Kebiasaan Buruk WFH yang Harus Dihindari

Kebiasaan Buruk WFH yang Harus Dihindari
info gambar utama

Pandemi COVID-19 telah mengubah kehidupan kita, termasuk di dunia kerja. Salah satu dampak pandemi ke lingkungan kerja adalah tuntutan bekerja dari rumah (work from home) atau kerja jarak jauh (remote working). Seiring waktu, tuntutan ini diterima sebagai realitas baru dan melahirkan budaya dan cara kerja baru.

Saya belum menemukan riset mengenai produktivitas pekerja di masa pandemi di Indonesia. Di Amerika Serikat, lembaga Great Place to Work mengadakan survei terhadap 800.000 pekerja dari perusahaan yang masuk dalam daftar Fortune 500 Companies sepanjang tahun 2020. Hasilnya, para responden merasakan produktivitas yang tetap bahkan bertambah setelah melakukan WFH.

Satu hal yang juga dicatat dalam survei terhadap pegawai dari 715 perusahaan ini adalah adaptasi yang cepat ke dalam realitas bekerja baru. Pada Juli 2020, produktivitas pekerja telah Kembali ke tingkat sebelum pandemi terjadi. Terutama, karena berkurangnya commuting (perjalanan berangkat dan pulang dari kerja) serta rapat-rapat bekepanjangan yang harus dihadiri.

Namun, kondisi ini bukan tanpa perjuangan. Ada yang harus menata ulang meja makan atau kamar tidur. Sesekali terjadi perdebatan antar anggota keluarga mengenai pemanfaatan ruangan atau akses internet. Dan masih banyak drama yang terjadi.

Karena itu, sejumlah kebiasaan buruk mulai muncul di tengah situasi WFH yang bisa merugikan produktivitas kita. Apa saja?

Bersembunyi di balik video

Pertemuan virtual kini sudah menjadi bagian dari bekerja jarak jauh. Tak jarang kita menerima undangan untuk mengikuti pertemuan dalam waktu yang bersamaan. Biasanya orang Indonesia merasa “nggak enak” untuk menolak suatu undangan dan akhirnya kita pun bermanuver mengikuti beberapa pertemuan virtual pada waktu yang bersamaan.

Trik yang paling umum biasanya kita tidak menyalakan audio dan video. Kita sekadar memberi tanda kita hadir lewat layer video yang tertutup.

Jadwal yang berbenturan adalah hal yang lumrah dalam lingkungan kerja. Namun, kita juga tahu bahwa mengejar dua kelinci pada saat yang bersamaan tidak akan membuahkan hasil optimal.

Cara yang terbaik memang jujur mengatakan ketersediaan waktu kita. Bagi para pemimpin organisasi, perlu untuk sesekali mengecek kehadiran “nyata” para peserta rapat dengan meminta mereka membuka layar video dan mengajak bicara.

Hilang fokus

Kondisi rumah yang sempit, berakrobat di meja makan atau kamar tidur, dan situasi yang ramai bisa menjadi mimpi buruk para pekerja WFH. Tidak setiap saat juga kita bisa nongkrong di kafe untuk bekerja karena berbagai alasan, termasuk soal biaya. Karenanya, pekerja sangat mudah kelhilangan fokus dan terdistraksi, bahkan mengalami stress.

Di sini peran pemimpin sangat dibutuhkan untuk membuka komunikasi yang nyaman dengan setiap anggotanya, mengenai bagaimana situasi yang dihadapi di masa WFH dan tantangan yang dihadapi dalam menyelesaikan target-targetnya.

Kehilangan fokus ini yang sering memicu burnout karena pekerjaan tak kunjung terselesaikan setelah memakan waktu yang lama.

“Multitasking”

Kata ini sempat menjadi mantra ajaib beberapa waktu lalu di mana melakukan beberapa pekerjaan dalam waktu bersamaan dianggap cara yang efektif dan efisien. Apalagi, gawai yang makin canggih dan koneksi internet yang cepat dianggap mampu mendukung gaya hidup baru ini.

Kita sering lihat—atau jangan-jangan kita sendiri melakukan, membaca email, chatting, online meeting dalam waktu bersamaan. Rasanya satu laptop dan satu ponsel tak cukup untuk melayani hasrat multitasking ini.

Multitasking adalah soal prioritas. Mereka yang merasa seluruh tugasnya tumplek-blek pada saat bersamaan perlu melihat Kembali bagaimana mereka menyusun prioritas. Alasan yang sering diutarakan adalah keterbatasan waktu. Yang perlu dibalik adalah melihat dari sisi yang berbeda: karena waktu kita terbatas, kita harus punya prioritas.

Tak kenal batas waktu

Pernah saya bahas dalam tulisan sebelumnya, tiadanya batas antara kantor dan rumah malah membuat kita kehilangan batas waktu. Tak sedikit yang bekerja terus dari pagi hingga larut malam, karena tidak ada kebutuhan untuk pulang.

Walaupun dari luar ini tampak baik-baik aja bagi kinerja perusahaan, namun akumulasinya bisa membuat para pekerja merasa kelelahan, dan berdampak pada kesehatan psikologis.

Budaya kerja di kelompok dan perusahaan sangat menentukan bagaimana batas-batas dalam bekerja itu ditentukan. Di Perancis ada peraturan ketenagakerjaan yang melarang perusahaan atau atasan mengirim email di luar jam kerja normal. Aturan ini disahkan pada awal 2017 ini berlaku untuk perusahaan yang memiliki lebih dari 50 pekerja.

Agar produktivitas di masa WFH bisa terus berkembang, perusahaan dan pekerja harus menyepakati “rule of the games” dalam situasi baru ini. Interaksi yang terbatas harus diimbangi dengan keterbukaan informasi dua arah.

Referensi: Great Place to Work, Return to Work and the Future Workplace Study, 2020 (greatplacetowork.com) | Ed Beltran, "5 bad habits remote worker need to bust) and ways to do it", (fastcompany.com, 20 Mei 2021) |

Baca juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dadi Krismatono lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dadi Krismatono.

DK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini