Kasus Markis Kido, Benarkah Olahraga Bisa Picu Serangan Jantung?

Kasus Markis Kido, Benarkah Olahraga Bisa Picu Serangan Jantung?
info gambar utama

Dua hari setelah insiden Christian Eriksen yang diduga mengalami henti jantung pada laga Denmark vs Finlandia di ajang Piala Euro atau Euro 2020, pencinta olahraga Indonesia kembali harus berhadapan dengan tragedi yang sama.

Senin (14/6/2021), masyarakat Indonesia harus kehilangan sosok legenda bulu tangkis, Markis Kido. Penyebab kematiannya adalah serangan jantung.

Sesaat sebelum meninggal, almarhum sedang bermain bulu tangkis di Gelanggang Olahraga (GOR) Petrolin, Tangerang, Banten. Melansir Antara, ketika Kido akan berganti tempat di tengah set permainan, tiba-tiba ia terjauh dan tak sadarkan diri.

Peraih medali emas Olimpiade 2008 itu lalu dibawa ke Rumah Sakit Omni, Alam Sutera, untuk mendapat penanganan medis. Namun, nyawanya tidak tertolong.

Baca jugaInilah Daftar Lengkap Pebulutangkis Indonesia yang Akan Berlaga di Kejuaraan Dunia 2018

Fenomena atlet yang meninggal karena serangan jantung bukan hanya sekali ini terjadi. Mantan atlet bulu tangkis Korea Selatan, Jung Jae-sung, juga meninggal pada Maret 2018 karena penyakit jantung.

Mantan pasangan Lee Yong-dae ini diduga meninggal karena mengalami arrhythmia atau gangguan irama jantung. Hal yang hampir sama menimpa mantan pebulutangkis nasional, Rian Sukmawan, yang meninggal pada Februari 2019, setelah berlatih.

Sementara itu, di kancah internasional, nama-nama seperti David Astori, Jason Collier (atlet NBA), dan Reggie Lewis (atlet NBA), juga ikut menambah deretan atlet yang meregang nyawa akibat serangan jantung

Serangan jantung masih menjadi penyakit dengan tingkat kematian tinggi. Apabila tak ditangani dengan baik, maka dapat berujung henti jantung.

Berdasarkan estimasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2013, sebanyak 39 persen penderita jantung di Indonesia berusia 44 tahun ke bawah. Menariknya, 22 persen di antaranya berumur 15-35 tahun, yang merupakan masa fisik produktif dalam kehidupan manusia.

Jumlah penderita jantung tertinggi ada pada kelompok usia 45-65, dengan persentase 41 persen. Selisih yang tak berbeda jauh antara umur 45 ke bawah dan 45 ke atas, yang jadi penegas bahwa tren risiko penyakit jantung datang pada usia muda semakin meningkat.

Faktor lain yang mesti diwaspadai adalah tingginya persentase pengidap jantung koroner di usia muda. Hampir 27 persen kasus jantung koroner di Indonesia terjadi pada kelompok usia 35 ke bawah, dengan 12 persen di antaranya dialami orang 25 tahun ke bawah.

Sementara itu berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2018, angka kejadian penyakit jantung semakin meningkat dari tahun ke tahun. Setidaknya, 15 dari 1.000 orang--sekitar 2,8 juta--masyarakat Indonesia mengidap penyakit jantung. Prevalensi penyakit jantung Indonesia sebesar 1,5 persen.

Selain faktor risiko yang ada seperti, merokok, obesitas, kadar kolesterol, tekanan darah tinggi, kurang aktivitas, diabetes mellitus, dan stres, ada penelitian yang mengatakan bahwa reaksi peradangan (inflamasi) dari penyakit infeksi kronis mungkin juga menjadi faktornya.

Maka dari itu, perlu adanya perhatian oleh masyarakat, khususnya individu agar lebih memperhatikan faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan penyakit jantung koroner.

Atlet yang terancam serangan jantung

Dokter ahli jantung dari RS Mount Elizabeth Singapura, Dr Paul Chiam, menjelaskan bahwa penyebab serangan jantung saat olahraga paling banyak berasal dari gangguan irama jantung atau aritmia. Gangguan irama jantung tersebut jamak disebabkan gangguan penebalan otot jantung (kardiomiopati hipertrofik) serta kelainan kelistrikan jantung bawaan.

Bedasarkan tulisan Owen Anderson yang berjudul “Heart attack risks are greater for athletes who compete in endurance sports” yang dipublikasikan tahun 2012, menyebutkan atlet dari seluruh cabang olahraga rentan terhadap dua penyakit serius, yaitu serangan jantung dan Alzheimer.

Owen menyebut, satu dari 50.000 atlet berisiko tinggi terkena serangan jantung. Hal tersebut karena adanya kandungan enzim cardiac troponin I yang kerap meningkat. Enzim ini meningkat disebabkan beberapa kondisi, seperti usia dan aktivitas.

Pemain sepak bola misalnya, mereka rata-rata menempuh jarak lari sebanyak 9-12 km per pertandingan. Jumlah tersebut belum termasuk sesi latihan yang dilakukan, baik latihan teknik maupun fisik. Dengan aktivitas ini, enzim cardiac troponin akan menjadi lebih tinggi dan bertahan setidaknya satu sampai dua minggu.

Baca jugaDan Ganda Putra Indonesia Pun Kembali Berjaya…

Jika fisik sudah tak mampu mengimbangi lonjakan enzim ini, besar kemungkinan seseorang akan terkena serangan jantung.

Dilansir dari Kompas, kejadian yang menimpa Christian Eriksen dan Markis Kido kemungkinan besar adalah serangan henti jantung, atau istilah medisnya disebut dengan sudden cardiac arrest (SCA), yaitu berhentinya detak jantung secara medadak yang disebabkan adanya gangguan aliran listrik di jantung,

Hal ini terjadi karena saat melakukan aktivitas olahraga, semua otot bergerak, termasuk otot jantung. Kondisi ini membuat jantung bekerja lebih keras untuk memompa oksigen dan aliran listrik menjadi terganggu.

Biasanya banyak orang yang tidak menyadari hal tersebut karena sebelumnya tidak merasakan keluhan. Terkadang, pada mereka yang kurang beruntung (sekitar 1 persen dari populasi), jantung berhenti mendadak dan mengakibatkan kematian.

Umumnya, seseorang yang terkena serangan henti jantung saat berolahraga dikarenakan telah memiliki riwayat penyakit jantung ini, hanya saja mereka tidak menyadari hal tersebut. Hal ini berbeda dengan serangan jantung atau heart attack kebanyakan yang disebabkan oleh penyakit jantung yang berlangsung kronik dalam waktu lama.

Benarkah olahraga mengancam kehidupan?

Banyaknya kejadian orang yang mengalami serangan henti jantung, termasuk dua kejadian Christian Eriksen dan Markis Kido yang berlatar belakang sosok atlet, bukan berarti olahraga menjadi pemicu utama serangan henti jantung.

Menurut Journal Of The American College Of Cardiology, sebanyak 52 serangan jantung terjadi di tempat olahraga biasa, 84 peristiwa di tempat olahraga alternatif, dan sebanyak 713 kasus serangan jantung lainnya terjadi di tempat-tempat yang tidak berhubungan dengan olahraga.

Dalam Journal of American Medical Association, disebutkan bahwa risiko terkena penyakit jantung yang ditimbulkan akibat aktivitas fisik sangat rendah. Selain itu penelitian tersebut menemukan bahwa aktivitas fisik malah akan menurunkan risiko serangan jantung, yakni sekitar 45 persen.

Baca jugaJust Keep Running, Minions!

Meski begitu American Heart Association merekomendasikan agar atlet menjalani pemeriksaan fisik dan EKG. EKG dapat mengidentifikasi penyakit jantung yang sudah ada sebelumnya pada remaja yang memiliki riwayat keluarga dengan kematian jantung dini.

"Itulah sebabnya atlet rutin dicek EKG agar diketahui perkembangan jantungnya. Beberapa gejala utamanya adalah kehilangan kesadaran, tidak bisa bernapas, dan nyeri dada tiba-tiba. Biasanya terjadi setelah melakukan aktivitas yang sangat berat," ungkap dr Tirta.

Selain itu, tambah Tirta, golden time penanganan serangan jantung adalah 10 menit. Dalam kurun waktu tersebut, harus dilakukan RJP (atau napas buatan atau CPR). Bahkan jika perlu dibawa ke IGD agar ditangani dokter.

"Ingat kawan. Serangan jantung bisa menimpa siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Jadi jika Anda sudah merasa kecapekan, berhentilah. Dan kalo sempat rutin cek Elektrokardiogram (EKG), yakni pemeriksaan untuk mengukur dan merekam aktivitas listrik jantung per 6 bulan di dokter jantung atau di puskesmas," saran Tirta.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini