Mengenal Metan Hidrat, Harta Karun Migas Indonesia yang Bisa Diproduksi 800 Tahun

Mengenal Metan Hidrat, Harta Karun Migas Indonesia yang Bisa Diproduksi 800 Tahun
info gambar utama

Indonesia mengklaim telah menemukan potensi cadangan gas metan hidrat dalam jumlah besar. Gas metan hidrat disebut sumber daya hidrokarbon non-konvensional terbesar dan dapat diproduksi secara aman.

Hal ini disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, yang menyebut sebagai 'harta karun' baru di sektor minyak dan gas (migas) RI. Pasalnya, Arifin menyebut sumber daya ini bisa diproduksi hingga 800 tahun lamanya.

"Jumlah tersebut setara dengan delapan kali lipat cadangan gas alam saat ini, sehingga kita berharap sumber energi alternatif baru ini akan mendukung ketahanan energi nasional," tutur Arifin, dalam keterangan tertulis, Selasa (8/6/2021).

Berdasarkan penelitian di awal tahun 2004, Indonesia berhasil menemukan sumber daya metan hidrat sebesar 850 triliun kaki kubik (tirliun cubic feet/TCF). Berada di dua lokasi utama yaitu perairan selatan Sumatra sampai ke arah barat laut Jawa (625 TCF) dan di Selat Makassar, Sulawesi (233,2 TCF).

Baca jugaIndonesia Mampu Penuhi Kebutuhan Energi dalam Negeri pada 2025

Berdasarkan data Balitbang ESDM, PT Pertamina (Persero) bahkan memperkirakan potensi gas hidrat di Indonesia mencapai 3.000 TCF. Namun, besaran nilai ini masih sering diperdebatkan karena belum ada penelitian komprehensif terkait gas hidrat di Indonesia.

Merujuk kepada peta topografi dasar laut Indonesia, banyak sea beds pada area laut dalam Indonesia diperkirakan memiliki akumulasi gas hidrat dengan nilai volumetrik yang sangat besar. Hebatnya lagi menurut Arifin, gas metan hidrat ini merupakan opsi energi yang lebih bersih bila dibandingkan dengan minyak bumi dan batubara.

"Kita harap ini bisa jadi sumber energi alternatif baru, ini mendukung ketahanan energi 800 tahun ke depan," ungkapnya dalam webinar saat itu.

Selain di lokasi tersebut, metan hidrat juga tersebar di daerah lepas pantai Simeuleu, palung Mentawai, Selat Sunda, busur depan Jawa, Lombok Utara, Selat Makassar, Laut Sulawesi, Aru, Misool, Kumawa, Wigeo, Wokam, dan Salawati.

Arifin pun berharap ekstraksi dan produksi gas metan hidrat akan mampu menjadi salah satu sumber pendapatan utama negara di masa depan dan berperan nyata dalam bauran energi.

"Indonesia perlu segera mengembangkan di mana ekstraksi dan produksinya akan memberikan solusi penyediaan energi baru, menjadi salah satu sumber pendapatan negara, dan dapat berperan dalam bauran energi masa depan Indonesia," tegasnya.

Peluang untuk menjadikannya sebagai green energy

Guru Besar Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) Doddy Abdassah, ikut menyoroti penemuan energi terbarukan ini. Pada paparannya Doddy menjelaskan bahwa gas metan hidrat merupakan sumber daya hidrokarbon non-konvensional terbesar dan dapat diproduksi secara aman.

Sebagai perbandingan, deposit gas alam mencapai 13.000 TCF. Sementara deposit gas hidrat di darat saja mencapai 5 ribu-12 juta TCF dan di bawah laut 30 ribu-49 juta TCF.

Diperkirakan lebih dari 50 persen deposit hidrokarbon bumi tersimpan dalam bentuk gas metan hidrat. Menurut Doddy, dibutuhkan analisis yang komprehensif dan terintegrasi dalam eksplorasi dan produksi, serta riset dan pengembangan teknologi untuk komersialisasi produksi gas metan hidrat.

Indonesia, lanjut Doddy, sangat berpeluang untuk memanfaatkan potensi gas metan hidrat, dan harus segera memanfaatkan peluang ini untuk menuju energi fosil yang "green energy".

Baca jugaInsinyur Perminyakan Indonesia ini Menjadi Orang Asia Pertama yang Menerima Penghargaan SPE

Dirinya menjelaskan gas hidrat memiliki rasio gas terhadap padatan yang cukup tinggi, yakni sekitar 150-180 Sm3 gas/1 meter kubik hidrat. Kepadatan ini lebih tinggi dibandingkan dengan LNG yang bisa mengerutkan gas sampai 600 kali lebih kecil pada suhu -160 derajat celsius.

Untuk itu, gas hidrat yang diolah bisa menjadi salah satu alternatif sumber energi baru fosil yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, bila dibandingkan dengan LNG, gas hidrat memiliki produksi yang lebih rendah 36 persen, transportasi yang lebih rendah 25 persen, dan regasifikasi yang lebih tinggi 9 persen.

"Jadi ini juga bisa digunakan sebagai medium untuk transportasikan gas saat ini," kata dia.

Gas hidrat memiliki keunikan dibandingkan gas metana konvensional lainnya. Gas ini berbentuk seperti es dan dapat langsung dibakar. Pembakaran gas hidrat akan menghasilkan panas yang sangat besar dibandingkan gas konvensional.

Perbandingannya adalah, pembakaran 1 meter kubik gas hidrat akan menghasilkan energi yang setara dengan 168 meter kubik gas alam konvensional. Bayangkan, dengan kondisi seperti ini maka gas CO2 yang dihasilkan oleh pembakaran gas juga dapat berkurang (dengan beralih ke gas hidrat).

Ditambah lagi, gas hidrat memiliki jumlah gigaton di sedimen laut dalam. Walaupun begitu, teknologi untuk produksi gas hidrat masih belum komersial. Hal ini menyebabkan penelitian lebih lanjut seperti cara memproduksinya perlu dilakukan. Bagaimana pun gas hidrat merupakan gas yang ramah lingkungan dan sangat berpotensi untuk digunakan di masa depan.

Pengembangan gas metan hidrat

Gas hidrat (CH4.5.75H2O), atau yang umum disebut sebagai methan ice, merupakan suatu senyawa clathrate solid yang mengandung methane dengan jumlah besar dan terperangkap pada suatu kristal H2O dalam kondisi tekanan tinggi dan temperatur rendah.

Metan hidrat hanya stabil pada tekanan lebih dari 35 bar dan pada suhu rendah. Dengan demikian, dasar laut merupakan lokasi yang ideal untuk pembentukannya. Dasar laut hampir selalu dingin homogen dengan suhu 0 sampai 4 derajat celsius.

Karena itu, perlu teknologi tinggi untuk menambang dan mengembangkan energi baru tersebut. Riset tentang es yang bisa terbakar ini didominasi AS, Kanada, dan Jepang. Meski demikian, China terus meningkatkan upayanya sejak cadangan energi itu ditemukan di Laut China Selatan pada 2007.

China mulai mengumpulkan metana hidrat di perairan dekat muara Pearl Rivel pada Mei 2021 lalu. Beijing telah mengeksplorasi sekitar 210.000 meter kubik metana hidrat di Laut China Selatan, dan produksi harian yang mencapai 6.800 meter kubik pada Juni lalu.

Baca jugaProduksi Minyak di Blok Cepu Jadi Andalan Indonesia

Namun menurut praktisi sektor hulu migas, Tumbur Parlindungan, untuk pengembangannya masih membutuhkan riset mendalam. Hingga saat ini belum ada negara yang berhasil memproduksinya secara komersial.

"Masih dalam penelitian," kata dia, menukil Katadata, Jumat (11/6).

Salah satu negara yang lebih maju dalam pengembangan gas metan hidrat, yaitu Jepang, masih dalam tahap penelitian. Tantangan yang dihadapi adalah proses pengeluaran gas tersebut dari batuan sedimen.

Dengan kondisi tersebut, Tumbur mengatakan Indonesia perlu waktu untuk mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) tersebut.

''Shale oil dan shale gas yang sudah terbukti di banyak negara saja, kita belum melakukan riset yang komprehensif,'' ucapnya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Tutuka Ariadji, pun menyebut ada beberapa tantangan untuk mengembangkan gas terbarukan ini, antara lain :

1. Masih minimnya penelitian terkait gas hidrat ini. Oleh karena itu, penelitian terkait metan hidrat harus terus digalakkan di negara ini, apalagi Indonesia memiliki banyak perairan dan kaya akan metan hidrat.

2. Membiarkan metan hidrat tetap berada di dasar laut berpotensi lepasnya metan ke atmosfer dalam jumlah signifikan saat terjadi kenaikan suhu air atau atmosfir. Hal tersebut dapat berakibat pada efek pemanasan global yang ekstrem mengingat efek rumah kaca yang ditimbulkan metan adalah 25 kali lebih kuat daripada CO2.

3. Walaupun sumber daya metan hidrat sangat besar, terdapat tantangan besar dalam pengusahaan metan hidrat, yaitu cara untuk memproduksikan metan hidrat. Belum ada teknologi yang bisa menghasilkan metan hidrat secara komersial.

4. Operasional berisiko tinggi, mahal dan tidak stabilnya gas pada tekanan dan suhu permukaan laut membuat tantangan eksplorasi serta produksi metan hidrat lepas pantai menjadi sangat besar.

5. Riset yang komprehensif dan terintegrasi diperlukan dalam pengembangan metan hidrat sebagai landasan regulasi baru atau melengkapi regulasi yang sudah ada.

Profesor hukum internasional dan perbandingan dari School of Law University of Aberdeen, Andrew Partain, menyebut Indonesia perlu bergerak cepat dalam pengembangan energi ini. Selain karena memiliki potensi besar, banyak negara lain yang telah memulai membangun industri ini.

"Indonesia perlu bergerak cepat untuk menyiapkan berbagai kebijakan dan kekuatan untuk mengembangkan industri offshore hydrate, mengingat beberapa negara telah mempersiapkan industri ini dapat berjalan pada tahun 2030 mendatang," bebernya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo. Artikel ini dilengkapi fitur Wikipedia Preview, kerjasama Wikimedia Foundation dan Good News From Indonesia.

RK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini