Melihat Perjuangan dan Gerakan Perempuan dalam Reformasi 1998

Melihat Perjuangan dan Gerakan Perempuan dalam Reformasi 1998
info gambar utama

Penulis: Habibah Auni

Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) tentu saja sudah tidak asing lagi di telinga kita. Terutama untuk kaum aktivis mahasiswa sekarang dan aktor-aktor pergerakan pada 1998 silam. Tiap 20 Mei, dijadikan momen untuk memeringati kisah bersejarah di Indonesia, di mana negeri ini pada akhirnya bisa keluar dari jeratan era otoriter.

Akan tetapi, tidak sedikit yang menyadari bahwasanya kaum perempuan memiliki andil besar dalam memperjuangkan reformasi 1998. Narasi besar mereka terhadap kebangkitan perempuan dilupakan begitu saja, seolah tenggelam ditelan zaman. Padahal, berkat mereka perempuan Indonesia bisa masuk ke dalam ruang-ruang publik.

Adapun empat penanda gerakan perempuan dalam reformasi 1998. Dilansir dari Magdalene, Ruth Indiah Rahayu, peneliti dari Institut dan Kajian Strategi Pembangunan Alternatif menyebutkan bahwa terdapat empat penanda yang melandasi pergerakan perempuan sebelum reformasi 1998.

Baca juga Museum Kebangkitan Nasional Membangkitkan Memori

Penanda pertama: penggerebekan majalah Tempo

Penanda pertama ialah saat majalah Tempo diberedel pada 21 Juni 1994, lantaran kritik-kritik keras yang dilontarkan mereka dianggap mengancam posisi aman pemerintah. Kelompok perempuan yang mendengar kabar dahsyat ini pun tersulut dan ingin bersuara menuntut demokrasi.

Penanda kedua: Suara Ibu Peduli

Demonstrasi Suara Ibu Peduli di Monas, (11/5/1998) | Foto: Tribun Medan
info gambar

Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 23 Februari 1998, terjadilah penanda kedua, yakni munculnya gerakan bernama Suara Ibu Peduli. Setali tiga uang dengan Komisioner Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah, diwartakan oleh Kompas bahwa kaum ibu-ibu pada masa itu memiliki keresahan atas krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada 1997.

Krisis ekonomi itu membuat kaum ibu-ibu tidak mampu membelikan anaknya susu. Tambah lagi, jumlah susu bayi pada masa itu jadi semakin langka. Padahal, gizi dan nutrisi adalah senjata utama bagi tumbuh kembang anak.

Baca juga Kisah Perempuan Indonesia yang Sukses Mengabadikan Hidupnya untuk Langit dan Bumi

Maka, Suara Ibu Peduli memulai gerakannya di Bundaran Hotel Indonesia dan di sini dilangsungkan aksi demonstrasi terhadap pemerintah. Gerakan ini menggunakan istilah “ibu-ibu” untuk mengangitisipasi tindakan mata-mata yang dilancarkan oleh pemerintah saat mereka sedang melakukan demonstrasi.

Selain itu, gerakan ini memiliki pendekatan politik empati. Kaum ibu-ibu tidak hanya membicarakan perkara kelangkaan susu, tetapi masalah keberlangsungan hidup perempuan, kesehatan ibu, dan kesehatan anak pun turut disuarakan. Ini berangkat dari tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan dan angka kematian anak (AKABA) pada masa itu.

Penanda ketiga: kelahiran crisis center

Keluarga dari salah satu mahasiswa yang gugur di aksi 1998 | Foto: Tribun Medan
info gambar

Penanda ketiga ialah saat lahirnya crisis center yang dipelopori oleh gerakan perempuan pada 12 Mei 1998. Pendirian crisis center ditujukan untuk melakukan pemulihan terhadap korban kekerasan seksual dalam kerusuhan 13-14 Mei 1998, dan pemulihan keluarga yang mengalami trauma dan kesedihan mendalam atas kepergian anggota keluarga mereka.

Penanda terakhir: gerakan perempuan yang abadi

Ilustrasi Menjelang Reformasi 1998 | Foto: Okezone
info gambar

Penanda terakhir adalah kegencaran gerakan perempuan dalam menuntut dan melawan pengingkaran militer terhadap kekerasan seksual yang terjadi pada kerusuhan Mei 1998. Misiyah dalam artikelnya Perempuan dalam 20 Tahun Reformasi Indonesia (2018) menyebutkan bahwa banyak sekali kasus pemerkosaan dan penganiayaan terhadap kaum perempuan pada 13--15 Mei 1998.

Menurut temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa (TGPF) 13--15 Mei 1998, yang dirilis Oktober 1998, "Tidak mudah memperoleh data yang akurat untuk menghitung jumlah korban kekerasan seksual, termasuk perkosaan."

TGPF menemukan adanya tindak kekerasan seksual di Jakarta dan sekitarnya, Medan, dan Surabaya. Jumlah korban yang diverifikasi tim ada 52 orang korban perkosaan, 14 orang korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 orang korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual.

Atas dasar alasan itulah gerakan perempuan menuntut permintaan maaf dan tindak lanjut negara. Salah satu anggota dari gerakan itu, yakni Saprinah Sadli, menyatakan aspirasinya langsung kepada Presiden Habibie. Dari situ, lahir Komnas Perempuan yang menjadi salah satu lembaga advokasi kekerasan terhadap perempuan.

Melalui Komnas Perempuan dan gerakan perempuan lainnya, hak-hak perempuan pun terus disuarakan, sebagai bentuk menunjukkan rasa peduli terhadap isu kekerasan pada perempuan. Setidaknya, gerakan ini sukses membuahkan beberapa produk, di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 (UU 23/2004) tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (UU 2/2008) tentang Partai Politik.

Baca juga Mengenal 4 Perempuan Hebat Pengatur Keuangan Negara G20

Selain itu, gerakan-gerakan perempuan berhasil membuka kesempatan pada para perempuan untuk mengisi kuota 30 persen di parlemen. Tambah lagi, membuat perempuan dan organisasi perempuan bisa berpartisipasi aktif di ruang-ruang advokasi isu-isu perempuan.

Angka kekerasan seksual terhadap perempuan masih melambung tinggi hingga sekarang. Ini menunjukkan bahwa gerakan perempuan tidak boleh dibiarkan padam, meskipun sudah mencapai puncak perjuangan pada reformasi 1998. Seyogyanya, reformasi 1998 menjadi lentera semangat para perempuan untuk terus memperjuangkan hak-haknya. Selamat Hari Kebangkitan Nasional, Kawan!

Referensi:dw | Institut KAPAL Perempuan | Jurnal Perempuan | Kompas.com | Magdalene

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Kawan GNFI Official lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Kawan GNFI Official.

KO
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini