Menepi ke Pelabuhan Pontianak, Melihat Kegiatan Perdagangan Internasional Tempo Dulu

Menepi ke Pelabuhan Pontianak, Melihat Kegiatan Perdagangan Internasional Tempo Dulu
info gambar utama

Pontianak sebagai ibu kota Provinsi Klimantan Barat, selain terkenal sebagai kota yang dilalui oleh garis khatulistiwa, ia juga dikenal sebagai daerah yang secara geografis dibelah oleh Sungai Kapuas dan Sungai Landak.

Letaknya yang strategis di persimpangan antara dua sungai besar, kemudian membawa berkah bagi Pontianak sebagai pusat perekonomian terutama pada sektor perdagangan. Ditambah lagi, adanya faktor kepemimpinan yang mumpuni di Kota Pontianak pada masa itu. Akhirnya, membuat Pelabuhan Pontianak menjadi bandar perdagangan yang besar di Kalimantan Barat.

Syarif Abdurrahman Alkadrie adalah orang di balik masa kejayaan perdagangan maritim di Kalimantan Barat. Ia seorang pemimpin pertama Kesultanan Pontianak pada 1771 yang merupakan pelaut dari Bugis keturunan Arab. Berkat kemampuannya yang mumpuni dalam taktik strategi maritim, akhirnya dari sektor perdagangan wilayah ini mampu memperluas wilayah kekuasaan.

Banyak kerajaan-kerajaan di sekitarnya menjadi takluk, seperti Sanggau, Mempawah, Kubu, Landak, dan lain-lain. Dengan penguasaan atas kerajaan-kerajaan itu, maka sumber-sumber ekonomi mengalir banyak ke Kesultanan Pontianak.

Komoditi andalan pribumi di Pontianak

Olahan kayu, salah satu komditi unggulan Pontianak © Pontianakpost
info gambar

Kalimantan Barat mempunyai kekayaan alam yang melimpah-limpah. Dari hutan, daerah ini menghasilkan barang-barang komoditi berupa kayu kemenyan, kapur barus, lilin lebah, dan madu yang sangat laku di pasaran. Sementara dari hasil tambannya, meliputi emas, platinum, intan, dan batu bara, yang juga tak kalah besar di samping juga hasil-hasil dari laut.

Potensi yang dimiliki oleh Kalimantan Barat ini pun memicu para pedagang terutama Cina dan Eropa untuk berkunjung ke daerah tersebut. Sehingga, berbagai cara dan upaya dilakukan para pedagang tersebut untuk memperoleh barang-barang komoditi pribumi di Pontianak.

Selain itu, sikap terbuka para sultan untuk menjalin hubungan yang erat dengan para pedagang juga menjadi pemicu ramainya kapal-kapal menepi di Pelabuhan Pontianak.

Sikap terbuka tersebut dibuktikan pada awal abad ke-17, Kalimantan Barat telah mempunyai hubungan perdagangan erat dengan daerah-daerah, seperti Palembang, Riau, Banten, Mataram, Kalimantan Selatan, Makassar, dan pedagang-pedagang dari Eropa, seperti bangsa Portugis, Spanyol, Belanda, dan lain-lain.

Bahkan, tidak sedikit para pedagang yang kemudian tertarik untuk bermukim di Pontianak. Mereka mendirikan perkampungan setelah mendapat izin dari sultan.

Sehingga pada masa itu, banyak didirikan kampung yang berorientasi pada daerah atau negara dari pedagang tersebut berasal. Di mana terdapat Kampung Bugis, Kampung Jawa, Kampung Bangka-Belitung, Kampung Tambelan, Kampung Banjar, Kampung Kuantang, Kampung Kamboja, Kampung Bansir, Kampung Saigon, dan Kampung Arab.

Kapal-kapal silih berganti mengunjungi pelabuhan Pontianak

Suasan di sekitar jalur Pelabuhan Pontianak © Liputan6
info gambar

Letaknya yang strategis, yakni berada di jalur lalu lintas laut internasional tak khayal membuat Pelabuahan Pontianak ramai dikunjungi oleh kapal-kapal nusantara dan internasional. Adapun barang dagangan yang dibawa oleh kapal-kapal tersebut, antara lain ada guci, sutera, manik-manik, besi, panci-panci tembaga, dan lain-lain.

Namun, semenjak kedatangan kolonial Belanda di Kalimantan Barat, para pedagang yang berkunjung ke pelabuhan mengalami pergerakan yang terbatas. Tepatnya saat Sultan Syarif Abdurrahman pada tanggal 5 Juli 1779 mengadakan perjanjian dengan VOC.

Salah satu tindak lanjut dari perjanjian tersebut menyebutkan, bahwa kapal-kapal asing yang tidak mendapat izin dari VOC seperti, kapal-kapal dari Eropa, Cina dan Johor, tidak diperbolehkan memasuki perairan Kalimantan Barat.

Alhasil, adanya perjanjian tersebut menyebabkan perdagangan bebas menjadi mandek di Kalimantan Barat. Kota Pontianak yang sering disebut sebagai pintu gerbangnya daerah Kalimantan Barat pun, akhirnya lambat laun tertutup kepada kapal kapal besar dari luar kecuali atas perizinan dari kolonial.

Bagi pribumi tempo dulu, tindakan kolonial tersebut menyebabkan penderitaan sebab semua hasil kekayaan alam dari Pontianak, baik dari hasil pertambangan dan perkebunan, seperti intan, lada, dan juga hasil hutan yang berupa lilin lebah, kapur barus, kayu kemenyan, dan madu dimonopoli oleh VOC.

Sebaliknya barang-barang yang dibutuhkan oleh kerajaan, seperti beras dan garam dijual oleh VOC kepada sultan dengan harga yang tinggi.

Baca juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Iip M. Aditiya lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Iip M. Aditiya.

IA
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini