Hardiknas dan Cara Ki Hadjar Dewantara Melawan Pendidikan Kolonial Belanda

Hardiknas dan Cara Ki Hadjar Dewantara Melawan Pendidikan Kolonial Belanda
info gambar utama

Setiap tanggal 2 Mei, selalu identik dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardinas). Peringatan ini merujuk kepada kelahiran tokoh Nasional, Ki Hadjar Dewantara. Tokoh pergerakan Nasional ini berkontribusi besar dalam pondasi pendidikan Nasional. Melihat pemikirannya dan sumbangsihnya kepada rakyat.

Karena itu, membicarakan pahlawan nasional ini tidak lengkap jika tidak menyebut Taman Siswa. Perguruan ini mengusung konsep pendidikan dengan rasa nasionalisme untuk seluruh anak bangsa Indonesia.

Ki Hadjar Dewantara sendiri memiliki nama asli Raden Mas Soewardi Soeryaningrat lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889 dari keluarga bangsawan Jawa. Ia adalah anak kelima dari pasangan Pangeran Soeryaningrat dan Raden Ayu Sandiah.

Sementara sang kakek adalah Sri Pakualam III, penguasa di wilayah Kadipaten Pakualaman. Sebagai anak dari keluarga ningrat, Soewardi kecil memulai pendidikan dasarnya di ELS (Europese Lagere School).

Setelah tamat pada tahun 1904, kemudian ia memasuki sekolah guru Kweekschool tapi hanya bertahan satu tahun kemudian pindah ke STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandse Artsen) atau Sekolah Dokter Bumiputra di Jakarta. Namun, karena sakit dia tidak sempat menyelesaikan pendidikan di STOVIA, kemudian dia mulai bekerja, menulis dan berorganisasi.

Selama menjadi jurnalis, salah satu hal yang membuat namanya begitu harum adalah kritiknya atas perayaan 100 tahun Belanda bebas dari penjajahan Perancis pada 1913. Soewardi menulis artikel yang berjudul “Als Ik Eens Nederlander Was” (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” (Satu untuk semua dan semua untuk satu juga).

Pasca tulisan itu, berdasarkan Keputusan Pemerintah Hindia Belanda, pada 18 Agustus 1913 Soewardi dibuang ke Bangka, sementara sejawatnya Cipto Mangunkusumo ke Banda Neira, dan Douwes Dekker ke Kupang, Timor. Namun, mereka bertiga meminta supaya dibuang ke Belanda, dan permintaan itu dikabulkan Pemerintah Hindia Belanda.

Oleh-oleh pemikiran dari Belanda

Dalam pengasingan di Belanda, Suwardi aktif dalam kegiatan organisasi pelajar dan mahasiswa Indonesia, Indische Vereeniging. Ia sempat menjadi redaktur majalah organisasi tersebut, Hindia Putera.

Untuk menopang hidup, Suwardi juga menulis untuk sejumlah majalah dan koran di Belanda. Pun mengirim karangan untuk Utusan Hindia yang pernah dipimpin Tjipto Mangunkusumo. Para mahasiswa Hindia Belanda banyak membantu pula dengan aneka cara.

Sebagai upaya untuk memajukan pendidikan Indonesia, ia pun belajar ilmu pendidikan. Ijazah pendidikan, Europeesche Akte, akhirnya diraih.

Soewardi banyak menyerap ide-ide dari sejumlah tokoh pendidikan barat dan timur seperti Maria Montessori, Froebel, John Dewey, serta Rabindranath Tagore. Berbagai aliran pendidikan tersebut diolah dan dijadikan sebagai dasar dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.

Ia sangat terinspirasi kepada tokoh-tokoh ini yang memberikan kemerdekaan pada anak saat belajar. Pemikiran tokoh ini menjadi dasar pengembangan Perguruan Taman Siswa yang didirikannya tiga tahun berikutnya setelah pulang dari Negeri Belanda.

Setelah kembali dari pengasingannya di negeri Belanda, Soewardi mengajar di sekolah Adhidharma milik kakak sulungnya, Suryopranoto. Setelah tiga tahun mengajar di sekolah milik kakaknya itu, Soewardi Soeryaningrat kemudian mendirikan perguruan Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922.

Soewardi mengganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara untuk menanggalkan gelar kebangsawanan 'Raden Mas' yang tersemat di namanya. Sehingga, ia lebih dekat dengan masyarakat.

Taman Siswa memberikan dampak besar pada pendidikan masyarakat, khususnya pribumi. Saat itu, para pribumi non-bangsawan begitu sulit mendapatkan pendidikan dengan sistem yang baik.

Taman Siswa dan filosofi pendidikan Indonesia

Pendirian Taman Siswa merupakan bentuk perlawanan Ki Hadjar Dewantara terhadap deskriminasi pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Saat itu, Belanda menerapkan sistem pendidikan bertingkat sesuai dengan status sosial masyarakat Indonesia.

Rakyat jelata hanya diberikan pendidikan setingkat Sekolah Dasar (SD), sedangkan kaum priyayi dan bangsawan Eropa diperbolehkan untuk menempuh pendidikan tinggi. Beberapa bangsawan ini bahkan memiliki akses untuk melanjutkan pendidikan ke Eropa.

Organisasi Taman Siswa mengajarkan tentang dasar-dasar kemerdekaan bagi masyarakat pribumi Indonesia. Kehadiran Perguruan Taman Siswa membuka kesempatan bagi semua orang untuk bisa bersekolah secara mudah dan murah.

Mudah karena tidak ada persyaratan-persyaratan khusus, sedangkan murah dalam artian biayanya terjangkau oleh semua golongan. Tidak mengherankan bila dalam kurun waktu delapan tahun (1922-1930) jumlah Perguruan Taman Siswa telah mencapai 100 cabang dengan jumlah puluhan ribu murid.

Taman Siswa menanamkan prinsip kemerdekaan yang berasal dari diri sendiri. Pendidikannya selalu menekankan untuk tidak bergantung kepada orang lain dan tetap berpegang teguh pada prinsip berdikari (berdiri di kaki sendiri).

Dari Taman Siswa inilah semboyan-semboyan dari Ki Hadjar Dewantara diperkenalkan. Semboyan itu adalah “ing ngarsa sung tulada” yang artinya di depan memberi teladan, “ing madya mangun karsa” yang artinya di tengah membangun prakarsa atau menjadi penyemangat, dan “tut wuri handayani” yang artinya dari belakang mendukung atau memberi dukungan.

Selain itu, ada juga konsep belajar tiga dinding. Konsep ini mengacu pada bentuk ruang sekolah yang rata-memiliki empat dinding. Ki Hajar menyarankan, ruang kelas hanya dibangun dengan tiga sisi dinding; sedangkan satu sisi lainnya terbuka.

Filosofi ini mencerminkan, seharusnya tidak ada batas atau jarak antara dunia pendidikan di dalam kelas dengan realitas di luarnya.

Dengan kata lain, sekolah sebaiknya tidak hanya mengajarkan teori, tetapi juga kemampuan lainnya. Sehingga, anak tidak hanya pandai secara akademik, tetapi juga mampu menerapkan ilmunya tersebut.

Bentuk konsep tiga dinding ini bisa diterjemahkan dengan berbagai kegiatan tambahan di luar sekolah seperti outbond dan karya wisata ke berbagai tempat. Tentu saja, kegiatan-kegiatan tambahan itu dikemas dengan nilai-nilai edukatif.

Setelah Indonesia merdeka, Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Pengajaran Indonesia. Untuk menghormati dan mengingat jasa Ki Hadjar Dewantara ini, tanggal kelahirannya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Baca juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini