Memutus Rantai Perkawinan Anak di Indonesia sebagai Cerminan Hari Anak Nasional 2021

Memutus Rantai Perkawinan Anak di Indonesia sebagai Cerminan Hari Anak Nasional 2021
info gambar utama

Hari Anak Nasional (HAN) di Indonesia ditetapkan pada tanggal 23 Juli setiap tahunnya berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) rentang usia anak adalah 0-17 tahun. Organisasi dunia yang bergerak untuk anak-anak (UNICEF/United Nations Children's Fund) memaparkan data bahwa sepertiga jumlah penduduk di Indonesia adalah anak-anak, atau setara dengan 85 juta penduduk Indonesia adalah anak-anak.

Menjadi salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, Indonesia mempunyai sejumlah masalah baik eksplisit maupun implisit, tidak terkecuali masalah yang terjadi pada anak-anak. Sejumlah data menyatakan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah perkawinan anak terbanyak di Asia bahkan dunia.

Data pada publikasi dengan judul “Pencegahan Perkawinan Anak” dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, jumlah perempuan umur 20-24 tahun yang menikah sebelum berumur 18 tahun diperkirakan mencapai 1.220.900 perempuan. Walaupun persentase perkawinan usia anak untuk perempuan terus menurun setiap tahunnya, penurunan tersebut tergolong masih sangat lambat dan angka absolut untuk perkawinan anak yang terjadi menempatkan Indonesia pada urutan ke-8 di dunia.

Perkawinan anak layaknya lingkaran setan, yang apabila tidak diputus maka akan terus-menerus terjadi dan membawa dampak berkelanjutan. Dampak yang dirasakan dari terjadinya perkawinan anak sering dititik beratkan pada pihak perempuan. Putusnya pendidikan (sekolah formal), ketidaksiapan fisik maupun psikis untuk berumahtangga hingga kondisi perekonomian yang rendah secara turun-menurun dapat terjadi akibat perkawinan anak.

Kisah Pria dari Papua, Lepas Kesempatan Jadi Bupati Demi Bina Anak Jalanan di Nabire

Faktor umum penyebab masih terjadinya perkawinan anak di Indonesia

Faktor ekonomi yang dikategorikan sebagai kemiskinan menjadi salah satu faktor utama terjadinya perkawinan anak. | Foto : Shutterstock/BELL KA PANG
info gambar

Terjadinya perkawinan anak hingga kini bukanlah tanpa alasan. Ada banyak faktor yang menyebabkan perkawinan anak masih berlangsung yang bahkan persentasenya kian fluktuatif. Berikut adalah beberapa faktor umum yang mendasari masih terjadinya perkawinan anak berdasarkan publikasi BPS dengan judul "Pencegahan Perkawinan Anak":

1. Faktor Pendidikan

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018 memperlihatkan tingkat pencapaian pendidikan yang lebih tinggi untuk yang menikah di atas 18 tahun, sebanyak 45,56 persen perempuan yang menikah di usia dewasa menyelesaikan sekolah menengah atas (SMA). Hal tersebut menandakan bahwa putus sekolah pada jenjang sebelum SMA dapat memicu kemungkinan adanya perkawinan anak terlebih bagi anak perempuan.

2.Faktor Ekonomi

Penelitian oleh United Nations Population Fund (UNFPA) tahun 2012 dan UNICEF & UNFPA (2018) menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan pendorong utama perkawinan anak pada perempuan di negara berkembang. Bagi rumah tangga miskin, kebanyakan anak perempuan dianggap sebagai beban ekonomi dan perkawinan dianggap sebagai solusi untuk melepaskan diri dari kemiskinan.

3. Faktor Tempat Tinggal

Data Susenas 2018 menunjukkan bahwa anak perempuan di daerah perdesaan dua kali lebih mungkin untuk menikah dibandingkan dengan anak perempuan di daerah perkotaan. Anak perempuan yang tinggal di perkotaan lebih mungkin mendapatkan kesempatan di luar perkawinan dan pengasuhan anak dibandingkan dengan mereka yang ada di daerah perdesaan.

4. Faktor Tradisi & Agama

Faktor lainnya yang mendorong terjadinya perkawinan anak yaitu faktor tradisi dan agama. Beberapa tradisi yang melanggengkan perkawinan anak masih ditemukan di Indonesia, seperti merariq di Lombok di mana perempuan ‘dilarikan’ ke rumah laki-laki untuk dapat dinikahkan.

Persentase angka perkawinan usia ≤16 tahun di Indonesia

Persentase perempuan yang pertama kali menikah di usia ≤16 tahun di Indonesia | GoodStats
info gambar

Kasus perkawinan anak di Indonesia menjadi salah satu yang terbanyak di dunia. Hasil Susenas 2019 memaparkan persentase jumlah perempuan yang telah menikah pertama kali di usia ≤16 tahun.

Pada 2014, persentasenya mencapai 11,21 persen daro total penduduk Indonesia. Kemudian turun menjadi 8,24 persen pada 2015.

Persentasenya kembali melesat menjadi 15,87 persen pada 2016, lalu 14,18 persen pada 2017, 15,66 persen pada 2018, terakhir pada 2019 mencapai angka 15,48 persen.

Masih berdasarkan data Susenas 2019, Provinsi Kalimantan Selatan menjadi provinsi dengan persentase terbanyak perempuan yang menikah pertama kali di usia ≤16 tahun yakni 22,15 persen. Angka tersebut jauh melebihi persentase nasional yakni 15,48 persen.

Sementara itu, perbedaan persentase tersebut juga terjadi di masyarakat pedesaan dan perkotaan. Persentase perempuan yang menikah pertama kali di usia ≤16 di pedesaan sebanyak 19,47 persen dan perkotaan sebanyak 12,09 persen. Hal tersebut sejalan dengan uraian faktor penyebab adanya perkawinan anak yang salah satunya adalah faktor tempat tinggal.

Permainan Hompimpa, Ternyata Cara Leluhur Dekatkan Anak-Anak dengan Tuhan

Upaya memutus rantai perkawinan anak adalah peran dari berbagai pihak

Berbagai pihak berupaya untuk memutus rantai perkawinan anak di Indonesia, baik dari lembaga negara maupun lembaga swasta yang bergerak untuk kesejahteraan anak-anak. Pergerakan yang paling mencerahkan dalam upaya memutus rantai perkawinan anak di Indonesia adalah diubahnya ketentuan batas usia minimal untuk menikah.

Melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, batas usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan, yangmana semula batas usia minimal 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan.

Selain melalui regulasi, upaya memutus rantai perkawinan anak juga tidak dapat lepas dari peran masyarakat dan lembaga-lembaga yang bersangkutan. Perkawinan anak merupakan salah satu bentuk masalah akibat adanya ketimpangan gender di masyarakat. Oleh sebab itu, mengakar salah satu penyebab terjadinya perkawinan anak adalah dengan mengikis jarak kesenjangan yang ada di antara perempuan dan laki-laki semenjak anak-anak.

UNICEF melalui publikasinya yang berjudul “Mengatasi Hambatan Gender dalam Kewirausahaan dan Kepemimpinan bagi Anak Perempuan dan Perempuan Muda di Asia Tenggara” memaparkan rekomendasi untuk mengikis jarak kesenjangan anak perempuan dan laki-laki yang dapat menurunkan tingkat perkawinan anak di Indonesia secara khusus dan di dunia secara umum.

1. Menciptakan peluang untuk melakukan eksplorasi dan berpendapat

Pemegang kendali regulasi harus berupaya menciptakan peluang bagi anak perempuan dan perempuan muda di tingkat sekolah dan masyarakat untuk mengemban peran kepemimpinan, mengambil risiko, dan membangun kepercayaan diri; serta memberikan ruang yang aman bagi anak perempuan dan perempuan muda untuk mengemukakan pendapat tentang masalah yang berdampak terhadap mereka.

Dalam lingkungan ini, stereotip dan mitos yang terkait dengan gender, misalnya anak perempuan dianggap sebagai beban keluarga perlu dibongkar dan dihilangkan secara proaktif sehingga anak perempuan dapat mengambil peluang untuk mengeksplorasi diri dan kemampuannya.

2. Mengubah tekanan dari orang tua menjadi dukungan dari orang tua

Pembuat kepentingan harus mencari peluang untuk mengampanyekan perubahan perilaku berbasis masyarakat dan media guna mengatasi stereotip gender yang merugikan dan memberikan pesan positif tentang kontribusi perempuan terhadap komunitas dan masyarakat serta peran mereka sebagai agen perubahan.

Intervensi seperti konseling seharusnya tidak hanya diberikan kepada anak perempuan dan anak laki-laki, tetapi juga kepada orang tua, dengan menyertakan pesan-pesan yang bertujuan untuk mengubah persepsi yang membedabedakan gender dalam hal karier dan mendorong dijalankannya peran pendukung oleh orang tua.

Poin ini juga tidak lepas dari kondisi ekonomi keluarga. Kondisi keluarga yang sulit karena kemiskinan sering kali membuat anak perempuan dianggap sebagai beban ekonomi, kemudian perkawinan anak menjadi solusi untuk mengurangi beban tersebut. Oleh sebab itu, edukasi kepada para orang tua untuk menghilangkan persepsi “anak perempuan sebagai beban keluarga” sangat diperlukan diiringi swngN mendorong pengentasan kemiskinan. Hal tersebut secara tidak langsung akan mendorong pada pengurangan angka perkawinan anak.

3. Peluang di sekolah dan di luar sekolah untuk mengembangkan keterampilan yang dapat dimanfaatkan di berbagai bidang dan peran pekerjaan dan keterampilan wirausaha

Pembuat kebijakan, praktisi pendidikan, organisasi masyarakat sipil, dan penyedia teknologi harus mendukung platform pengembangan keterampilan yang interaktif dan inovatif yang berfokus pada pengembangan keterampilan wirausaha dan keterampilan.

Penguatan program minimal belajar 12 tahun untuk anak perempuan dengan juga bagian dari poin ini. Dengan adanya penguatan pada program minimal belajar 12 tahun, maka anak memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengembangkan diri dan menemukan skill yang dibutuhkan untuk mendapat pekerjaan yang layak. Hal ini dapat membantu dalam mengurangi potensi terjadinya perkawinan anak.

Beberapa data di atas nyatanya belum dapat mewakili keadaan sebenarnya secara komperhensif. Masalah dan solusi selalu hadir berdampingan, pun dengan masalah perkawinan anak di Indonesia. Tiga poin di atas adalah langkah kecil dalam upaya memutus rantai perkawinan anak di Indonesia. Langkah besar yang sebenarnya adalah ketika langkah-langkah kecil tersebut dilaksanakan dengan nyata dan sadar secara bersama-sama.

Selamat Hari Anak Nasional 2021, mari wujudkan kesejahteraan anak-anak untuk kesejahteraan masa depan dunia.

Sederet Anak Muda Indonesia dalam Daftar "30 Under 30 Asia" Majalah Forbes

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Widhi Luthfi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Widhi Luthfi.

WL
IA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini