik, menjadikan Grab seperti sekarang ini.

Menurut Chua, Singapura telah berhasil menciptakan perusahaan-perusahaan rintisan besar seperti Garena, Lazada, dan Razer yang bernilai miliaran dolar, dan ini juga lah yang kemudian membuat Grab mantap berpindah kantor pusat.

Lebih lanjut, Finance Asia juga menulis bahwa meski Malaysia dan Singapura telah menghabiskan banyak upaya dalam mendorong inovasi dan kewirausahaan di negara masing-masing, namun Singapura terbukti telah berhasil menciptakan ekosistem startup yang lebih kuat.

Sementara itu, harian The Star menulis artikel menarik beberapa hari lalu berjudul "Grab–A missed opportunity for Malaysia" (Grab-Sebuah kesempatan yang terlewatkan bagi Malaysia). Di sana ditulis bahwa keluarnya perusahaan-perusahaan potensial seperti Grab (ke negara-negara lain) secara tidak langsung merupakan pertanda kurangnya kepercayaan terhadap pasar domestik Malaysia dan adanya kebutuhan mendesak dari pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut.

Selain itu, jika tak segera dilakukan upaya mengatasi hal tersebut, Malaysia akan kehilangan peluang ekonomi yang sangat besar dan peluang untuk memperkuat talenta-talenta domestik, jika lebih banyak perusahaan lokal berusaha meninggalkan Malaysia jika ada kurangnya kemauan untuk mendanai usaha semacam itu.

Seorang sumber yang dikutip oleh The Star mengatakan, bahwa alasan utama Grab pindah ke Singapura pada 2014 adalah kurangnya pendanaan di Malaysia, sehingga sulit bagi Grab untuk berekspansi.

Grab bukan satu-satunya "permata" yang hilang dari Malaysia. Banyak perusahaan Malaysia lainnya yang lebih memilih melantai di bursa saham negara, seperti Hong Kong dan Australia, dibandingkan dengan Bursa Malaysia. Kementerian Keuangan Malaysia mengatakan ada 68 perusahaan Malaysia telah terdaftar di valuta asing per 30 Juni 2019.

Para ahli mengatakan bahwa perusahaan Malaysia banyak meninggalkan negara tersebut untuk mencari aksesibilitas pasar yang lebih besar, opsi permodalan yang lebih beragam, dan juga untuk mendapatkan talenta-talenta berkualitas tinggi.

Mereka juga menambahkan bahwa Malaysia perlu melakukan perubahan struktural yang penting jika benar-benar serius mempertahankan perusahaan-perusahan yang potensial agar tidak "pindah negara".

Carmelo Ferlito | researchgate
info gambar

Sementara itu, CEO Center for Market Education, yang berbasis di Subang Jaya, Selangor, Carmelo Ferlito, mengatakan bahwa Singapura mempunya keunggulan historis yang baik, yang berbasis ada stabilitas politik, business-friendly, dan sistem perpajakan yang adil. Ferlito juga menggarisbawahi bahwa Malaysia pada dasarnya kekurangan talenta digital.

Dia mengatakan upaya-upaya yang dilakukan dan didorong oleh pemerintah Malaysia untuk menumbuhkembangkan talenta digital tidak dapat mengisi kekurangan kebutuhan, serta menambahkan bahwa "inisiatif kewirausahaan yang baik hanya dapat muncul secara organik".

Sementara itu, country manager StashAway Malaysia, Wong Wai Ken, meyakini bahwa negara tersebut memiliki fondasi yang tepat bagi bisnis untuk tumbuh berkembang, namun tetap membutuhkan perpaduan yang tepat antara modal, bakat, insentif, dan regulasi.

Selain itu, kata dia, startup dan perusahaan lain jangan hanya fokus pada dukungan dan subsidi pemerintah. Menurutnya, faktor keberhasilan utama adalah menemukan produk yang dibutuhkan pasar.

Sementara itu, President at The Malaysian Business Angels Network, Dr. Sivapalan Vivekarajah menyoroti tentang tak ada satupun startup unicorn di Malaysia. Menurutnya, populasi Malaysia yang kecil (sekitar 32 juta) menyulitkan negara tersebut memiliki unicorn.

Meskipun begitu, dia juga menggarisbawahi bahwa Australia, Singapura, dan New Zealand, mempunyai cukup banyak unicorn, karena mereka menjual produk dan jasanya secara global, dan tidak mengandalkan pasar dalam negeri.

Selain itu, Dr. Sivapalan tidak setuju jika Malaysia kekurangan talenta digital. Menurutnya, masalahnya bukan ketiadaan talenta di Malaysia, akan tetapi lebih kepada dana untuk merekrut mereka. Menururnya, sebagian besar startup di Malaysia tidak memiliki cukup dana untuk merekrut talenta-talenta terbaik, sehingga mereka akhirnya merekrut bakat yang biasa-biasa saja dan membangun startup biasa-biasa saja yang tidak akan pernah menjadi unicorn. Di tambah lagi, pendanaan dalam negeri terhadap startup juga sangat kecil, yang menyulitkan mereka berkembang dan berekspansi, juga bersaing dengan pemain-pemain raksasa Asia Tenggara.

Grab yang seharusnya besar, berkembang, dan bermarkas besar di Malaysia, akhirnya memilih tetangga kecilnya yang menawarkan solusi dari semua hal di atas. Ah...andai saja..

Referensi:

CoconutsKL. “Why Grab Taxi Had to Leave Malaysia for Singapore in Order to Succeed: Coconuts KL.” Coconuts, 7 June 2017, coconuts.co/kl/news/grab-taxi-leave-malaysia-singapore-order-succeed/.

“IPO Grab Di Bursa AS Didukung Investor Kakap, Dari BlackRock Hingga Grup Djarum: Teknologi.” Bisnis.com, 15 Apr. 2021, teknologi.bisnis.com/read/20210415/266/1381850/ipo-grab-di-bursa-as-didukung-investor-kakap-dari-blackrock-hingga-grup-djarum.

Shi, Ann. “How Vertex Lured Grab to Singapore: Singapore, Southeast Asia, Grab, Vertex, Venture Capital, Fund Raising, Valuation, Softbank.” FinanceAsia, FinanceAsia, 2 June 2017, www.financeasia.com/article/how-vertex-lured-grab-to-singapore/436929.

Wftv. “Grab Leaving Malaysia Is Kuala Lumpur's Loss to Singapore.” The Independent Singapore News, 6 June 2017, theindependent.sg/grab-leaving-malaysia-is-kuala-lumpurs-loss-to-singapore/.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

AH
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini