"Saya Seolah Ada di New York"

"Saya Seolah Ada di New York"
info gambar utama

Saya hari-hari ini seperti merasa tinggal di New York City, Amerika Serikat, meskipun sedang berada di Surabaya dan Sidoarjo Jawa Timur, bukan dalam artian melihat gedung-gedung pencakar langit, atau duduk-duduk di Manhattan bersama turis turis sambil makan burger dan Ice Cream, atau nonton opera di Broadway.

Namun, karena mendengar suara sirene mobil polisi dan ambulans.

Kalau kita melihat film Hollywood yang shootingnya di kota New York (NYC), maka kita akan melhat dalam film itu suasana kota yang dipenuhi dengan suara sirene tadi. Ketika saya tahun 2016 berada di kota NY, saya juga mendengar dan melihat mobil-mobil polisi dan ambulan rumah sakit yang riwa-riwi (berseliweran) sambil membunyikan sirene tanda polisi mungkin sedang memburu tersangka, atau ambulans rumah sakit yang sedang membawa pasien sakit parah atau meninggal dunia.

Di kota Surabaya dan Sidoarjo, saya sekarang ini berkali-kali melihat dengan mata kepala sendiri ambulans rumah sakit yang berjalan dengan kecepatan tinggi yang menandakan sedang membawa pasien sakit parah atau meninggal dunia.

Ketika saya sedang menunggu servis sepeda motor di bengkel dipinggir jalan utama selama satu jam, saya menyaksikan berseliwerannya mobil ambulans rumah sakit sebanyak tujuh kali. Saya tidak tahu pasien yang dibawa ambulans-ambulans itu sakit apa, tapi pada situasi pandemi corona seperti sekarang ini, saya langsung bicara dalam hati, “Ya Allah, pasien corona lagi”, atau “Innalillahi wainna ilaihi rojiun”.

Selain saya melihat ambulan rumah sakit itu, saya setiap hari membaca chatting di WhatsApp (WA) lebih dari lima grup yang selalu menginformasikan wafatnya para kerabat, para sahabat alumni Almamater saya, para junior maupun senior saya yang sudah menjadi Guru Besar, kakak-adik, suami-istri, orang tua para sahabat tadi yang meninggal dunia--umumnya karena Covid-19.

Berita WA seperti itu sangat mengejutkan dan menyedihkan, mengingat saya mengenal dekat para sahabat tadi.

Sementara itu kalau saya melihat berita di TV, baik stasiun dalam maupun luar negeri selalu muncul berita penuhnya rumah sakit di negeri kita. Banyak rumah sakit menolak pasien baru yang terpapar virus corona karena sudah tidak mampu menampung pasien.

Lain itu, berita tentang tempat pemakaman khusus untuk penderita Covid-19 yang sudah penuh, dan tentunya berita tentang penyekatan jalan-jalan utama oleh aparat TNI dan polisi, untuk menghindari kerumunan--meski pada kenyataannya memunculkan kerumunan baru di jalan-jalan alternatif), berita tentang warga desa yang secara paksa mengeluarkan jasad keluarga yang kena corona dan menimbulkan perdebatan dengan petugas Satgas Covid, juga berita tentang kelangkaan oxygen, dan tayangan ratusan orang diantrian panjang untuk membeli oxygen.

Semua berita yang saya sebut tadi juga muncul di pemberitaan TV stasiun luar negeri seperti Al-Jazeera (Qatar), TRT (Turki), CNN dan Fox (Amerika Serikat), BBC (Inggris), dan RT (Rusia). Bila saya hari-hari ini melihat para anchor TV tersebut mengatakan kalimat pertama “In Indonesia…..”, saya bisa melanjutkan kalimat berikutnya dalam hati yaitu paling-paling tentang kondisi gawat penyebaran Covid-19 di negeri kita. Dan memang benar, berita tentang Covid-19.

Itu semua, situasi yang kita lihat dan dengar setiap hari tentang begitu gawat dan ngerinya kondisi terkini penyebaran virus Covid-19, terutama varian Delta dari India yang sangat mematikan (dalam waktu singkat) di Indonesia.

Situasi yang mengerikan itu menjadi lebih gawat kalau kita mendengar silang pendapat para pemangku pemerintahan, para ahli (dan ada yang mengaku ahli), para politisi yang saling menyalahkan tentang kenapa kondisi gawat ini tidak tertangani secara cepat.

Pernyataan yang saling bertentangan dari para pihak itu, membuat kebingungan yang lebih luas di masyarakat yang kebanyakan pendapatannya menurun drastis sebagai akibat dropnya kondisi perekonomian nasional.

Di tengah-tengah berita yang mengerikan tentang Covid-19 di Indonesia, saya mendengar seorang anchor TV stasiun luar negeri mengatakan, “In Iran…..” – biasanya kalimat berikutnya adalah tentang tuduhan negara-negara barat kepada Iran dalam program Nuklirnya, berita tentang pemberontak Houthi di Yaman yang didukung Iran melakukan penyerangan dengan drone dan roket ke wilayah Saudi Arabia dsb, tapi ternyata kalimat selanjutnya dari penyiar TV itu adalah berita tentang Iran membuat sendiri vaksin Covid-19, dan sudah disuntikkan ke sebagian besar rakyanya.

Lalu saya berbicara dalam hati sambil menghela nafas panjang,

”Bukannya kita katanya punya vaksin sendiri yang namanya Nusantara atau Gotong Royong?”

“Bagaimana kabarnya vaksin buatan anak bangsa itu ya?”.

Saya berdoa pada Allah supaya pandemi Covid-19 ini segera berakhir, sehingga saya tidak lagi merasa seperti berdiri di balkon suatu apartemen di kota New York, mendengar berkali-kali suara sirene ambulans rumah sakit yang membawa pasien sakit berat atau meninggal dunia, yang berseliweran dalam rentang waktu 10 menit.

Aamiin YRA.

Oleh: Ahmad Cholis Hamzah

Penulis aktif menulis di Koran Jawa Pos, Surya, dan rutin menulis di GNFI. Beberapa tulisannya acapkali dimuat/dikutip Koran Malaysia dan Thailand. Penulis juga tersohor sebagai akademisi sekaligus professional di kota kelahirannya, Surabaya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

AH
AH
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini