Ada banyak sekali bukti yang menunjukan bahwa kebudayaan maritim nusantara telah berlangsung sangat lama. Hal ini seperti membuktikan lirik lagu yang cukup terkenal pada masa kanak-kanak, “nenek moyangku seorang pelaut”.
Bangsa Indonesia sejak zaman dahulu memang dikenal sebagai pelaut yang hebat dan tangguh. Tidak mengherankan banyak jenis kapal tradisional yang dimiliki bangsa ini.
Hal ini bisa terlihat dari ragam kapal tradisional dari Sabang sampai Merauke. Selain itu Indonesia memiliki wilayah perairan yang sangat luas, merupakan 'ladang emas' bagi para nelayan/pelaut.
Setiap daerah pun memiliki kapal tradisional dengan ciri khas tersendiri. Namun kapal-kapal ini juga cukup tangguh saat harus berlayar ke samudera yang luas, nah berikut lima kapal tradisional khas Indonesia :
Baca jugaEksistensi Kapal Rakyat Wujudkan Indonesia Poros Maritim Dunia
1. Pencalang
“Pencalang berasal dari Melayu, sekitar perairan Selat Malaka,” tulis Djoko Pramono dalam buku ''Budaya Bahari''. V.J. Verth dalam ''Borneo’s Wester Afdeeling'' menyebut pencalang memiliki peran dalam sejarah pendirian Kota Pontianak.
Secara umum, Pencalang adalah kapal dagang tradisional dari Nusantara. Dalam sejarah ia disebut sebagai pantchiallang atau pantjalang. Kata “Pencalang” memiliki akar kata yang sama dengan “lancang”.
Pada awalnya, kapal jenis ini dibuat oleh orang-orang Melayu dari daerah Riau dan Semenanjung Melayu, tetapi telah ditiru oleh pembuat kapal Jawa. Pada akhir abad ke-17, kapal ini telah dibangun oleh pembuat kapal Jawa and China disekitar Rembang. Namun kapal ini adalah pilihan populer untuk nakhoda Bali diikuti oleh nakhoda Sulawesi.
Lagu "Lancang kuning" yang sangat populer di Riau, disebut merupakan jenis kapal pencalang yang berasal dari Melayu di sekitar perairan Selat Malaka. Legenda Hang Tuah menyebut kapal lancang kuning sebagai kendaraan perkasa dari Sumatra.
Kapal ini pernah menjadi lambang kekuasaan dari kendaraan resmi Kesultanan Siak Sri Indrapura di Riau. Kini, Kapal Pelancang atau Lancang Kuning hanya tinggal legenda yang diabadikan menjadi maskot Provinsi Riau.
2. Pinisi
Pinisi, tulis Lawrence Blair dalam ''Ring of Fire'', adalah produk hibrida antara perahu Sulawesi dan galleon pembawa rempah khas Portugis dari abad ke-17. Kapal ini dicirikan oleh dua tiang utama dan tujuh layar.
Kapal ini dibangun oleh orang Konjo, sebuah kelompok sub-etnis Makassar yang sebagian besar penduduk di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, yang masih digunakan secara luas oleh orang Bugis dan Makassar, untuk transportasi antar-pulau, kargo, dan tujuan memancing di kepulauan Indonesia.
Pinisi sempat digunakan oleh Alfred Russel Wallace saat melakukan penelitian di Indonesia, serta pernah diabadikan dalam lembaran Rp100 keluaran 1992. Istilah pinisi, pinisiq, pinisi, atau phinisi, mengacu pada jenis sistem layar (rig), tiang-tiang, layar, dan konfigurasi tali dari suatu jenis kapal layar Indonesia.
Perahu pinisi ternyata dibangun tanpa perlu menggunakan sketsa terlebih dahulu. Meski begitu, Anda tak perlu meragukan lagi dari ketangguhan perahu satu ini di dalam mengarungi laut dan samudra di dunia.
Dan satu hal lagi yang akan membuat Anda takjub adalah perahu satu ini dibuat tanpa menggunakan perekat. Sehingga kayu kayu yang menyusun perahu pinisi ini hanya direkatkan dengan menggunakan pasak kayu. Uniknya lagi, pembuatan perahu ini dimulai dari badan dahulu bukan melalui kerangka.
Selain itu, kayu yang digunakan sebagai bahan dasar dalam membuat perahu pinisi ini konon katanya akan semakin kuat dan menjadi sangat kokoh jika telah terkena air laut. Untuk itu, perahu ini pun juga akan terlihat sangat tangguh untuk menghadapi badai atau pun terjangan dari ombak.
UNESCO menetapkan seni pembuatan kapal Pinisi sebagai Karya Agung Warisan Manusia yang Lisan dan Takbenda pada Sesi ke-12 Komite Warisan Budaya Unik pada tanggal 7 Desember 2017. Kapal bersistem layar pinisi adalah kapal layar tradisional suku Makassar terbesar, dan juga merupakan kapal layar tradisional Indonesia yang terbesar sejak menghilangnya Jong Raksasa.
Beberapa ekspedisi pun telah menyebutkn bahwa perahu pinisi ini telah tercatat di dalam sejarah. Yakni pada abad ke 17 pada masa kejayaan kerajaan Sriwijaya, perahu ini pun pernah berlayar hingga mencapai Madagaskar di Afrika.
Baca jugaMenengok Pembuatan Jukung, Perahu Tradisional Kalimantan
3. Jukung
Menurut Sejarah Nasional Indonesia II, nama Jukung sudah tertulis dalam Prasasti Julah dari abad ke-10. Perahu Bali ini memiliki cadik ganda dan layar segitiga.
Jukung juga dikenal sebagai perahu khas Banjar. Uniknya, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak mengenal istilah ''jukung'', melainkan ''jongkong''.
Jukung atau juga dikenal sebagai cadik adalah perahu kecil kayu dari Indonesia. Ia adalah perahu nelayan tradisional, tetapi penggunaan yang lebih baru diantaranya sebagai "Jukung Dives", yaitu penggunakan perahu sebagai kendaraan untuk kelompok kecil penyelam skuba.
Sementara itu, orang Kalimantan sering menggunakannya untuk transportasi dalam kegiatan sehari-hari, seperti pergi ke kantor, ke sekolah, atau berbelanja di pasar terapung. Jukung yang terbuat dari dari sebuah batang pohon ini melalui proses dimekarkan dan dipanaskan dengan asap selama tujuh hari tujuh malam.
Asal mula adanya kapal jukung ialah bermula pada saat penjuru Kalimantan masih dikelilingi dengan hutan lebat. Suku Dayak dan Melayu-Banjar kemudian memanfaatkan kayu di hutan untuk membuat jukung.
Pada akhir 1980-an, ada perjalanan pelayaran lebih dari 1000 mil laut (1.852 km) menggunakan jukung terbuka oleh sembilan kru, yang berlayar dari Bali ke Darwin melintasi Laut Timor. Krunya berasal dari Selandia Baru, Australia, AS, Inggris, Jepang, Prancis, Jerman, Belanda, dan Indonesia.
Ini adalah ekspedisi tiga bulan yang didalangi oleh Bob Hobmann, difilmkan dan dibuat menjadi film dokumenter yang disebut "Passage out of Paradise"; ditampilkan oleh National Geographic Society sebagai "The Great Jukung Race".
4. Sandeq
Lazim disebut “Sandeq,” perahu khas Mandar ini memiliki lambung ramping, cadik ganda, dan stempost (penahan arus di muka) yang mencuat hingga membuatnya mirip kapal Viking. Sandek memiliki panjang 5-16 meter.
Perahu ini tersohor akan kecepatannya yang mencapai 40 km/jam—velositas yang dibutuhkan untuk mengejar tuna. Sandeq memang identik dengan Mandar, salah satu suku di negeri ini yang mendiami Pulau Sulawesi bagian barat.
Seperti suku lain yang tinggal di kawasan pesisir, kehidupan Suku Mandar pun sangat lekat dengan kehidupan laut. Tak heran, jika masyarakat suku ini sangat piawai melakukan segala aktivitasnya yang “berbau” laut.
Modelnya ramping, panjang 6–9 meter dan lebar 1,5–2 meter dengan bentuk haluan maupun buritan runcing. Haluan dan buritan disebut paccong, yakni paccong uluang untuk haluan dan paccong palaming untuk buritan. Dan, nama sandeq sendiri diambil dari Bahasa Mandar, “Sande” yang berarti “runcing”.
Kemunculan perdana perahu ini diperkirakan terjadi pada tahun 1930-an di Pambusuang, salah satu desa pelaut di Kecamatan Balanipa--sekarang. Hal mengagumkan lain dari sandeq adalah kecepatannya yang konon menjadi perahu tradisional yang tercepat di dunia.
Beberapa tahun terakhir ini perahu Sandeq juga dilombakan kecepatannya. Ajang yang paling bergengsi yang diadakan tiap tahunnya adalah ''Sandeq Race’'. Tiap bulan Agustus, berpuluh-puluh perahu sandeq mengadu kecepatan untuk memperebutkan gengsi dan tentunya uang.
Perlombaan dimulai dari kabupaten Mamuju dan berakhir di Makassar. Lomba tersebut diadakan untuk memperingati hari jadi bangsa Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus
Ajang ini sudah menjadi rutinitas tahunan oleh dua provinsi yang bertetangga, yakni Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan, yang dianggap mampu mempertahankan pelestarian perahu sande’ yang perlahan tergeser dengan keberadaan perahu motor modern yang semakin banyak digunakan.
Baca juga Daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO dari Indonesia Bertambah
5. Kora-Kora
Perahu ramping khas Maluku ini memiliki panjang sekitar 10 meter dengan kapasitas 40 pendayung. Pernah digunakan dalam perang, korakora kini lebih merupakan aset budaya yang rutin dipertontonkan dalam festival-festival akbar, seperti Festival Budaya Banda Neira atau Festival Kora-Kora di Ternate. Pada 1985, perahu ini dijadikan nama sebuah wahana di Ancol.
Kora-kora adalah sejenis perahu besar bercadik kembar berganda, bertiang tiga yang digerakkan dayung atau layar, kata ini berasal dari bahasa Spanyol Carraca yang berarti dua anak dari ikan toni (ikan terbang) yang memiliki nama ilmiah Cypsilurus Poecilopterus.
Perahu Kora-Kora memiliki nilai historis tersendiri bagi masyarakat Ternate, Maluku yang salah satu keahliannya membuat perahu. Terwujudnya perahu Kora-Kora dimulai sejak zaman penjajahan Portugis di tahun 1200-an.
Saat itu Portugis bermaksud menguasai kekayaan rempah-rempah yang ada di Maluku. Maka, dibuatlah perahu kora-kora besar sebagai armada perang di laut yang berbentuk mirip perahu naga cina.
Seperti yang pernah dilakukan oleh Babullah dari Kesultanan Ternate, kora-kora pada masa lalu tak hanya merajai di perairan Nusantara, melainkan mancanegara, salah satunya ke Mindanau, Filipina.
Selain digunakan untuk memerangi Portugis, Spanyol, dan Belanda, perahu kora-kora juga dijadikan sebagai perahu komoditi yang digunakan untuk perdagangan antar-pulau. Saat ini, perahu kora-kora digunakan untuk ritual dan kegiatan festival lomba adu dayung sebagai bagian atraksi wisata kepada wisatawan domestik ataupun internasional.
Perahu Kora-Kora 90 persen dibuat dari kayu Gofasa dan 10 persennya menggunakan jenis kayu Marfala. Panjang perahu kora-kora saat ini adalah 8,5 meter dengan lebar 1 meter dan tinggi 0,8 meter.
Pemerintah setempat punya komitmen untuk selalu melestarikan keberadaan kora-kora lewat satu kegiatan rutin, namanya Festival Kora-Kora. Berkat festival yang dihelat pada November tiap tahun inilah perahu tradisional tersebut masih tetap bertahan meski tak henti tergerus modernisasi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News