Perbaikan Ekonomi dan Relasi Gender dalam Sistem Agroferestri Kopi

Perbaikan Ekonomi dan Relasi Gender dalam Sistem Agroferestri Kopi
info gambar utama

Sistem agroforestri kopi atau disebut juga wantani merupakan salah satu sistem dalam upaya peningkatan produksi kopi. Sistem ini menambahkan elemen pohon pelindung seperti sengon dan cempakan. Penanaman dilakukan berjarak dengan tanaman selain kopi.

Adanya sistem tersebut diharapkan dapat mengoptimalkan penggunaan lahan dan mencegah adanya perluasan lahan yang terdegradasi serta menambah pendapatan petani kopi.

Elok Mulyoutami, peneliti dan narasumber dalam sebuah Webinar ''Gender dalam Praktik Agroforestri Kopi'' yang dilaksanakan pada, Kamis (10/6/2021), menjelaskan bahwa sistem agroforestri sudah diterapkan di tingkat lokal dan global.

Dalam diskusi tersebut juga menjabarkan hasil penelitian terbaru dari World Agroforestry (ICRAF). Studi yang didukung oleh Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (Yayasan IDH), S&D SUCDEN, dan Jacobs Douwe Egberts (JDE).

Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Pagar Alam, Sumatra Selatan, ini menjelaskan bahwa penggunaan pohon peneduh atau pelindung sudah dikenal sejak puluhan tahun oleh masyarakat setempat, meskipun hanya menggunakan satu atau dua variasi tanaman yang masih tergolong dalam agroforestri kopi sederhana.

Elok Mulyutami dalam sebuah Webinar Gender dalam Praktik Agroforestri Kopi yang dilaksanakan pada, Kamis (10/6/2021).
info gambar

Penerapan sistem agroforestri kopi

Sistem agroforestri penting untuk dilakukan untuk mempertahankan mata pencaharian dan menambah penghasilan karena kopi hanya bisa dipanen sebanyak satu kali selama setahun saja.

“Beberapa tanaman komersial seperti buah, rempah, dan sayur terbukti mendatangkan penghasilan baru baru bagi petani agroforestri kopi,” kata Elok.

Saat ini, petani kopi di Pagar Alam menanam lebih banyak jenis pohon salah satunya adalah pohon buah-buahan. Buah alpukat, durian, jengkol, dan petai adalah beberapa pohon yang ditanam.

Selain Kabupaten Pagar Alam, petani di Tanggamus Lampung juga melakukan sistem yang sama dengan perusahaan Nestle. Program bernama “Coffee Plus'' tersebut menerapkan diversifikasi lahan kopi dengan cara intercopping dan menargetkan penanaman satu juta pohon pelindung di tahun 2025.

Syahrudi, Head of Corporate Aricultur Services, Nestle Indonesia, menjelaskan bahwa ada banyak jenis tanaman yang digunakan antara lain alpukat, vanilla, jahe, kacang merah, cabe, dan bawang prei. Tanaman-tanaman itulah yang memberikan penghasilan lain untuk petani kopi di Tanggamus, Lampung.

Sistem agroforestri kopi terbukti mampu memperbaiki taraf ekonomi para petani kopi. Selain itu, agroforestri juga tidak hanya berkontribusi pada ketahanan mata pencaharian untuk petani kecil dan menambah penghasilan, tetapi juga berkontribusi pada ekosistem seperti meningkatkan ketahanan pangan dan ketahanan lingkungan terhadap adanya dampak perubahan iklim.

Relasi gender dalam penerapan sistem Agroforestri

Ilustrasi petani kopi perempuan | Weilmar/Shutterstock
info gambar

Dinamika antara hubungan gender dan perubahan praktik pertanian yang mengaplikasikan sistem agroforestri terpotret dalam penelitian yang berjudul An overview of the Potential Impact of Interventons on Diverse Coffee Agroforestry System to Gender Dynamics in Pagar Alam District, South Sumatera tersebut.

Dalam studi yang dilakukan di Kecamatan Dempo Tengah dan Dempo Utara, Kabupaten Pagar Alam, terpotret bahwa sistem agroforestri dapat menghasilkan relasi antara laki-laki dan perempuan yang positif seperti dalam hal pembagian tugas berkebun kopi.

Perempuan biasanya bertanggung jawab atas kegiatan memanen dan menjemur kopi. Sedangkan laki-laki lebih kepada pemangkasan pohon peneduh yang tinggi. Selain itu, pembagian pendapatan dan akses terhadap kehidupan rumah tangga, manajemen waktu, keuangan, pengambilan keputusan, dan akses untuk mendapatkan pembangunan kapasitas, juga lebih kolaboratif.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa ada 33 persen kontribusi perempuan dalam proses produksi pertanian. Berbanding lurus dengan angka kontribusi tersebut, perempuan meningkatkan pendapatan sebanyak 31-36 persen.

Namun, dalam praktiknya masih ada risiko ketidakseimbangan hubungan gender. Pembuatan keputusan lebih sering dilakukan oleh laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Perempuan cenderung menyesuaikan keputusan mereka setelah berdiskusi dengan pasangan mereka.

“Ada pemahaman bahwa laki-laki yang lebih tahu dan berpengalaman mengelola kebun kopi. Sedangkan, perempuan merasa laki-laki adalah kepala rumah tanga dan pemgambil keputusan utama” jelas Elok.

Hal tersebut mengakibatkan perempuan tidak mendapatkan kesempatan untuk berperan lebih dalam untuk pengembangan pertanian kopi. Ada juga stigma bahwa perempuan tidak perlu bekerja di ladang, tetapi hanya perlu menyelesaikan pekerjaan domestik saja.

Pemahaman bahwa seorang perempuan tidak perlu mengikuti pelatihan untuk peningkatan produksi kopi sendiri karena akan mendapatkan ilmu dari laki-laki juga ada dalam masyarakat. Sedangkan perempuan membutuhkan pelatihan. Hal itu karena ketika musim paceklik, suami mereka biasanya bekerja di luar desa untuk menambah pendapatan, sehingga tidak bisa hanya mengandalkan suami saja dalam penanaman kopi.

Dari penelitian tersebut, kemudian disimpulkan bahwa laki-laki masih harus mendapatkan pemahaman terkait peran perempuan dan pihak perempuan perlu untuk meningkatan skill dan kapasitas mereka.

Do Ngoc Sy, APAC Sustainability Manager Jacobs Douwe Egberts (JDE), mengatakan bahwa peran perempuan sendiri sedikit banyak selalu ada dalam sistem rantai kopi.

“Selalu terdapat peran perempuan dalam sistem rantai nilai kopi. Oleh karena itu untuk pengembangan sistem agroforestri kopi yang beragam diperlukan pendekatan intervensi gender. Melalui pendekatan tersebut produksi kopi tidak akan kehilangan potensi peningkatan produktivitas dan kesejahteraan untuk keluarga petani secara keseluruhan” tambahnya.

Perusahaan Nestle adalah salah satu pelaksana program yang menggunakan pendekatan intervensi gender. Program peningkatan pasca panen untuk kelompok perempuan melalui pengembangan agronomi dilakukan Nestle dengan mendirikan UMKM dengan anggota perempuan dan remaja putri. Selain itu, juga ada Farmer Business School yang telah diikuti lebh dari 1.600 orang petani wanita.

Di dalam hasil penelitian tersebut ada beberapa rekomendasi untuk merancang kegiatan yang lebih peka terhadap gender. Salah satunya mengembangkan kapasitas fasilitator lapangan, mendorong partisipasi aktif perempuan untuk mengikuti pelatihan dan pertemuan komunitas, dan mengembangkan kapasitas perempuan untuk mengadopsi teknik pengelolaan argoforestri berbasis kopi.

Baca juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Iip M. Aditiya lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Iip M. Aditiya.

IA
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini