Dari Minangkabau hingga Lombok, Ini 3 Tradisi Kelahiran Bayi yang Ada di Indonesia

Dari Minangkabau hingga Lombok, Ini 3 Tradisi Kelahiran Bayi yang Ada di Indonesia
info gambar utama

Kehadiran seorang anak atau bayi menjadi salah satu hal yang didambakan dan paling ditunggu oleh setiap orang tua. Karena itu, lahirnya bayi ke dunia setelah melalui proses perjuangan panjang yang dialami oleh kedua orang tua sudah pasti diiringi dengan kesan haru dan penuh suka cita.

Sebagai bentuk rasa syukur, tak heran jika momen lahirnya seorang bayi ke dunia selalu diikuti dengan tradisi perayaan sesuai dengan keyakinan yang dianut oleh tiap masyarakat tertentu.

Perlu diingat, Indonesia merupakan negara yang kaya akan tradisi dan budaya dalam berbagai hal. Tradisi tersebut nyatanya juga memberi pengaruh tidak hanya kepada bentuk perayaan yang umum dikenal layaknya upacara pernikahan ataupun pengormatan pada saat kematian.

Faktanya, tiap daerah di Indonesia juga memiliki tradisi yang beragam dalam merayakan lahirnya seorang bayi ke dunia, yang tentunya sesuai dengan keyakinan akan nilai-nilai leluhur yang dimiliki.

Walau ada cukup banyak tradisi menyambut kelahiran bayi di Indonesia dari masyarakat adat mulai dari wilayah paling barat hingga timur, berikut rangkuman beberapa tradisi yang mungkin belum banyak orang ketahui.

Mengenal 7 Upacara Adat Sunda Usai Kelahiran si Buah Hati

Upacara Turun Mandi dari Suku Minangkabau

Upacara adat Turun Mandi di Tanah Datar, Sumatra Barat | pasbana.com
info gambar

Minangkabau atau Minang, merupakan suku yang selama ini diketahui berasal dari wilayah Sumatra Barat. Sama seperti upacara menyambut kelahiran bayi pada umumnya, Turun Mandi merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat bayi yang baru lahir ke dunia.

Tradisi Turun Mandi biasanya dilakukan pada saat bayi baru lahir hingga berusia tiga bulan. Diketahui bahwa zaman dulu, ritual Turun Mandi dilaksanakan di sumber mata air seperti sungai, tempat pemandian, atau sumur yang oleh masyarakat Minang disebut sebagai Luhak.

Dalam melaksanakan upacara Turun Mandi, ada beberapa syarat dan ritual yang harus dilakukan. Pertama, pembuatan Sigi Kain Buruak, semacam obor yang berasal dari kain robek. Sigi dibakar di dalam rumah kemudian dibawa ke tempat upacara Turun Mandi dilaksanakan.

Setelah itu ada pula Tampang Karambia Tumbua, atau lebih seing dikenal sebagai bibit kelapa siap tanam. Pada saat ritual memandikan bayi berlangsung, bibit kelapa dihanyutkan lalu ditangkap oleh ibu si bayi saat kelapa mendekati sang anak. Setelah pulang, bibit kelapa kemudian ditanam sebagai wujud simbolis yang dipercaya akan menjadi bekal hidup sang anak kelak.

Selain itu, disertakan pula Tangguak atau alat yang digunakan untuk menangkap ikan dan melambangkan bekal ekonomi sang anak di masa depan. Tangguak digunakan untuk meletakkan batu yang diambil dari sungai sebanyak tujuh buah, kemudian batu dan bibit kelapa yang sebelumnya dihanyutkan dibawa pulang untuk kemudian ditanam secara bersamaan.

Tak ketinggalan, disertakan juga Palo Nasi, yaitu nasi yang dilumuri dengan arang dan darah ayam. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, hal ini bertujuan untuk mengusir setan yang ingin ikut hadir dalam upacara Turun Mandi.

Terakhir, dalam ritual ini dibuat pula makanan yang dinamakan Batiah Bareh Badulang atau beras yang digoreng. Makanan tersebut nantinya akan diberikan kepada anak-anak yang ikut serta dalam upacara Turun Mandi sebagai bentuk ucapan terima kasih.

Setelah upacara Turun Mandi selesai dilakukan, biasanya dilanjut dengan acara syukuran dengan makan dan doa bersama.

Terlepas dari tempat pelaksanaan yang biasanya dilakukan di sungai, saat ini prosesi Turun Mandi juga bisa dan banyak dilakukan di rumah tanpa menghilangkan ciri khas yang melekat pada pelaksanaan di Sungai. Termasuk salah satu keharusan memandikan bayi oleh seorang Bako yang merupakan keluarga dari pihak bapak.

Tedak Siten: Ritual Unik untuk Bayi

Jatakarma Samskara bagi masyarakat Hindu di Bali

Ilustrasi bayi di Bali
info gambar

Selain sebagai ungkapan rasa syukur dan kebahagiaan atas kelahiran seroang bayi, ritual satu ini juga diyakini sebagai upaya untuk memberikan keselamatan pada sang bayi hingga besar kelak. Ritual Jatakarma Samskara juga merupakan bentuk kepercayaan bahwa bayi yang dilahirkan dapat melanjutkan tugas-tugasnya terhadap leluhur dan masyarakat setempat.

Sama halnya seperti ritual kelahiran bayi yang dimiliki oleh setiap daerah, pelaksanaan Jatakarma Samskara juga dilengkapi dengan beberapa syarat dan tata cara yang khas. Pertama, keberadaan Dapetan atau Banten Dapetan, sebuah sajen yang terdiri dari dari nasi berbentuk tumpeng dengan rerasmen (kacang-kacangan) dan buah-buahan.

Tak lupa ada juga Canang, yaitu persembahan berupa bunga yang berfungsi sebagai atribut upacara. Kemudian diperlukan juga sebuah periuk kecil, yang digunakan untuk menanam ari-ari. Periuk ini dapat digantikan dengan kendi kecil lengkap dengan penutup, atau sebuah kelapa yang airnya sudah dibuang.

Ritual ini sejatinya dilakukan saat bayi masih baru dilahirkan dan telah mendapatkan penanganan pertama. Sedangkan tempatnya berlokasi di dalam dan depan pintu rumah.

Mengenai pelaksanaan, Jatakarma Samskara dipimpin oleh salah seorang keluarga yang tertua atau dituakan, demikian juga untuk melakukan bagian menanam (mendem) ari-ari milik sang bayi. Apabila tidak ada keluarga tertua, misalnya hidup di rantauan, sang bapak dapat melaksanakan upacara ini.

Awal ritual dan upacara ditandai dengan pemimpin upacara yang membacakan doa di telinga bayi yang baru lahir, dengan disertai persembahan dan makanan yang sudah disiapkan sebelumnya. Ritual ini bertujuan agar atma atau roh yang menjelma pada si bayi mendapatkan keselamatan.

Setelah itu, ari-ari bayi dibersihkan dan dimasukkan ke dalam kendi lalu ditutup. Apabila menggunakan kelapa, kelapa tersebut terlebih dulu dibelah menjadi dua bagian dan selanjutnya ditutup kembali.

Hal yang tak boleh terlewat, kendi atau kelapa terlebih dulu ditulisi dengan aksara Hindu yang berbunyi OMKARA (OM) pada bagian tutup kendi atau belahan kelapa bagian atas, dan pada dasar alas kendi atau bagian bawah kelapa ditulisi AHKARA (AH).

Kendi atau kelapa kemudian dibungkus dengan kain putih yang di dalamnya diberi bunga. Selanjutnya, bungkusan tersebut ditanam pada halaman rumah dengan ketentuan penempatan di sebelah kanan pintu ruangan jika bayi yang lahir berjenis kelamin laki-laki, dan sebelah kiri untuk bayi perempuan.

Moana dari Suku Pamona

Medak Api, pemberian nama oleh Suku Sasak di Lombok

Ritual Medak Api
info gambar

Tradisi Medak Api dapat ditemui pada Desa Kr. Sidemen, Kecamatan Batukliang Utara, Kabupaten Lombok Tengah, NTT. Ritual ini merupakan proses pemberian nama kepada bayi setelah berusia 7 atau 9 hari setelah dilahirkan.

Faktanya, tradisi ini tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang melainkan oleh para ahli, seperti dukun beranak yang mampu dan bisa melakukan ritual ini.

Melansir laman resmi Diskominfo Lombok Barat, pernak-pernik atau kebutuhan perlengkapan dalam melaksanakan ritual ini tak semudah yang dibayangkan, alias membutuhkan ketelatenan. Menurut salah satu dukun beranak di daerah setempat, ilmu dan proses yang diperlukan untuk menjalankan ritual Medak Api didapatkan secara turun-temurun.

Hal pertama yang dibutuhkan dalam ritual Medak Api yaitu satu buah kelapa tua yang diparut dan dicampur dengan kunyit. Campuran kelapa dan kunyit kemudian digunakan untuk berkeramas oleh orang-orang yang terlibat dalam proses ritual Medak Api, dengan kepercayaan agar terhindar dari rabun.

Pada kelapa tua yang sebelumnya diparut, bagian kulitnya yang kering dibakar hingga menimbulkan asap. Dukun beranak yang memimpin ritual kemudian mengayunkan bayi di atas asap yang mengepul, dan memutarkan bayi sebanyak sembilan kali sebelum sampai di proses pemberian nama.

Sampai di tahap pemberian nama atau dikenal oleh masyarakat setempat dengan istilah Sembe’, dibutuhkan benang berwarna hitam dan putih. Kedua benang tersebut dipintal rapi untuk dijadikan gelang yang dipakaikan pada kedua pergelangan tangan bayi, pergelangan kaki, dan pinggang bayi.

Selain itu, pintalan benang yang telah dibuat juga dikenakan pada ibu dari bayi yang baru lahir, tujuannya adalah untuk menghindarkan bayi dari hal-hal buruk. Benang yang dipintal tersebut tidak boleh diputus kecuali putus dengan sendirinya.

Setelah proses pemakaian gelang, bayi baru diberi nama sesuai dengan yang dikehendaki oleh orang tua, kemudian diikuti dengan langkah terakhir berupa pemijatan kaki ibu dari bayi yang dilahirkan dengan tujuan agar terhindar dari penyakit.

Nama Bayi Khas Indonesia yang Indah ini Ternyata Dilarang di Arab Saudi, Kok Bisa?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Siti Nur Arifa lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Siti Nur Arifa.

SA
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini