Kora-Kora, Kapal Perang Kebanggaan Ternate yang Usir Portugis dari Maluku

Kora-Kora, Kapal Perang Kebanggaan Ternate yang Usir Portugis dari Maluku
info gambar utama

Pada abad ke 16, Portugis telah memonopoli perdagangan rempah-rempah Nusantara. Salah satu daerah yang menjadi jajahan pasukan Portugis adalah Kepulauan Maluku yang pada saat itu sangat kaya akan rempah-rempah.

Padahal wilayah Kepulauan Maluku telah berdiri Kerajaan Islam, salah satunya adalah Kesultanan Ternate. Negeri yang juga terkenal dengan nama Kerajaan Gipsi ini dipimpin Sultan Baabullah.

Selama kepemimpinannya, ia berjuang melawan kesewenangan-wenangan Portugis di Maluku. Perang melawan pasukan kolonial Portugis berlangsung sangat hebat, bahkan seluruh rakyat negeri-negeri Islam di wilayah Indonesia bagian timur turut terjun dalam peperangan.

Saat itu Sultan Baabullah tak cuma berniat menghancurkan lawan di area sekitar Ternate, ia pun bertekad mengusir Portugis dari seluruh Kepulauan Maluku. Taktik yang diterapkan raja muslim tersebut disebut sebagai strategi Perang Soya-Soya, artinya, “pembebasan negeri.”

Jalur Rempah Nusantara Ada di Pulau Seram

Tidak tanggung-tanggung ia menyiapkan 2.000 armada kapal kora-kora yang mengangkut total 120 ribu prajurit. Strategi ini diterapkan untuk mendesak orang-orang Portugis yang masih bertahan dalam Benteng Gamlamo.

"Perahu kora-kora milik pangeran itu jauh lebih bagus daripada kapal layar milik Pereira (Laksamana Portugis) yang manapun, yang pada saat itu merapat di pantai untuk diperbaiki, sementara jumlah anak buahnya melebihi jumlah orang Portugis, tiga atau empat lawan satu," yang dikutip dari buku "Pengepungan Benteng Portugis: Kekalahan Superpower Portugis oleh Jihad Baabullah di Ternate", karya K. Subroto.

Pada 1570-1571, Sultan Baabullah juga mengirimkan lima kapal kora-kora dengan 500 prajurit ke Ambon. Armada ini dipimpin Kapita Kalakinko dan Kapita Rubohongi, yang memiliki misi untuk mengusir Portugis secara berangsur-angsur dari Maluku. Ia pun berhasil merebut wilayah di Pulau Buru, Hitu, Seram, dan sebagian Teluk Tomini.

"Dengan armada kora-koranya ia mengunjungi pulau demi pulau, sambil menuntut pembaruan sumpah setia pulau-pulau itu, dan menjelajah sampai sejauh Makassar, penguasa daerah yang paling berkuasa di luar Jawa," tulis K. Subroto dalam bukunya.

Antara tahun 1571-1575, Raja Ternate itu berlayar untuk mencari orang-orang Portugis yang lari ke Buton. Mereka kabur setelah Kesultanan melancarkan serangan terhadap Ambon, Hitu, Buru, Seram, dan Teluk Tomini.

Sultan kemudian memenangkan perang dengan Portugis sehingga kekuasaannya diakui Buton. Pada 31 Desember 1575, Sultan Baabullah berhasil mengusir Portugis sepenuhnya dari Maluku.

Kora-kora, kapal legendaris warga Ternate

Kora-kora sejatinya adalah perahu tradisional Kepulauan Maluku, Indonesia. Perahu yang disebut Juanga atau Joanga itu biasa digunakan untuk perdagangan maupun peperangan.

Asal dari namanya tidak diketahui, tetapi mungkin diambil dari kata Arab, yakni Qorqora, yang berarti "kapal dagang besar". Istilah ini juga mungkin berasal dari bahasa Spanyol atau bahasa Portugis carraca, tetapi dalam catatan Portugis dan Spanyol tertua akan Maluku, mereka melaporkan caracora, coracora, carcoa, tetapi tidak pernah carraca.

"Tetapi secara turun-temurun dalam tradisi lisan masyarakat Ternate, kora-kora menjadi alat transportasi para prajurit kesultanan untuk melakukan ekspansi perluasan wilayah kekuasaan dan hubungan diplomatik antara kerajaan. Bahkan sampai Mindanau, Filipina Selatan,” kata Rinto Thaib, Kepala Bidang Sejarah dan Cagar Budaya, Dinas Kebudayaan Kota Ternate kepada Kompas.com.

Terwujudnya perahu kora-kora memang dimulai sejak zaman penjajahan Portugis di tahun 1500-an. Saat itu Portugis bermaksud menguasai kekayaan rempah-rempah yang ada di Maluku, maka dibuatlah perahu kora-kora besar sebagai armada perang di laut yang berbentuk mirip perahu naga China.

Ini 5 Kapal Tradisional Khas Indonesia, Bukti Nenek Moyang Seorang Pelaut

Selain digunakan untuk memerangi Portugis, Spanyol, dan Belanda, perahu kora-kora juga dijadikan sebagai perahu komoditi yang digunakan untuk perdagangan antar-pulau. Namun seiring perkembangan zaman, kora-kora kemudian digantikan dengan transportasi laut yang lebih modern. Bahkan saat ini, kora-kora banyak dibuat sebagai miniatur.

Panjangnya kira-kira 10 meter dan sangat sempit, biasanya terbuka, sangat rendah, dengan berat kira-kira 4 ton. Ia memiliki cadik bambu sekitar lima kaki (1,5 meter) dari setiap sisi, yang mendukung sebuah panggung bambu yang memanjang sepanjang panjang kapal.

Rata-rata, kora-kora terbuat dari kayu jenis Gufasa atau jenis Marfala. Namun ukurannya berbeda dengan perahu yang digunakan oleh masyarakat pada umumnya.

Di Ternate, kora-kora dikenal dua bentuk yaitu Juanga dan Kudunga. Bentuk Juanga lebih diperuntukan bagi sultan karena di bagian tengahnya dilengkapi dengan atap, sementara Kudunga adalah kora-kora yang digunakan untuk masyarakat umum.

"Kora-kora begitu sangat terkenal di masa kepemimpinan Sultan Babullah karena dia dikenal dengan penguasa 72 pulau mungkin lebih dari itu. Dan salah satu modal transportasi yang digunakan untuk ekspansi kekuasaan ke daerah sekitar, bahkan keluar itu adalah dengan kora-kora,” jelas Rinto.

Sejak zaman dahulu, para pengemudi dan pendayung perahu dayung tradisional Maluku ini berteriak 'Mena Muria', untuk menyesuaikan tolakan dayung mereka saat ekspedisi di pantai. Ini berarti 'maju-mundur', tetapi juga dapat diterjemahkan menjadi 'Aku pergi-kami mengikuti' atau 'satu untuk semua-semua untuk satu'.

Festival kora-kora sebagai cara pelestarian budaya

Sekitar tahun 1950-an, kora-kora juga pernah dipakai untuk menyambut Presiden Soekarno yang datang ke Ternate. Sekarang Pemerintah Kota Ternate menggelar Festival Kora-Kora untuk melestarikan perahu perjuangan masyarakat Maluku Utara setiap bulan November.

Kota Ternate memiliki beragam cara untuk mendongkrak potensi wisata bahari. Salah satu acara yang paling dinanti adalah Festival Perahu Kora-Kora.

Dinas Pariwisata Ternate sengaja memilih Kora-Kora karena jenis perahu ini bagian dari sejarah Ternate di masa lalu. Festival ini menjadi cara Pulau Seribu Benteng ini melestarikan budaya.

Sejarah panjang kora-kora menjadi inspirasi Dinas Pariwisata Ternate untuk menggelar ajang tahunan. Selain ramai pengunjung, gelaran ini sukses menggaet minat promotor wisata untuk menghelat pameran di kota tersebut.

Kepala Dinas Pariwisata Kota Ternate, Samin Marsaoly mengatakan pada tahun 2019 merupakan ke delapan kalinya penyelenggaraan Festival Kora-Kora. Berbeda dengan festival sebelumnya, Festival Kora-Kora tahun itu menggunakan kora-kora yang menyerupai bentuk asli.

Kue Yahudi, Kuliner Khas Ambon yang Paling Dicari Saat Ramadan

“Tahun ini kita bekerjasama dengan beberapa kelurahan yang ada di wilayah pesisir untuk membuat perahu kora-kora,” kata Samin yang dikutip dari Kompas.com.

Pembuatan perahu kora-kora ini, dinilai tidak hanya mengangkat kembali nilai-nilai sejarah, namun juga sebagai edukasi bagi generasi muda agar mengetahui bentuk kora-kora yang asli.

Rencananya, kora-kora akan akan dijadikan sebagai ikon Pemerintah Kota Ternate untuk di pampang di area publik.

“Kora-kora semangat kebaharian untuk menumbuhkan masyarakat mengenang masa-masa itu. Karena itu, tahun ini selain perlombaan kita mencari nuansa baru. Kita buat ritual masyarakat Ternate pada saat itu. Bagaimana membuat perahu hingga perahu itu diturunkan ke laut,” pungkas Samin.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini