Tampah dari Indonesia, Jadi Karya Seni yang Dijual Seharga Jutaan di AS

Tampah dari Indonesia, Jadi Karya Seni yang Dijual Seharga Jutaan di AS
info gambar utama

Jagat media sosial tanah air belum lama ini kembali disita perhatiannya karena salah satu alat tradisional yang dikenal dengan nama Tampah. Bukan tanpa alasan, salah satu peralatan dapur yang masih banyak digunakan di hampir setiap kebutuhan rumah tangga ini ternyata dijual sebagai karya seni di Negeri Paman Sam dengan harga fantastis dibanding yang dijual di Indonesia.

Pottery Barn, perusahaan furniture yang berbasis di San Francisco, Amerika Serikat menamai Tampah dengan sebutan ‘Bamboo Wall Art’, berdasarkan detail yang tercantum di situs marketplace online mereka yaitu Potterybarn.com, Tampah dengan diameter 42 cm tersebut diperuntukkan sebagai dekorasi atau hiasan dinding dan dideskripsikan sebagai seni anyaman yang mengesankan.

Hal penting yang berhasil mencuri perhatian tak lain dari segi harga, apabila Tampah selama ini bisa didapatkan dengan mudah di pasar tradisional dengan harga tidak sampai Rp20 ribu, lain halnya dengan perusahaan furniture asal Amerika Serikat tersebut yang menjual Tampah dengan harga 299 dolar AS atau setara Rp4,2 juta, harga yang cukup fantastis jika dibandingkan dengan keberadaannya yang bisa didapat dengan harga terjangkau di tanah air.

Tampah yang dijadikan dekorasi untuk menghias dinding oleh perusahaan furniture asal Amerika Serikat,
info gambar

Nyiru dalam budaya Sunda

Seperti kelihatannya, Tampah memiliki bentuk berupa penampang bulat lebar serta pipih di bagian sisinya dan terbuat dari belahan batang pohon bambu yang dianyam dengan ukuran bervariasi, walau umumnya memiliki ukuran dengan diameter 65-80 cm, tapi tidak jarang pula ditemui Tampah dengan diameter ukuran lebih kecil yang digunakan untuk berbagai kebutuhan tertentu.

Dalam istilah Sunda, Tampah lebih dikenal dengan sebutan Nyiru, walau begitu tampilannya tidak jauh berbeda, sama seperti kegunaan Tampah di tengah masyarakat Jawa, umumnya Nyiru digunakan untuk menampi beras atau membersihkan kotoran berupa kerikil atau gabah yang ada pada beras sebelum dimasak.

Saat ini, bila berkunjung ke daerah-daerah yang masih kental akan budaya tradisional, akan mudah dijumpai para petani yang menggunakan Nyiru atau Tampah untuk memisahkan gabah dari beras, bahkan ada juga ibu rumah tangga di masing-masing rumah yang menampi ulang beras sebelum dimasak.

Cara yang umum digunakan untuk menampi beras yaitu beras yang ingin dibersihkan ditempatkan secara melebar pada Tampah atau Nyiru, kemudian Nyiru diputar-putar dengan kedua tangan untuk memisahkan kotoran atau kerikil sehingga lebih mudah untuk diambil, cara tersebut dilakukan berulang kali hingga beras benar-benar bersih dan tidak ditemukan lagi adanya kotoran.

Adapun cara lain yang bisa dilakukan untuk memisahkan gabah dari beras ialah dengan menggerakkan Nyiru ke atas dan ke bawah di bagian sisi depannya secara berulang, dengan cara ini kulit gabah akan terbuang sementara beras yang sudah bersih akan tetap jatuh ke permukaan Nyiru.

Baca juga Saung Angklung Udjo dan Visinya dalam Melestarikan Budaya serta Seni Khas Sunda

Dalam versi modern masa kini, Tampah atau Nyiru bukan lagi sekedar alat untuk membersihkan dan menampi beras, tapi sudah menjadi komponen pelengkap dalam hidangan tradisional yang dikemas dengan tampilan yang lebih modern, di antaranya sebagai media saji untuk nasi tumpeng di berbagai perayaan, bahkan saat ini banyak dikenal juga aneka ragam kue basah tradisional yang disajikan di atas Tampah sehingga dijuluki Kue Tampah.

Tampah dalam budaya dan filosofi Jawa

Tampah nyatanya sudah ada sejak cukup lama dan digunakan secara turun-temurun dalam adat Jawa, mengutip Budaya Indonesia, istilah Tampah sudah digunakan dalam kamus Jawa bernama “Baoesastra Djawa” karangan WJS Poerwadarminta yang terbit di tahun 1939, sehingga Tampah diyakini sudah digunakan sebelum tahun rilis buku tersebut.

Dalam pembuatannya, Tampah ternyata bisa menggunakan dua bagian dari pohon bambu yang masing-masing memiliki tingkat daya tahan berbeda, pertama adalah berbahan kulit bambu yang memiliki daya tahan lebih awet, kemudian yang kedua bisa juga dibuat menggunakan daging bambu yang sayangnya kurang awet karena lebih mudah rusak.

Untuk pohon bambunya sendiri, ternyata ada salah satu jenis bambu yang umum digunakan untuk membuat Tampah, yaitu bambu apus yang dikenal lentur dan mudah dibelah, terutama saat dianyam untuk membentuk Tampah.

Bukan sebatas alat dapur tradisional, Tampah nyatanya memiliki makna dan filosofi tersendiri dalam budaya Jawa, diyakini berasal dari kata ‘Tampa’ yang artinya ‘menerima’, sehingga dimaknai sebagai menerima pemberian yang didapat dalam hidup.

Baca juga Kaya Makna, Filosofi Makanan Tradisional Jawa Ini Bisa Menjadi Pelajaran Hidup

Adapun kaitannya dengan kegiatan menampi beras yang bertujuan memisahkan kotoran dan beras dengan menggunakan Tampah sebagai penyaring, maka dapat dikatakan bahwa manusia diharapkan bisa bersikap layaknya Tampah yang dapat menyaring segara hal yang diterima dalam kehidupan, dengan cara menyaring hal yang buruk dan menerima hal yang baik.

Mengutip Republika, filosofi ini bahkan sempat dibuat dalam bentuk pertunjukan lakon berjudul ‘Petuah Tampah’ oleh Teater Djarum, yang menekankan Tampah sebagai filter atau pembatas dalam sebuah kehidupan supaya masyarakat memahami aturan dan batasan norma sebagai manusia yang bermartabat dan bersih, layaknya beras yang dipisahkan dari kerikil dan gabah lewat proses menampi.

Jeu’e dalam budaya Aceh

Beda istilah dalam budaya Aceh, Tampah lebih dikenal dengan nama Jeu’e dengan bentuk dan kegunaan utama yang sama yaitu sebagai alat untuk menampi beras. Menariknya, di Aceh ada suatu wilayah yang dikenal sebagai ikon tempat pembuat anyaman Tampah, yaitu Gampong Barieh Meunasah Lingkok, Kemukiman Ujong Rimba, Kecamatan Mutiara Timur, Pidie, di mana hampir setiap rumah di daerah tersebut dihuni oleh para pengrajin Tampah.

Baca juga Uniknya Deretan Perhiasan Tradisional Khas Aceh

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Siti Nur Arifa lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Siti Nur Arifa.

SA
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini