WHO Mengimbau Masyarakat Tidak Mencampur Vaksin Covid-19 Beda Jenis

WHO Mengimbau Masyarakat Tidak Mencampur Vaksin Covid-19 Beda Jenis
info gambar utama

Saat ini, pemberian vaksin Covid-19 masih terus dilakukan. Di Indonesia, ada dua jenis vaksin yang digunakan, yaitu Sinovac dan AstraZeneca. Keduanya diberikan sebanyak dua kali dengan jarak sekitar dua minggu demi mencapai perlindungan optimal.

Dengan mendapatkan vaksin, seseorang akan dapat meminimalisasi penularan Covid-19, mencegah munculnya gejala yang parah pada orang terinfeksi, membentuk kekebalan tubuh, serta melindungi diri sendiri dan orang-orang di sekitar.

Kasus Covid-19 dan target vaksinasi di Indonesia

Seperti yang sudah banyak diberitakan, kasus positif Covid-19 di Indonesia masih terus meningkat. Hingga bulan Juli 2021, ditemukan 2,6 juta orang terkonfirmasi positif, 68 ribu meninggal dunia, dan 2,1 juta orang telah sembuh.

Sementara itu, sebanyak 36 juta orang telah mendapatkan vaksin dosis pertama dan 15 juta orang sudah menerima vaksin keduanya.

Saat ini pemerintah telah menaikkan jumlah target sasaran vaksinasi Covid-19 dari 181,5 juta menjadi 208.265.720 penduduk. Peningkatan target ini merupakan upaya pemerintah mewujudkan kekebalan komunal guna memutus rantai penularan Covid-19.

"Angka ini termasuk anak dan remaja berusia 12-17 tahun," ujar Jubir Kominfo Dedy Permadi, seperti dikutip Tempo.co.id.

Ketika disuntik vaksin, tenaga medis umumnya akan memberi informasi mengenai jenis vaksin yang diberikan. Kemudian, pada suntikan dosis kedua, Anda akan diberikan jenis vaksin yang sama.

Namun, banyak pertanyaan muncul, apakah boleh, aman, dan memungkinkan orang mendapatkan dua jenis vaksin berbeda? Misalnya, dosis pertama menggunakan Sinovac dan dosis kedua AstraZeneca.

Mengenal Vaksin Pfizer, Lebih Efektif Hadapi Varian Delta dan Potensi Penggunaan Bagi Anak

Imbauan WHO soal vaksin beda jenis

Menjawab pertanyaan soal pemberian vaksin beda jenis, Kepala Tim Ilmuwan WHO, Soumya Swaminathan, menyebut perilaku mencampur vaksin beda merek tersebut sebagai 'tren yang berbahaya' karena diperlukan lebih banyak data tentang dampak kesehatan.

WHO mengimbau masyarakat untuk tidak sembarang mencampurkan penggunaan vaksin Covid-19 dari beda merek. Sampai saat ini belum ditemukan bukti mengenai efek pemberian vaksin beda jenis untuk kesehatan.

"Ini akan menjadi situasi kacau di negara-negara yang warganya mulai memutuskan kapan dan siapa yang akan mengambil dosis kedua, ketiga dan keempat,” tegas Soumya, seperti dilansir Reuters.com.

Setiap individu tidak boleh memutuskan sendiri dan yang bisa melakukannya hanyalah lembaga kesehatan masyarakat berdasarkan data yang tersedia. "Data dari studi campuran dan kecocokan vaksin yang berbeda sedang ditunggu, imunogenisitas dan keamanan keduanya perlu dievaluasi,” tambahnya.

Pada bulan Juni, Kelompok Ahli Penasihat Strategis WHO mengatakan bahwa vaksin Pfizer Inc dapat digunakan sebagai dosis kedua setelah dosis awal AstraZeneca, jika yang terakhir tidak tersedia.

Uji klinis yang dipimpin oleh Universitas Oxford di Inggris sedang berlangsung untuk menyelidiki pencampuran rejimen vaksin AstraZeneca dan Pfizer. Uji coba baru-baru ini diperluas untuk mencakup vaksin Moderna Inc dan Novavax Inc.

Indonesia Dapat Sumbangan 4 Juta Dosis Vaksin Moderna

Pendapat para ahli di Indonesia

Mengutip Klikdokter.com, dr. Arina Heidyana mengatakan bahwa menggabungkan dua tipe vaksin saat ini belum disarankan. “Ini sesuai dengan keputusan dari Kementerian Kesehatan, yang juga mengatakan sebaiknya tidak menggabungkan dua vaksin yang berbeda,” ujarnya.

“Untuk saat ini, efek atau dampaknya belum diketahui, karena masih dalam tahap uji klinis tentang menggunakan kedua vaksin yang berbeda ini sebagai dosis 1 dan 2. Selama belum ada hasil dan belum diketahui efeknya, sebaiknya dihindari dulu,” tambahnya.

Senada dengan imbauan WHO dan pendapat dr. Arina, juru bicara vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan, dr Siti Nadia Tarmizi, pun menganjurkan masyarakat untuk mendapatkan jenis vaksin yang sama pada dosis pertama dan kedua.

Dikatakan Siti, jika menggunakan jenis vaksin yang berbeda akan mempersulit untuk mendeteksi Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). "Susah nanti kalau ada KIPI, untuk menentukan KIPI ini akibat vaksin yang mana saja," tegasnya.



Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dian Afrillia lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dian Afrillia.

DA
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini