Melangun, Cara Suku Anak Dalam Menghilangkan Kesedihan

Melangun, Cara Suku Anak Dalam Menghilangkan Kesedihan
info gambar utama

Suku Anak Dalam adalah kelompok Komunitas Adat Terpencil (KAT) di perbatasan Provinsi Riau dan Jambi. Suku Anak Dalam atau yang biasa disebut Orang Rimba memiliki tradisi unik yang diwariskan turun temurun dari nenek moyang mereka, yakni tradisi yang bernama Melangun.

Melangun bagi Suku Anak Dalam adalah pergi jauh. Melangkahkan kaki menjauh dari kampung halaman menghilangkan kesedihan akibat ditinggal mati sanak saudara. Berjalan kaki melintasi sejumlah kota, kecamatan, kabupaten, hingga provinsi, berharap kesedihan usai ditinggalkan keluarga akan sirna.

"Melangun sampai hati puas, sampai hilang kesedihan," ujar Sukur, salah seorang Suku Anak Dalam, pada Antara.

Lelaki yang mengaku tidak mengetahui berapa usianya ini, mengatakan hal ini dilakukannya untuk menghilangkan kesedihan akibat kematian anaknya. Ia bahkan melangun hingga bertahun-tahun, bahkan sampai ke Padang Panjang.

Tradisi ini wajib diikuti seluruh keluarga yang tertimpa kemalangan. Dengan berjalan kaki, Sukur dan keluarga mampu pergi ke Padang Panjang dan Taluk Kuantan, yang berjarak ratusan kilometer dari tempatnya menetap selama ini.

"Lama melangun, baru kami pulang, sampai hati senang, dan tak ada lagi sedih. Tapi tak menetap di tempat asal, melainkan mencari daerah yang agak jauh," katanya.

Melangun bisa berarti hidup mengembara di dalam hutan, penyebabnya karena adanya kepercayaan bahwa kematian itu disebabkan oleh gangguan roh jahat. Karena itu perlu dijauhi agar tidak menggangu kehidupan manusia. Perpindahan tempat tinggal itu karena dinilai rumah yang ditempatinya mulai mendatangkan kesialan.

Mengungkap Keindahan Geopark Merangin

Selain itu, tradisi ini bisa juga diartikan sebagai perwujudan rasa cinta kepada orang yang telah meninggal. Semakin cinta dan sayang terhadap orang yang tiada, maka kegiatan melangun akan semakin lama. Semakin lama waktu melangun, secara otomatis semakin jauh jarak yang akan ditempuh.

"Kalau ada yang meninggal langsung dikubur, setelah itu kami langsung pergi pada hari itu juga. Satu malam pun tidak kami tempati lagi rumah itu, karena bagi kami rumah itu sial," ujar Ketua Adat Suku Anak Dalam, Japaren, yang dikutip dari Sripoku.

Dulu memang melangun dilakukan hingga puluhan tahun karena dianggap sebuah kesialan. Namun sejak beberapa tahun belakangan, tradisi tersebut dilakukan dalam waktu singkat. Tradisi ini, diawali dengan ratapan yang dilakukan keluarga dihadapan mayat.

Menangis, meraung, dan mengempaskan badan ke tanah hingga berpekan-pekan lamanya, berharap nyawa yang telah dicabut dikembalikan kepada mayat tersebut. Sebelum melangun dilakukan pun, mayat yang telah ditutup kain tersebut dibiarkan di atas Sesungdungon.

Sesungdungon adalah tempat berteduh yang berukuran 2x2 meter dan beratap daun atau plastik yang tingginya 12 undukan dari tanah. Jika untuk anak-anak, tingginya 4 undukan dari tanah. Pondok ini diberi alas dari batang-batang kayu bulat kecil dan diberi atap-atap daun kering.

"Kami percaya, orang yang mati tersebut akan hidup kembali. Kalau dikuburkan maka tidak ada harapan untuk hidup kembali dan bergabung bersama kami," jelas Sukur.

Baru ketika tradisi melangun usai, mereka mulai melakukan aktivitas normalnya kembali seperti berladang, berburu, dan menangkap ikan. Tempatnya pun, agak jauh dari tempatnya semula, tetapi selalu berada di pinggiran sungai yang merupakan sumber kehidupan mereka.

Tradisi melangun yang harus melawan zaman

Ternyata semakin berjalannya waktu, tradisi melangun sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Suku Anak Dalam. Japaren mengatakan, beragam tantangan yang dihadapi baik karena modernisasi dan faktor lingkungan membuat tradisi ini mulai hilang.

"Waktu saya kecil dulu masih sering, tapi sekarang tidak ada lagi, mungkin seumuran saya yang terakhir mengikuti tradisi itu," ucap Japaren.

Selain itu mereka pun harus melawan konservasi hutan alam yang dilakukan sejumlah perusahaan. Hutan-hutan yang merupakan ekosistem kehidupan mereka telah berubah menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Mereka yang tadinya terbiasa menjalankan hidup nomaden dan tinggal beralaskan tanah dan gubuk, sebagiannya kini sudah memiliki rumah permanen.

"Melangun tidak lama lagi sampai bertahun-tahun, lokasinya jadi lebih dekat, bahkan dulu ada yang meninggal harus melangun sekarang, jika ada yang sakit dipindahkan jauh-jauh agar kelompoknya tidak melangun. Sebagian yang sudah beragama memilih tidak lagi melangun," ungkap Adi Prasetijo, antropolog sekaligus Direktur Indonesia Center for Sustainable Development (ICSD), dalam Mongabay.

Mulai menghilangnya hutan membuat masyarakat adat ini mengalami krisis pangan. Pasalnya, selama melakukan tradisi melangun inilah mereka tidak mendapatkan pasokan makanan yang banyak, ladang cadangan mereka untuk ubi-ubian tidak ada.

Masyarakat adat yang mengandalkan hidup dari berburu dan meramu, menjadi rentan kehilangan kebudayaan karena tutupan hutan terus menipis.

"Ditambah lagi konflik, ini tidak akan mampu bertahan, negara harus hadir untuk mereka," ucap Adi.

Menurutnya, pemerintah seharusnya memberikan hutan sebagai ruang hidup sekaligus identitas budaya orang rimba. Kalaupun ada kelompok yang berubah dari sistem dan keunikan budaya. Mereka juga perlu dukungan penuh higga cepat beradaptasi dan diterima masyarakat.

"Bagi kelompok orang rimba yang mempertahankan identitas mereka ini juga seharusnya dipikirkan negara bagaimana solusi tepat. Dengan hutan sebagi sumber penghidupan dan identitasnya," tegasnya.

Kampung Literasi akan Dibangun di Jambi

Hidup berpindah-pindah dalam tradisi melangun, membuat orang rimba menjadi rentan sakit karena harus beradaptasi dengan lokasi baru. Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman melalukan studi kepada orang rimba terkait penyakit malaria.

Selama 10 hari, LGM melakukan tes pada beberapa kelompok Orang Rimba. Musim hujan jadi patokan angka malaria tinggi pada orang rimba. Malaria memang masih menjadi momok bagi orang rimba. Data sementara diperoleh dari Eijkman, dari 400 orang rimba yang menjalani pemeriksaan sekitar 37 orang positif malaria.

"Kita belum mengumpulkan semua sample, ini baru yang sudah diidentifikasi saja segitu," kata Din Syarifuddin, peneliti senior malaria Eijkman yang dilansir dari Mongabay.

Data Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, berkerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) Jambi, pada 2018 menyebutkan orang rimba yang terdata mencapai 4.500 jiwa dan tersebar di enam kabupaten. Kematian orang rimba yang beruntun pernah terjadi pada 2015, yakni sebanyak 11 orang. Gejalanya hampir sama, yakni diawali gejala, demam, batuk, sakit perut dan sesak napas.

Rendahnya kesadaran posyandu dan pemeriksaan kesehatan ibu hamil serta balita juga jadi salah satu pemicu. Orang rimba juga memiliki tradisi sendiri saat melahirkan. Ketika perempuan rimba yang mau melahirkan akan dibawa ke Tanah Peranaon, wilayah khusus untuk proses bersalin orang rimba .

Di Tanah Peranaon ini, juga didampingi satu orang dukun. Biasanya bayi yang baru lahir bibirnya akan dipoles madu hutan untuk kekebalan tubuhnya. Mereka memang tidak mengenal fasilitas kesehatan modern.

"Di Tanah Peranaon ini ada berbagai macam ramuan untuk melahirkan dan merawat bayi nanti, dekat dengan sungai juga biasanya," kata Ngadun salah satu warga orang rimba.

Dilakukan untuk hindari Covid-19

Suku Anak Dalam di Desa Muara Kilis, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, sudah beberapa hari ini pergi melangun. Mereka terpaksa pergi ke hutan karena takut tertular virus Corona atau Covid-19, karena salah seorang warga desa tempat mereka tinggal kabarnya terkonfirmasi positif Covid-19 dan meninggal dunia.

"Kita tahu jika virus corona itu cepat menyebar dan mematikan. Jadi biar terhindar dari virus itu, kita terpaksa melangun," kata Temenggung, pimpinan SAD, menukil Gatra.

Diakui Temenggung, jika sudah beberapa minggu ini kelompok dia pergi melangun yakni mulai dari almarhum ST dinyatakan positif terkonfirmasi Covid 19, almarhum dirawat di RSUD STS Tebo hingga meninggal dan dimakamkan.

Saat ini, kata Temenggung, warganya masih melakukan melangun. Mereka akan kembali ke Desa Muara Kilis jika kondisinya memang sudah benar-benar aman. Hal ini dibenarkan oleh pendamping SAD Jambi yang juga Ketua Yayasan Orang Rimbo Kito (ORIK), Ahmad Firdaus.

"Iya, sekarang ini pemukiman SAD di Desa Muara Kilis sepi sekali, mereka pada pergi melangun. Hanya beberapa orang saja yang tinggal disana," kata Firdaus.

Budidaya Jernang, Asa Bagi Orang Rimba Jambi

Dirinya juga meminta kepada Tim Gugus Tugas Covid-19 agar segera mensterilkan rumah atau warung ST tersebut. Agar mengantisipasi penyebaran virus pandemik tersebut.

"Sebaiknya rumah ST segera disemprot disinfektan, begitu juga rumah-rumah SAD di sana. Ini demi memutus penyebaran virus tersebut," katanya.

Setelah dua bulan melakukan melangun, pada bulan November tahun lalu, SAD telah kembali ke pemukiman mereka. Dirinya menjelaskan, beberapa bulan yang lalu SAD kelompok Temanggung Apung pergi meninggalkan rumah mereka. Ini disebabkan ada pasien positif corona yang meninggal dunia dan dimakamkan tidak jauh dari pemukiman.

"Alhamdulilah mereka sudah kembali dari melangun. Sekarang mereka sudah kembali ke pemukiman," kata Firdaus dikutip dari Gatra.

Selama melangun, berbagai upaya dilakukan warganya untuk bisa bertahan hidup. Mulai dari mencari madu hutan, mencari getah damar, hingga mencari hasil hutan lain yang bisa dijual.

"Kami melangun ke Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNTB), ada juga yang melangun di kebun-kebun warga maupun kebun perusahaan. Di sana kami mencari hasll hutan yang bisa dijual. Hasil penjulan kami belikan sembako," ujar Temanggung.

Temanggung berharap bencana Covid-19 ini segera berakhir. Pasalnya, meski mereka sudah kembali ke pemukiman, namun masih merasa was-was akan virus tersebut.

"Kita sangat khawatir sebab virus ini tidak terlihat. Kita seperti menghadapi musuh yang tidak nyata, jadi tinggal kitanya saja untuk menjaga diri," pungkasnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
DA
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini