Kisah Sunan Kudus Larang Potong Sapi untuk Hormati Masyarakat Hindu

Kisah Sunan Kudus Larang Potong Sapi untuk Hormati Masyarakat Hindu
info gambar utama

Iduladha adalah salah satu hari besar yang diperingati oleh umat Islam di seluruh dunia. Setiap tanggal 10 Dzulhijjah dalam penanggalan Hijiriyah, umat Islam diperintahkan untuk melaksanakan salat Iduladha dan juga melaksanakan ibadah kurban.

Di Indonesia, dalam menjalankan ibadah kurban umumnya hewan yang disembelih adalah sapi atau kambing. Namun ada yang menarik dari tradisi kurban di salah satu kota Indonesia, tepatnya di Kudus, Jawa Tengah.

Di Kudus, ada larangan untuk menjadikan sapi sebagai hewan yang dikurbankan. Tradisi penyembelihan ini memang tidak terlepas dari sejarah penyebaran agama Islam di Kudus. Hal ini merujuk pada abad ke-16, ketika Sunan Kudus yang bernama asli Ja'far Shodiq menyebarkan agama Islam di wilayah tersebut.

Sunan Kudus mencoba menarik simpati masyarakat dengan cara melarang atau mengimbau kepada para pengikutnya agar tidak menyembelih sapi. Hal ini karena sapi merupakan hewan yang disucikan oleh umat Hindu. Selain itu, Kudus juga sudah dikenal sebagai daerah pusat agama Hindu.

Pada suatu hari Sunan Kudus membeli seekor sapi. Sapi ini berasal dari India, dibawa oleh pedagang asing dari kapal besar. Sapi itu ditambatkan di halaman rumah Sunan Kudus. Rakyat tergerak ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus kepada sapi itu.

Sapi dalam pandangan Hindu merupakan hewan suci dan dianggap kendaraan para dewa. Menyembelih sapi termasuk dalam perbuatan dosa dan akan dikutuk para dewa. Dalam tempo singkat, rumah Sunan Kudus pun dibanjiri oleh rakyat, baik yang beragama Islam maupun Hindu. Pada saat itu, Sunan Kudus pun berceramah.

Mengintip Kawasan Menara Kudus yang Menuju Jadi Warisan Budaya Dunia

"Sedulur-sedulur yang saya hormati. Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab diwaktu kecil, saya hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya," ujar Sunan Kudus membuka tausiyahnya.

Mendengar cerita tersebut para pemeluk Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Ja'far Sodiq atau Sunan Kudus itu titisan Dewa Siwa. Diketahui, Dewa Siwa adalah salah satu dari tiga dewa utama di dalam agama Hindu dan selalu menaiki sapi/lembu.

"Demi rasa hormat saya kepada jenis hewan yang pernah menolong saya, maka saya melarang penduduk menyakiti atau menyembelih sapi," pintanya.

Penduduk yang umumnya beragama Hindu terpesona atas kisah itu. Sunan Kudus melanjutkan, di antara surah-surah Alquran ada surat yang dinamakan surah sapi betina (Al-Baqarah). Masyarakat semakin tertarik, bisa ada kisah tentang sapi di dalam kitab suci. Mereka menjadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan ceramah Sunan Kudus.

Tidak hanya sapi, bentuk masjid yang dibangun oleh Sunan Kudus pun tak jauh bedanya dengan candi-candi milik orang Hindu. Menara Kudus yang antik itu, membuat orang Hindu merasa akrab dan tidak segan untuk masuk ke masjid guna mendengarkan Sunan Kudus berceramah.

Dengan cara ini Sunan Kudus berusaha meluaskan ajaran Islam tanpa menyinggung perasaan umat agama yang lain. Akhirnya secara bertahap masyarakat Kudus mulai banyak yang tertarik untuk mengikuti ajaran Islam.

Bentuk toleransi yang mengakar

Sunan Kudus adalah salah satu Wali Songo yang berusaha memelopori pentingnya kerukunan antar-umat beragama. Ini memang tercermin saat ia mengawali penyebaran ajaran Islam, di tengah masyarakat Kudus yang saat itu memeluk ajaran Hindu. Pendekatannya melalui seni dan budaya dianggap efektif untuk mendalami harapan dari masyarakat.

Strategi toleran yang dimaksud berupa pendekatan kepada masyarakat Hindu dengan menggunakan media sapi. Sapi dianggap hewan suci oleh umat Hindu sehingga tidak boleh disakiti atau dibunuh. Melalui sapi manusia hidup, melalui sapi manusia mendapatkan kesejahteraan, sapi membantu manusia dalam segi pertanian.

Penghormatan umat Hindu terhadap sapi sangat besar, Sunan Kudus menggunakan celah tersebut menjadi strategi dakwah dengan fatwanya melarang masyarakat menyembelih sapi dan menggantinya dengan kerbau. Bedasarkan latar belakang tersebut, masyarakat Kudus sampai saat ini tetap menggunakan daging kerbau pada acara tertentu.

"Sembelih kerbau ini kan bagian dari warisan dakwah yang santun, toleran, dan ramah dari Kanjeng Sunan Kudus, dan itu sudah dikenal dalam berbagai tutur tinular. Sehingga masyarakat Kudus mengikuti keteladanan Kanjeng Sunan yang berdakwah dengan toleran," kata Nur Said, Dosen Filsafat Budaya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus, menukil Kompas.

Menurutnya, pada penyembelihan kerbau tersebut masyarakat Kudus memetik nilai-nilai luhur Islam, yakni dakwah yang merangkul dan bukan memukul.

2 Tahun Hilang, Ini Tradisi Dandangan Khas Kota Kudus Sambut Ramadan

"Inti dari Islam itu kan sebetulnya rahmatan lil 'alamin. Maksudnya adalah merahmati, jadi kepada kelompok lain, walaupun beda agama, beda suku, rahmah itu harus diberikan. Dalam menyampaikan Islam pun harus penuh dengan cinta kasih," kata Nur Said.

Selain itu, bagi orang Jawa terkenal istilah tepa salira yaitu dapat merasakan perasaan orang lain sehingga tidak menyinggung atau melukai hati. Sunan Kudus memahami benar perasaan warga Kudus yang saat itu masih banyak penganut Hindu, bila hewan yang mereka muliakan disembelih oleh umat Islam.

"Pelarangan ini adalah simbol penghormatan bagi pemeluk agama Hindu yang pada saat itu masih mayoritas. Padahal sapi tidak diharamkan bagi pemeluk agama Islam," ucap Sri Indrahti dalam buku Kudus dan Islam: Nilai-Nilai Budaya Lokal dan Industri Wisata Ziarah.

Bentuk keteguhan masyarakat ini terlihat dari berbagai kuliner khas Kudus dengan bahan daging kerbau, seperti soto, pindang, dan masakan daging lainnya. Sampai sekarang, masyarakat Kudus masih tetap memegang teguh larangan Sunan Kudus untuk tidak menyembeli sapi, terutama pada perayaan Iduladha.

"Bahan bakunya daging. Karena adanya daging kerbau, maka masakannya pakai daging kerbau. Dan masakan yang berbasis kerbau ini menjadi khas dari Kudus," kata Nadjib Hasan, Ketua Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus, dalam BBC.

Ternyata sikap saling membantu masyarakat ini sangat terlihat, antara lain saat perayaan Sunan Kudus pada 10 Muharam. Saat itu ribuan orang akan ikut memberikan sumbangan atau mendapat pembagian nasi, termasuk warga non-muslim.

"Bahkan yang memberikan sumbangan untuk acara Haul Mbah Sunan Kudus itu juga dari masyarakat non-muslim. Artinya, kebersamaan ini masih terus terjaga sampai sekarang," kata Nadjib melanjutkan.

Tradisi yang perlu dirawat

Saat ini, memang tidak semua masyarakat Kudus masih menyembelih kerbau saat Iduladha, hanya sebagian yang masih melestarikan tradisi tersebut. Beberapa lokasi penyembelihan bahkan sudah menyembelih sapi. Selain dagingnya yang lebih banyak, harga sapi dianggap lebih murah daripada kerbau.

Kendati demikian, tampaknya masih ada pihak yang menjaga tradisi tidak menyembelih sapi untuk kurban. Mereka masih mengikuti fatwa Sunan Kudus di beberapa tempat, seperti di Masjid Menara Kudus. Bahkan, sejumlah perusahaan dan instansi pemerintah juga menghindari menyembelih sapi.

"Kami hanya ingin melanggengkan tradisi itu, melalui kurban kerbau di Masjid Menara Kudus. Pesannya sama, yaitu ajakan kepada masyarakat untuk menjunjung tinggi toleransi antar-pemeluk agama dan sesama manusia," kata Nadjib.

Muslim saat ini memang menjadi kelompok mayoritas, baik di Kudus maupun Indonesia. Namun tradisi menyembelih kerbau saat Iduladha bukanlah ritual tanpa makna. Di balik itu, ada pesan pendidikan toleransi beragama, sehingga tradisi ini harus dipertahankan.

Si Hitam Pekat Warisan Petani Kudus

"Jadi karena tradisi menyembelih kerbau di Kudus ini punya sejarah panjang, nilai edukatif, sehingga perlu dilestarikan. Meskipun sekarang sudah mengalami pergeseran, tapi paling tidak tradisi menyembelih kerbau sebagai kurban itu bisa menjadi media pembelajaran bagi generasi milenial," ucap Nur Said.

Menyembelih kerbau juga bisa menjadi bukti tradisi, dalam konteks perdamaian sehingga menjadi relevan. Tidak hanya di Kudus semata, namun juga perlu diadopsi di seluruh dunia. Tentang penyampaian Islam secara ramah dan toleran.

"Bagi saya, sebagai bagian dari warga Kudus, saya menganggap penting menyembelih kerbau itu masih perlu dilestarikan. Bahkan meski sapi lebih murah sekalipun, saya kira dalam tradisi kurban ini yang dipertimbangkan bukan material tapi spritual dan nilai. Added value atau nilai tambah kalau kita menyembelih kerbau lebih tinggi daripada menyembelih sapi," pungkas Nur Said.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini