Bantimurung Gallang, dari Tempat Mandi Noni Belanda hingga Pappalempanganna Toceilea

Bantimurung Gallang, dari Tempat Mandi Noni Belanda hingga Pappalempanganna Toceilea
info gambar utama

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno dalam lawatannya ke Sulawesi Selatan mengunjungi wisata air terjun Bantimurung Gallang yang berada di Desa Pao, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sabtu (19/6/2021).

Di tempat kelahiran Sultan Hasanuddin ini, Sandiaga selain disambut dengan pemasangan songkok Patonro oleh Karaeng Kio sapaan akrab H Abd Rauf Malaganni, juga dengan angngaru, sebuah tradisi penyambutan khas Makassar. Seorang dengan berpakaian adat menghunuskan badik menyampaikan sumpah kesetiaan dan penghargaan. Ribuan warga yang datang dari berbagai penjuru menyambut suka cita.

"Hari ini kita melihat keindahan alam, sungguh indah alam yang ada di desa wisata Pao di Kabupaten Gowa. Dan ini kita lihat sendiri Bantimurung Gallang sebagai daya tarik wisata yang kuat bagi wisatawan," katanya.

Kabupaten Gowa dikatakannya punya potensi menjadi destinasi wisata kelas dunia yang diharapkan mampu mengangkat potensi dan peluang dari hadirnya desa-desa wisata.

Termasuk melalui desa-desa wisata yang dikatakannya akan menjadi salah satu penopang kebangkitan pariwisata dan ekonomi kreatif karena akan memberikan dampak langsung terhadap masyarakat.

"Kami sedang mendata desa-desa wisata terutama di Sulawesi Selatan untuk dipromosikan agar kemudian dapat membangkitkan semangat, menebar optimisme, dan harapan kita bahwa pariwisata dan ekonomi kreatif kita bisa segera bangkit dan pulih kembali," kata Menparekraf Sandiaga.

Untuk itu Sandiaga menekankan agar penerapan protokol kesehatan terus dijalankan dengan ketat dan disiplin.

"Saya pesan agar semua disiplin protokol kesehatan. Saya melihat hari ini angka penularan COVID-19 semakin meningkat di beberapa daerah, terutama di DKI Jakarta dan daerah-daerah yang padat penduduk. Oleh karena itu kita harus tingkatkan protokol kesehatan secara ketat dan disiplin," kata Sandiaga.

Di sekitar lokasi wisata terdapat sejumlah stan yang menjajakan berbagai produk khas lokal. Beberapa makanan dan minuman khas lokal bisa ditemui seperti minuman markisa, keripik ubi ungu, kue bannang-bannang olahan gula aren, kopi, gula semut, dan beragam lagi makanan lokal lainnya.

Ada juga kerajinan tangan seperti besek, tas anyaman bambu, caping atau topi khas petani dan gantungan kunci buah pinus kering. Gantungan kunci ini terbilang unik dan menarik karena terbuat dari buah pinus yang selama ini tak termanfaatkan. Pohon pinus sendiri banyak ditemukan di kawasan dataran tinggi Gowa, termasuk kawasan wisata Malino yang menjadi trademark wisata Kabupaten Gowa.

Kunjungan menteri ini memberi kesan dan harapan tersendiri bagi warga, khususnya pelaku ekonomi yang tinggal sekitar tempat wisata. Nurhudayah (37) seorang pedagang bunga hias tampak sumringah ketika menjelaskan aneka macam bunga yang dijual di sekitar lokasi.

“Mudah-mudahan nantinya akan ada perhatian bagi kami pelaku usaha di sekitar wisata ini. Ada banyak jenis usaha di sini, mulai dari usaha makanan, kerajinan tangan, tanaman hias, dan lain-lain.”

Selain dukungan modal Nurhudayah juga berharap ada dukungan pelatihan-pelatihan usaha dan pemasaran melalui media sosial.

“Pelatihan media sosial sangat penting juga supaya bisa menjangkau pasar lebih luas,” katanya.

Tempat mandi noni Belanda dan pengasingan Raja Luwu

Sebagai sebuah kawasan wisata alam, Bantimurung Gallang memiliki pesona tersendiri. Bantimurung sendiri berasal dari bahasa Makassar yang berarti ‘air terjun’, sementara Gallang berarti ‘gelang’.

Selain kejernihan airnya yang menderas dari ketinggian 45 meter, di sekitar lokasi kita bisa menikmati pemandangan alam yang indah. Tempat ini juga memiliki nilai histori tersendiri.

“Dulu sekitar tahun 1900-an tempat ini menjadi tempat mandi orang-orang dan noni-noni Belanda,” ungkap Muhammad Basri, Kepala Desa Pao.

Wisata alam ini memang hanya berjarak sekitar 40 km dari Malino, yang dibangun oleh pemerintah Belanda. Pada tahun 1927, oleh Gubernur Jenderal Caron yang memerintah di “Celebes on Onderhorighodon” telah menjadikan Malino menjadikan tempat itu sebagai tempat peristirahatan bagi para pegawai pemerintah.

Malino pada bulan 16-22 Juli 1946 pernah dilaksanakan Konferensi Malino yang bertujuan untuk membahas gagasan berdirinya Negara Indonesia Timur (NIT). Di Malino ini pula dihasilkan Deklarasi Malino untuk Poso, adalah sebuah perjanjian damai yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 20 Desember 2001 di Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Perjanjian ini mempertemukan pihak Kristen dan Islam yang bertikai di Poso dalam konflik komunal sepanjang tahun 2000 hingga 2001. Pertemuan ini dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia pada saat itu, Jusuf Kalla.

Menurut Basri, jauh sebelum datangnya Belanda, lokasi sekitar Bantimurung Gallang juga menjadi tempat pengasingan Raja Luwu yang berselisih, yang datang ke Pao dan menjalin persaudaraan dengan penguasa Pao yang bergelar Puangta Pao.

“Dulu jauh sebelum masa Sultan Hasanuddin, di Kerajaan Luwu terjadi perebutan kekuasaan antara 4 bersaudara, oleh penguasa Pao ia diundang ke Pao dan diinstruksikan agar menyusuri sungai hingga bertemu air terjun yang menghadap matahari. Inilah tempat tersebut dimana bangsawan beserta dayang-dayang dan bendera kerajaan bermukim di sini. Rumah adatnya masih ada sampai sekarang.”

Sebagai sebuah tempat wisata yang bisa diakses masyarakat umum baru dilakukan beberapa tahun terakhir. Jalan menuju lokasi sudah dicor beton bukan hanya sebagai akses ke lokasi wisata, tapi juga akses untuk sebuah PLTA Tombolo Energy yang dibangun sekitar lokasi tersebut.

“Dulu memang ini sudah dijadikan sebagai wisata, namun baru dikelola sejak 2016 lalu sejak saya menjadi kepala desa. Ini memang menjadi salah satu visi misi saya bagaimana desa Pao menjadi desa wisata, dan kini sudah terwujud. Baru sekitar tahun 2019 lalu saya menyurat ke bupati dan kementerian agar desa kami sebagai desa wisata,” jelas Basri.

Menurut Basri, meski lokasinya agak jauh pelosok desa namun pengunjung selalu ramai, khususnya di hari libur.

“Tombol Pao ini kan penyangga wisata dari Malino, makanya pengunjung yang datang ke Malino, biasanya di hari libur, sebagian datang ke tempat ini untuk berekreasi atau mencari suasana baru. Apalagi tiket masuk sangat murah,” jelas Basri.

Dari hasil retribusi tempat wisata ini berkontirbusi sekitar Rp700 ribu-Rp800 ribu per minggu, meskipun mengalami penurunan sejak adanya pandemi.

“Ini pas pandemi ada penurunan hingga 50 persen karena kunjungan dibatasi, apalagi Malino juga dibatasi jadi pengunjung berkurang. Namun kondisinya kembali normal sekarang, dan kita terapkan protokol kesehatan yang ketat bagi pengunjung,” katanya.

Arangangia dan tradisi sungai

Tak jauh dari air terjun tersebut terdapat tempat yang bernama Arangangia, yang berarti sebuah tempat di dekat sungai, karena berada di delta sungai Tangngara. Sungai berbatuan ini dikelilingi pepohonan yang mungkin telah berusia ratusan tahun. Suara aliran sungai terdengar keras setiap saat. Pemandangan sekitar sangat indah dan alami.

Sungai Tangngara, yang juga merupakan sumber air terjun Bantimurrung Gallang, yang tak pernah kering bermuara di gunung Bawakaraeng, melintasi sejumlah desa, mulai dari Kanreapia, Tonasa, Tamauna, Pao, Tabbinjai dan beberapa desa di Kabupaten Sinjai, menjadi sumber mata air bagi ratusan hektar sawah.

Kalau dulunya Arangangia hanya hamparan gembalaan kambing, namun lokasi seluas 40 are ini sejak Desember 2019 diubah menjadi taman herbal. Di dalamnya terdapat sejumlah bangunan yang terbuat dari bambu. Terdapat pula taman dibuat berpetak-petak, yang ditanami beragam tanam obat yang diperoleh dari berbagai desa sekitar.

Muhlis Paraja, Ketua Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Gowa, yang merupakan penggagas pembangunan tempat ini menjelaskan bahwa pembangunan taman herbal Arangangia adalah bagian dari gerakan pulang kampung bagi generasi muda untuk membangun desa, yang digagas oleh AMAN pusat.

Desa Pao juga memiliki tradisi sungai yang dikenal dengan nama Pappalempanganna Toceilea. Sebuah tradisi penangkapan ikan secara gotong royong bagi komunitas adat Patalassang, dikenal dengan tradisi Pappalempanganna Toceilea.

Dalam tradisi ini warga rumpun Pao dan Ceilea berkumpul untuk pesta menangkap ikan, dimana sungai dikeringkan sebelum turun untuk menangkap ikan secara gotong royong.

“Tradisi ini masih berlangsung hingga sekarang, biasanya di puncak kemarau bulan sembilan atau sepuluh. Hanya saja pada 2020 lalu tidak dilakukan karena kemarau tak terlalu.

Tradisi ini melalui sebuah proses yang panjang, mulai dari ritual pendahuluan hingga pelaksanaan kegiatan. Sungai akan dikeringkan secara gotong royong. Ikan hasil tangkapan akan diberikan kepada ketua adat yang nantinya akan dibagikan secara rata kepada warga. Beberapa jenis ikan yang banyak ditemukan adalah ikan mas, udang, piri, masapi.

“Tradisi ini juga masih dilakukan sebagian warga setiap selesai pesta perkawinan, sebagai randa syukur ke pencipta. Hanya saja mulai terbatas dilakukan karena ditentang kelompok-kelompok keagamaan.”

--

Ditulis oleh: Wahyu Chandra - kontributor Makassar

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

AH
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini