Belajar dari Diplomasi Lunak Korea Selatan

Belajar dari Diplomasi Lunak Korea Selatan
info gambar utama

Negara Korea yang saya maksud dalam judul tulisan ini tentu Korea Selatan bukan Korea Utara. Negara ini adalah salah satu negara maju di dunia, di mana berbagai produk yang dihasilkan negara ini sudah diekspor menyebar ke penjuru dunia termasuk Indonesia terutama produk-produk elektronik dan otomotif.

Hal ini menyebabkan perekonomian dan kemakmuran negaranya meningkat cepat, Dan semua orang tahu tentang hal ini.

Namun tidak semua mengetahui bahwa negeri ginseng ini perekonomiannya yang maju itu juga ditopang oleh ekspor “cultural economy” nya atau perekonomian budayanya, yaitu eksport budaya pop, hiburan/entertainment, musik, drama TV, online game, dan film.

Gelombang export budaya yang menjadikan budaya Korea terkenal di planet ini dikenal dengan istilah “ “Hallyu” istilah dari bahasa Cina yang berarti “Gelombang Korea”. Perekonomian Budaya ini telah menjadi salah satu prioritas utama kebijakan ekonomi pemerintah Korea Selatan.

Memang sepertinya negeri ini menjadi satu-satunya di dunia yang mencanangkan tujuan pembangunannya menjadi sebuah negara utama yang mengekspor budaya populernya. Ini merupakan ikhtiar negeri ini untuk mengembangkan “Kekuatan Lunak” atau Soft Power, sebuah istilah yang dikembangkan ilmuwan politik dari Harvard University Joseph Nye tahun 1990 sebagai istilah yang merujuk pada “intangible power” yang dikuasai sebuah negara dengan cara mengekspos citra, reputasi negara.

Ini tentu berbeda dengan negara yang mengedepankan Hard Power, yaitu kebijakan yang mengedepankan kekuatan militer dan ekonomi.

Contoh lainnya adalah Amerika Serikat (AS) yang sudah lama melaksanakan kebijakan Soft Power ini dengan mempopulerkan produk-produknya keseluruh dunia, seperti celana jeans, minuman ringan Coca Cola, rokok Mallboro, dan industri film Hollywood.

Gelombang Korea ini pada awalnya menyebar di Jepang dan Cina kemudian di Asia Tenggara dan di banyak negara didunia. Pihak pemerintahnya secara intensif mengirim delegasinya ke berbagai negara untuk memperkenalkan program TV-TV nya yang berisi program-program budaya.

Gelombang Korea atau Hallyu ini memiliki “Multiplier Effects” terhadap perkembangan bisnis, dan tentu citra negaranya. Dampak ganda dari Ekonomi Budaya ini adalah sumbangannya terhadap GDP Korea tahun 2004 sebesar 0,2% atau sekitar 1,87 milyar US dolar, dan melejit menjadi 12,3 milyar US dolar pada tahun 2019.

Upaya yang agresif pembangunan ekonominya termasuk ekonomi budaya ini menyebabkan Korea Selatan menjadi negara kaya dan makmur. Sebelumnya pada tahun 1956 GDP perkapita negara ini dibawah negara Ghana di Afrika. Dan sekarang Korea Selatan menjadi salah satu negara terbesar ekonominya di dunia, sejajar dengan Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Perancis, Inggris dsb.

Disebutkan bahwa salah satu penyebab keberhasilan Gelombang Korea ini adalah kebijakan pemerintah Korea Selatan yang memberika kemudahan bagi warga negaranya untuk berbisnis dan sekolah diluar negeri terutama Eropa dan Amerika Serikat tahun 1990 an.

Sekembalinya dari negara-negara maju itu, para alumni jebolan perguruan tinggi di Eropa dan AS ini dan para pengusahanya (termasuk para Chaebol atau pemilik perusahaan–perusahaan besar) menularkan pengalaman barunya bagaimana berbisnis dan perspektif baru tentang seni dan budaya, melakukan berbagai inovasi untuk mengexpresikan citra negaranya keseluruh dunia (hal ini dilakukan lewat R&D mereka).

Dampaknya adalah berbagai brand atau merek produk-produk negeri ini melesat kepermukaan dan merasuki mindset konsumen dunia, seperti Hyundai, LG, Samsung, Daewoo, Lotte dsb. Produk-produk budaya juga merambah mindset pemirsa TV dan bioskop ketika melihat Drama Korea, Film dan grup-grup band anak-anak muda K-Pop (antara lain Big Bang, Super Junior, PSY, dsb).

Data yang dihimpun oleh The Korean Foundation menyebutkan bahwa pada tahun 2019 saja ada 89 juta fans atau pengagum Hallyu (gelombang budaya Korea) ini di 113 negara; sekitar lebih 70 jutanya tinggal di Asia dan Oceania; 11,8 juta berada di negara-negara Amerika dan 6,6 jutanya di Eropa.

Ada lagi data yang mencengangkan yaitu pada tahun 2016 ada sekitar 1,1 milyar pemirsa drama TV Korea “Descendants of the Sun” di berbagai negara Asia selama 2 bulan tayang.

Pencapaian yang mengagumkan itu juga disebabkan oleh dukungan pihak pemerintah secara berkelanjutan terutama Kementrian Budaya, Olahraga dan Turisme yang memiliki berbagai divisi salah satunya fokus pada K-Pop, Fashion, buku-buku komik, produk-produk film kartun dsb.

Disebutkan juga bahwa pihak pemerintah Korea Selatan juga melakukan monitoring yang seksama diberbagai negara di dunia tentang produk-produk Korea apa saja yang berhasil di pasar negara-negara bersangkutan, menciptakan lingkungan yang kondusif untuk industri kreatif dibidang musik dan perfilman. Selain itu Presiden Korea Selatan meluncurkan Kebijakan Ekonomi Kreatif.

Semua kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Korea Selatan itu berdampak secara strategis dibidang perdagangan, industri wisata yang berkaitan dengan Hallyu menyumbang 55,3% dari total industri turisme. Dan menurut data, para turis penggemar Halliyu itu membelanjakan 1,1 milar dolar AS di Korea Selatan pada tahun 2019. Di samping itu kebijakan itu memunculkan para superstar baru di industri perfilman.

Sekarang kita menengok negara kita, diri kita. Indonesia memiliki banyak potensi dibidang budaya yang tersebar di nusantara ini, ada budaya kuliner, fashion, adat-istiadat dsb. Dibidang musik misalnya, jutaan penonton video youtube didunia sekarang mengagumi Nisya Sabyan, mas Alip Ba Ta sopir forklift pabrik yang disebut sebagai The Master dalam memainkan gitar.

Para pemusik mancanegara terheran-heran dengan kemampuan dia yang memainkan satu gitar tapi suaranya seperti satu grup band, ada lagi mantan pengamen di Yogyarta mas Felix Irwan yang suara beratnya membuat para pendengarnya di luar negeri meriding dan teharu, ada salah satu finalis Indonesian Idol dari Kalimantan Agsesia–di mana suara seraknya yang pada awalnya soft, pelan kemudian melengking-membuat orang–orang asing itu melongo kagum.

Ada lagi pemuda kelahiran Jakarta yang bermukim di Milan Italia, mantan pengamen dijalan-jalan di Italia namanya Eki Tjahyadi menang di ajang pencari bakat “All Together Now” pada bulan Desember tahun 2020.

Seluruh hadirin berdiri bertepuk tangan meriah ketika bang Eki ini berhasil memukau menyanyikan lagu Italia “Tappeto Di Fragole”; Sampai ada penggemarnya mas Alip Ba Ta, Mas Felix Irwan, dek Agesia diluar negeri yang berteriak “INDONESIA YOU MUST BE PROUD OF YOUR SINGERS !!!”.

Dan tentunya masih banyak lagi para talenta di negeri yang kaya ini yang pandai dibidangnya masing-masing.

Tapi mereka berjuang sendiri, mereka terkenal karena ikhtiarnya sendiri, mereka pahlawan yang tidak dikenal luas di dalam negeri. Alangkah hebatnya kalau para talenta Indonesia ini mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah seperti yang dilakukan pemerintah Korea Selatan dengan kebijakan Hallyu nya atau Gelombang Korea.

Bukankah kita memiliki Kementerian yang membidangi Industri Kreatif, Kementerian Perdagangan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pariwisata, Kementerian Pendidikan, dsb, yang bisa membuat kebijakan seperti Hallyu itu.

Jangan sampai kalau ada pertanyaan “Kapan Kita Memiliki Gelombang Indonesia (Indonesian Wave)”, jawabannya: “Tanyakan Pada Rumput yang Bergoyang”.

Wallahu Alam.

Oleh: Ahmad Cholis Hamzah

Penulis aktif menulis di Koran Jawa Pos, Surya, dan rutin menulis di GNFI. Beberapa tulisannya acapkali dimuat/dikutip Koran Malaysia dan Thailand. Penulis juga tersohor sebagai akademisi sekaligus professional di kota kelahirannya, Surabaya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

AH
AH
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini