Merawat Hawu, Alat Masak yang Punya Aroma Alami dan Jadi Penghangat Ruangan

Merawat Hawu, Alat Masak yang Punya Aroma Alami dan Jadi Penghangat Ruangan
info gambar utama

Zaman dahulu, masyarakat menggunakan tungku untuk memasak. Tungku, yang dalam Bahasa Sunda disebut 'Hawu', mulai ditinggalkan setelah kompor minyak tanah digunakan masyarakat. Bahkan, masyarakat kini sudah menggunakan kompor gas hingga elektronik.

Hawu berasal dari bahasa Jawa yaitu Awu yang memiliki arti abu, sedangkan dalam bahasa Sunda disebut Lebu. Jadi hawu adalah tempat terkumpulnya abu.

Pada masyarakat Sunda terdapat dua jenis hawu, pertama adalah bentuk hawu yang dibuat secara sederhana, dengan hanya menumpuk bata yang digunakan sebagai tungku. Namun hawu seperti ini tidak kokoh karena tidak memiliki perekat diantara batanya dan mudah ambruk jika terbentur.

Jenis hawu kedua adalah hawu yang terbuat dari gerabah. Bentuknya sama seperti hawu biasa, tapi mempunyai dua lubang tempat memasak yang berjejer ke belakang atau ke samping. Hawu ini dilapisi oleh adonan tanah liat sehingga tidak mudah ambruk atau retak.

Hawu terbuat dari beberapa jenis bahan, seperti tanah liat, batu, maupun bata. Hawu dibuat sedemikian rupa sehingga api dari suluh ‘kayu bakar’ dapat keluar melalui satu atau dua lubang di bagian atas hawu.

Baca jugaSantap Kelezatan Ikan Teri yang Berenang di Bumbu Khas Minang

Lubang tersebut digunakan untuk meletakkan panci, cerek ‘teko’, langseng/seeng ‘dandang’, atau katel ‘wajan’, saat memasak. Pelengkap hawu adalah songsong, yaitu alat berbentuk pipa terbuat dari batang bambu, digunakan sebagai alat untuk meniupkan udara ke dalam hawu agar api menyala lebih besar.

Dalam menggunakan hawu, mempertahankan api adalah hal yang sangat penting, karena biasanya hawu disimpan diluar ruangan sehingga apinya mudah tertiup oleh angin. Sayangnya hawu menghasilkan asap yang lumayan banyak juga membutuhkan tenaga dan waktu.

Hawu yang berada di dalam rumah biasanya diletakkan di lantai tanah di pawon ‘dapur’. Tempat menyimpan hawu dinamakan wadah hawu atau parako, berbentuk pasagi ‘persegi’ atau kotak, terbuat dari papan kayu (dulu) atau batu yang dilapisi tanah liat.

Parako ditempatkan di pawon sejajar dengan palupuh--lantai rumah panggung terbuat dari bambu yang dipecahkan memanjang. Kadang-kadang ada juga parako yang dibuat lebih rendah dari palupuh atau langsung disimpan di atas tanah pawon dan disebut parako ngupuk.

Setelah parako dibuat, di tengah-tengah kotaknya kemudian diisi dengan lebu atau keusik ‘pasir’ hingga penuh dan permukaannya menyamai papan kayu parako. Selanjutnya di atas lebu di tengah-tengah kotak diletakkan hawu dengan jarak yang aman dari kayu parako karena api dalam hawu akan menyala besar.

Jadi manfaat parako adalah untuk menjaga api agar tidak merembet atau menyebar pada papan/palupuh rumah panggung yang bisa menyebabkan rumah kebakaran, dan lebu atau abu hasil pembakaran kayu bakar tidak menyebar kemana-mana tetapi terkumpul dekat hawu.

Selain tempat menyimpan hawu, parako juga berfungsi sebagai tempat menyimpan songsong. Agar kayu bakar dapat menyala dengan baik, parako bertugas sebagai tempat menguraikan lebu dalam hawu jika sudah penuh.

Selain itu, lebu dan ruhak ‘bara api’ yang diuraikan dalam parako bisa dimanfaatkan untuk ngabubuy umbi-umbian; mais ‘membuat pepes’ ikan, jamur, atau meuleum (memasak makanan dengan cara didekatkan pada bara api) ikan, ikan asin, terasi, dan sebagainya.

Hawu ciptakan rasa masakan yang khas

Pada masyarakat Sunda sudah sulit melihat ada yang masih menggunakan hawu. Terkecuali di daerah pelosok, yang masih setia menggunakan alat tradisional tersebut.

Salah satu warga bernama Tarmilah yang tinggal di Kampung Kebonhui, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, masih menggunakan hawu ini. Ia memilki sebuah ruangan khusus di luar rumahnya sebagai dapur tradisional, di mana di sana diletakkan hawu. Ia mengaku sudah menggunakan hawu lebih dari 25 tahun.

“Sudah mengunakan hawu dari tahun 1991-an sampai sekarang masih masak di hawu,” ujar Tarmilah saat diwawancarai di kediamannya yang dilansir dari Ayo Bandung.

Menurutnya, rasa masakan yang diperoleh dari memasak memakai hawu sangat berbeda dengan masak menggunakan kompor. Aroma alami dan khas menurutnya menjadi daya tarik tersendiri untuk tetap menggunakan hawu.

“Suami saya lebih suka nasi yang dimasak di hawu, katanya lebih enak rasanya. Jadi kalau lagi senggang saya masaknya di hawu, kalau lagi buru-buru di kompor atau rice cooker,” terang Tarmilah.

Masyarakat Sunda yang hidup di pedesaan biasa menanak nasi dengan menggunakan dandang atau seeng. Menurut mereka, ada dua keuntungan memasak dengan menggunakan dandang.

Baca juga 4 Rekomendasi Makanan Khas Sulawesi, Sudah Pernah Coba?

Pertama, dapat memasak nasi dan air untuk minum sekaligus. Kedua, Memasak nasi--dengan menggunakan dandang--di hawu mampu menghasilkan nasi dengan aroma dan rasa yang lebih nikmat. Berbeda halnya dengan memasak nasi di atas kompor minyak atau kompor gas. Sementara itu, arang yang dihasilkan dari hawu yang masih membara dapat digunakan untuk menyetrika.

Selain memiliki beragam mamfaat, bahan untuk memasak menggunakan hawu jauh lebih murah. Salah satunya Fatimah yang masih tetap menggunakan hawu untuk memasak. Walaupun telah memiliki kompor gas, ia tetap memilih hawu khususnya untuk memasak sesuatu yang membutuhkan waktu yang cukup lama seperti menanak nasi dan memasak air.

“kalau sama kompor gas sayang. Apalagi gas sekarang mahal. Masak air mending sama hawu,” tutur Fatimah yang tinggal di kediamannya Desa Citapen, Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat.

Fatimah mendapatkan kayu bakar dari pohon di pekarangan rumah anaknya yang telah menikah. Apabila tidak ada, Fatimah biasa membeli kayu bakar dari penjual dengan harga Rp6.000 per ikat. Keluarga juga memamfaatkan hawu sebagai penghangat badan saat udara terasa dingin. Mereka berkumpul dan mengobrol di seputar hawu, melontarkan obrolan-obrolan santai hingga serius.

Selesai sarapan--yang dilakukan di sekitar hawu, biasanya anggota keluarga akan bubar dan masing-masing melaksanakan kegiatan rutinnya, seperti anak-anak pergi sekolah, orang tua ke kebun, ke sawah, ke kolam, dan para pegawai ke tempat kerjanya.

Pengrajin hawu yang harus bertahan

Para pengrajin tungku atau hawu di Kampung Pasekon RT 01/05 Desa Kademangan, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi, masih tetap bertahan. Mereka tak tergerus zaman.

Majid, misalnya. Pria berusia 55 tahun itu tetap setia dengan profesi sebagai pengrajin tungku sejak tahun 1997. Dalam satu hari, Majid bisa memproduksi empat buah tungku.

"Mulai membuat tungku pukul 06.00 WIB hingga 16.00 WIB, dari mengambil batu cadas hingga proses pembuatannya," ujar Majid kepada sukabumiupdate.com, Selasa (2/4/2019).

Sementara itu, Kirman, warga Kampung Cibangkong RT 01/11 Desa Tanjungsari, Kecamatan Jampangtengah, Kabupaten Sukabumi, telah menggeluti profesi ini selama 20 tahun lebih. Ia memilih untuk tetap bertahan menjadi seorang perajin tungku, meski pembeli sudah sangat jarang.

Ia tak memungkiri, seiring berkembangnya zaman, masyarakat sudah beralih dari tungku ke kompor gas. Namun menurut Kirman, tungku yang berbahan bakar kayu itu tetap memiliki pasar tersendiri.

Baca jugaKaya Makna, Filosofi Makanan Tradisional Jawa Ini Bisa Menjadi Pelajaran Hidup

"Kalau diperbolehkan, saya berharap ada bantuan mesin potong dari pemerintah supaya produksinya bisa lebih cepat. Kalau permintaan dari pengepul masih ada. Tapi karena tak ada alat potong jadi pembuatan sering terhambat," pungkasnya.

Hal yang sama terjadi pada para perajin hawu atau tungku di Kampung Cipancur, Desa Kademangan, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi, yang masih terus bertahan menjalankan usahanya. Di kampung ini terdapat 20 perajin yang setiap harinya memproduksi sebanyak 70 hawu.

Ayek, salah satu warga menuturkan proses pembuatan hawu diawali pemilihan bahan berupa tanah liat yang diambil dari bukit yang berada tak jauh dari rumahnya. Seluruh proses hingga hawu ini jadi membutuhkan waktu satu jam dengan bantuan cetakan yang sudah tersedia.

Nampak sederhana tapi dalam membuat hawu ini harus memiliki keahlian khusus. Dalam satu hari, Ayek dapat membuat empat buah hawu.

Modal untuk pembuatan hawu sekitar Rp2.500 sedangkan oleh tengkulak dijual Rp25 ribu. Hanya saja perajin hawu cukup kesulitan dengan penjualanya karena tengkulak sudah tidak ada. Walaupun sudah mulai ditinggalkan, hawu ini masih bisa ditemukan di beberapa toko perabot, namun sudah jarang. Rata-rata hawu yang dijual saat ini adalah yang berbahan dasar tanah liat.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini