Cerita Berseminya Hutan Cogong Pasca Perambahan Selama Dua Dekade

Cerita Berseminya Hutan Cogong Pasca Perambahan Selama Dua Dekade
info gambar utama

Pulau Sumatra merupakan salah satu hotspot keanekaragaman hayati Paparan Sunda yang memiliki tingkat keanekaragaman endemitas luar biasa. Namun diringi dengan tekanan yang sangat tinggi, berpotensi akan kehilangan keanekaragaman hayati.

Salah satunya terdapat di Sumatra Selatan yaitu kawasan Hutan Lindung Bukit Cogong, terletak di Kecamatan Suku Tengah Lakitan (STL) Ulu Terawas Kabupaten Musi Rawas.

Dahulunya tutupan lahan Bukit Cogong dan sekitarnya pada tahun 1960 masih berupa hutan alami, namun mulai pada tahun 1961 perambahan hutan semakin meluas hingga tahun 1980.

Kemudian pada tahun 1997 hutan lindung ini mengalami kebakaran besar. Berdasarkan survei lapangan terbaru menunjukkan tingkat kerusakan kawasan Hutan Lindung Bukit Cogong cukup besar.

“Karet, kopi dan durian di sini sudah berukuran besar. Usianya sudah 20 tahun lebih, sekitar tahun 1970-an hutan Bukit Cogong mulai dirambah dan dibuka menjadi kebun warga,” tutur Nibuansyah, Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) HKM Wana Manunggal, yang dilansir dari Mongabay Indonesia, awal Maret lalu.

Ia lanjut bercerita tentang sejarah perambahan kawasan hutan Bukit Cogong yang luas 1.222 hektar ini. Jelasnya periode 1970-1990-an kawasan ini habis dirambah.

“Terbukanya kawasan hutan, mengakibatkan hilangnya beragam spesies flora dan fauna, seperti pohon tembesu, meranti, ulin, beragam anggrek, harimau sumatera, merak sumatera, tarsius, rusa, kijang, hingga burung rangkong,” lanjutnya.

Saat anda menjelajahinya, vegetasi tanaman masih didominasi kopi, karet dan durian. Memasuki ketinggian 100 mdpl, jalan terjal serta formasi dinding batu besar mulai dihiasi tumbuhan anggrek, simbar, begonia dan philodendron.

Hutan Cogong sendiri memiliki luas 290 hektar. Sekarang dikelola sebagai hutan kemasyarakatan yang terdiri dari area Hutan Pemanfaatan (205 hektar) dan Hutan Lindung (85 hektar).

Dari luas 205 hektar hutan pemanfaatan, sekitar 100 hektar dijadikan warga sebagai wilayah perkebunan karet, durian dan kopi. Melihat kemamfaatkan yang diberikan Hutan Cogong, membuat masyarakat sadar akan keberlangsungan alamnya.

“Adanya keterlibatan masyarakat dalam menjaga dan melestarikan hutan Bukit Cogong, telah mengurangi kerusakan kawasan hutan Bukit Cogong. Bahkan lambat laun, keanekaragaman satwa dan tumbuhan di hutan Bukit Cogong mulai kembali seperti semula,” sebutnya.

Pelestarian Hutan Cogong

Bermodalkan semangat untuk mengembalikan dan menjaga kelestarian Bukit Cogong, Nibuansyah dan warga lokal mulai melakukan gerakan penghijauan sejak tahun 2004.

Menurut Nibuansyah, awalnya mereka mengalami kesulitan dalam menarik partisipasi warga. Namun lambat laun warga dapat diyakinkan pentingnya mereboisasi kawasan. Pada tahun 2012, warga mengajukan skema perhutanan sosial kepada pemerintah.

Hal ini juga tidak lepas dari banyaknya bencana longsor saat musim penghujan, warga mulai sadar pentingnya kawasan hutan ini untuk dikembalikan ke fungsinya semula.

"Alhamdulillah, sekarang ada 90 kepala keluarga yang berkomitmen menjaga kelestarian kawasan hutan Bukit Cogong, mereka tergabung dalam KTM Hkm Wana Manunggal,” katanya.

Legalitas pengelolaan hutan diperoleh melalui keputusan Bupati Musi Rawas No.389/KPTS/KEHUT/2015 tentang pemberian izin usaha pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan [HKm].

Salah satu orang yang berperan dalam penghijauan kembali Hutan Cogong bahkan mantan perambah. Kasto, mengaku sedang membayar utang kepada Hutan Cogong atas tindakanya selama ini.

"Saya yang dulunya merupakan perambah hutan, akhirnya sadar. Saya bayar utang. Saya menjadi ketua tim kelompok penghijauan Bukit Cogong dengan nama Wana Bhakti yang artinya hutan bakti. Sekitar 50 ribu pohon dengan jenis meranti, tembesu, dan jati kami tanam,” kata Kasto, warga Desa Sukakarya, yang kini menjadi anggota Hutan Kemasyarakatan (HKm) Bukit Cogong.

“Sekitar 50 persen dari pohon yang ditanam tumbuh dan membesar hingga saat ini,” kata bapak tiga anak ini.

Menurut catatan Mongabay Indonesia selama mendaki dan menelusuri kawasan hutan Bukit Cogong hingga ketinggian 600 mdpl, mendapati tutupan hutan yang cukup lebat. Berbagai pohon yang sempat menghilang semasa era perambahan, seperti meranti, tembesu, merbau, dan berbagai jenis anggrek, serta tumbuhan dari keluarga begonia dan philodendron muncul kembali.

Namun satwa seperti rangkong, harimau dan tarsius belum terlihat dalam beberapa tahun terakhir. Kabar baiknya, beberapa jenis satwa telah mulai mendiami tempat ini. Mereka mendapati jejak goresan tanduk kijang di sejumlah pohon.

“Kembalinya sejumlah spesies flora maupun fauna, dapat memicu kembalinya rantai ekosistem hutan Bukit Cogong seperti semula,” lanjut Nibuansyah.

Kembalinya habitat Hutan Cogong

Bedasarkan penelitian Destien Atmi Arisandy dan Merti Triyanti dari STKIP Lubuklinggau dengan judul “Keanekaragaman Jenis Vegetasi di Bukit Cogong Kabupaten Musi Rawas” pada 2020 di dalam Jurnal Pendidikan Biologi dan Sains menyebut, vegetasi tingkat pohon di kawasan hutan Bukit Cogong, ada 30 spesies, seperti pulai, medang, rasamala, merbau, meranti dan balam.

Sedangkan untuk vegetasi semak ditemukan 16 spesies, seperti seduduk lanang, bambu, sirih hutan, nasi-nasi, dan daun dewa. Sementara untuk vegetasi herba ditemukan 17 spesies, seperti tepusan, keladi merah, nanfu hijau dan bemban.

Besarnya potensi ini membuat pemerintah Kabupaten Musi Rawas pada 25 Desember 2009, membuka Hutan Wisata Bukit Cogong. Tepatnya di perkebunan karet yang ditanam masyarakat.

Hutan wisata ini tujuannya agar masyarakat mendapatkan pemasukan, termasuk pula pemerintah desa, sehingga mereka berhenti merambah Hutan Lindung Bukit Cogong.

Selain dihadirkan sejumlah permainan alam, juga dibangun sejumlah fasilitas pengunjung untuk beristirahat.

“Selama empat tahun, dari tahun 2009 hingga 2013, pengunjung ke Hutan Wisata Bukit Cogong cukup ramai. Sekitar 2.500 pengunjung per bulan,” kata Nibuansyah.

Daya tarik Hkm Bukit Cogong tersebut memang tidak main-main, selain keberagaman tanaman hutan yang mulai langka di Musi Rawas seperti pohon meranti, merawan bungo, bayur, bambu, durian, dan tanaman hutan lainnya, juga masih terdapat beragam jenis burung seperti perling, merbah hijau, elang, punai, dan rangkong.

“Saya senang sekali adanya Hkm Bukit Cogong ini. Pengunjung akan mendapatkan pengalaman dan pengetahuan mengenai hutan khas di wilayah ini. Saya jelas dengan senang hati mendampingi masyarakat,” kata Budima, anggota Hkm Bukit Cogong, yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani, karena tidak memiliki lahan.

Selain dampak ekonomi, membaiknya kualitas hutan Bukit Cogong, membuat 2.783 jiwa warga Desa Sukakarya, terhindar dari bencana erosi dan longsor selama musim penghujan. Hal ini berbeda dengan periode tahun 1990-an, pada tiap musim penghujan ada saja tanah longsor di wilayah ini.

Kawasan Bukit Cogong sendiri menjadi sumber mata air Sungai Cogong, yang mengalir ke Sungai Malus menuju Sungai Lakitan hingga ke Sungai Musi. Air inilah yang menjadi sumber aliran ribuan hektar sawah milik warga Sukakarya.

“Dampak positif dari terjaganya kawasan hutan Bukit Cogong, secara tidak langsung ikut menyadarkan masyarakat sekitar akan pentingnya sebuah kawasan hutan. Selain memperoleh hasil ekonomi dari berkebun karet, kopi atau durian, warga juga bisa mendapatkan dampak penting seperti terhindar dari bencana dan terjaganya sumber air,” lanjut Nibuansyah.

Baca juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini