HIMAS Jadi Momentum Perlindungan Masyarakat Adat di Tengah Pandemi

HIMAS Jadi Momentum Perlindungan Masyarakat Adat di Tengah Pandemi
info gambar utama

Setiap tanggal 9 Agustus diperingati sebagai Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS), untuk menjadi momentum mengingatkan kembali pentingnya perlindungan untuk masyarakat adat. Praktik-praktik pembangunan ekonomi berbasis lahan dan hutan serta pembangunan infrastruktur yang kurang memerhatikan keseimbangan ekosistem menjadi ancaman serius bagi eksistensi masyarakat adat.

Emil Kleden, Ketua Dewan Pembina Yayasan Pusaka Bentala Rakyat & Direktur Eksekutif Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), mengatakan bahwa negara memiliki peran penting dalam menjamin perlindungan menyeluruh bagi masyarakat adat, tidak hanya berdasarkan status politiknya saja, melainkan terutama dalam konteks realitas sosio-legal mereka.

“Keluhan kelompok-kelompok yang menyebut diri mereka sebagai masyarakat adat atau yang oleh negara disebut sebagai masyarakat hukum adat ini pada dasarnya sama, yakni diskriminasi, hutan dan tanah mereka hilang, dan isu-isu keadilan dalam pembangunan lainnya,” kata Emil.

Emil melanjutkan, negara memiliki kewajiban yang diatur Pasal 18B Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, untuk mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.

“Hutan, tanah dan alam sekitar adalah basis material bagi masyarakat hukum adat untuk melangsungkan kehidupan ekonomi, spiritual dan kulturalnya. Jika akses pada alam ditutup akibat hak pengelolaannya diberikan kepada pihak ketiga, maka eksistensi masyarakat adat terancam akan hilang. Untuk itu peran negara di sini sangat penting,” bebernya.

Daulat Pangan Kasepuhan Ciptagelar yang Bertahan dari Perubahan Iklim dan Covid-19

Perjalanan untuk memperjuangkan hak masyarakat memiliki banyak tantangan dan harus melewati proses yang panjang. Riche Rahma Dewita, Koordinator Program Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI, menyebut para pemangku kepentingan perlu menyamakan definisi perihal hak masyarakat adat terlebih dahulu sebelum menyusun kebijakan terkait.

Pertama, memahami kearifan masyarakat lokal dan nilai-nilai adat yang berlaku. Kedua, memahami interaksi yang terjadi di dalam masyarakat lokal tersebut. Ketiga, membangun gagasan bersama untuk membuat sebuah model pengelolaan hutan serta manfaatnya bagi semua pihak. Dan terakhir, mendiskusikan gagasan tersebut secara terintegrasi antara pusat dan daerah.

“Pada prinsipnya, kami berupaya mendorong pemerintah untuk mendukung kearifan masyarakat yang sudah berkembang dalam mengelola sumber daya mereka. Pada prinsipnya pengelolaan sumber daya dilakukan masyarakat akan memberi dampak positif secara ekologi, ekonomi dan sosial. Ini sekaligus perbaikan tata kelola sumber daya alam secara keseluruhan,” kata Riche.

KKI WARSI yang telah terlibat dalam pendampingan masyarakat di sekitar hutan sejak tahun 1991, menilai bahwa praktik hidup masyarakat adat sangat penting untuk menyelamatkan hutan dan keanekaragaman hayati.

Pandemi dan legalitas masyarakat adat

Pemberdayaan masyarakat adat dampingan KKI-WARSI tersebut tidak terlepas dari status legal yang dimilikinya. Riche menyebut sebanyak 142 kelompok masyarakat adat yang berada di wilayah dampingannya di Sumatra Barat, Jambi, Bengkulu, Riau, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara, telah mendapatkan legalitas dari pemerintah, dan sebagian lainnya masih terus diperjuangkan untuk mendapatkan pengakuan hukum dari pemerintah.

“Pengakuan yang diberikan pemerintah secara hukum kepada masyarakat membuat mereka memiliki kepastian untuk mengakses pengelolaan hutan serta menjalankan nilai dan pengetahuan yang bersinergi dengan hutan,” kata Riche.

Di bagian Komunitas Adat Marginal, Warsi berhasil mendorong pemerintah untuk pengakuan Orang Rimba masuk dalam sistem administrasi kependudukan pada tahun 2020 sampai 2021. Dengan adanya pengakuan dan pencatatan identitas ini, Orang Rimba bisa mengakses bantuan pemerintah untuk mengatsi kedaruratan pangan akibat pandemi Covid-19.

Pertama dalam sejarah Orang Rimba hampir merata mendapatkan Bantuan Sosial Tunai (BST) senilai Rp300 ribu per orang saban bulannya selama masa pandemi. Dan dilanjutkan dengan bantuan pangan non tunai. Dampak keterpurukan ekonomi selama pandemi tidak hanya dirasakan masyarakat urban saja.

Sebagian Orang Rimba--sebutan kelompok adat yang hidup secara nomaden atau berpindah-pindah--di wilayah dampingan KKI Warsi, juga ada yang harus merasakan pahitnya pandemi karena kehilangan mata pendapatan mereka.

Hikayat Kesuksesan Masyarakat Adat Hadapi Pandemi Covid-19

“Salah satu masyarakat yang rentan terpapar pandemi adalah Orang Rimba yang tinggal di area perkebunan, sekitar transmigrasi dan kawasan HTI (hutan industri). Kehidupan mereka bergantung pada penjualan hasil berondolan sawit dan berburu babi untuk dijual ke pengepul,'' jelas Riche.

"Sejak pandemi sesuai adat Orang Rimba melalukan sesandingon atau sosial distancing. Otomatis dengan pola ini Orang Rimba tidak memiliki penghasilan sementara hutan yang kaya sumber pangan mereka sudah berganti dengan tanaman sawit ataupun akasia. Kondisi ini yang memicu kedaruratan pangan. Jadi bantuan sosial yang diberikan pemerintah sangat berarti.“

Meski demikian, bagi Orang Rimba yang berada di kawasan hutan sejatinya tidak terlalu terpengaruh karena hutan menyediakan pangan. Persoalannya, hari ini hutan yang makin sempit sehingga populasi Orang Rimba yang tinggal di dalam hutan juga sudah menyusut.

Hutan sebagai sumber pangan dan benteng ketahanan pangan juga dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan. Seperti masyarakat Rantau Kermas dan Lubuk Mentilin di Jambi, pandemi justru memberikan mereka kesempatan yang lebih luas untuk melakukan kegiatan menjaga hutan tanpa gangguan.

“Masyarakat yang tinggal di kawasan hutan, seperti Orang Rimba dan masyarakat desa di sekitar kawasan hulu, seperti Rantau Kermas dan Lubuk Mentilin terbukti bisa menjalani kehidupan mereka secara normal selama pandemi. Mereka justru dapat melakukan kegiatan menjaga hutan tanpa gangguan,” tambah Riche.

Perkembangan regulasi

Mengupas lebih dalam tentang legalitas masyarakat adat, Rikardo Simarmata, Pakar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM), mengakui bahwa sudah ada perkembangan regulasi peraturan perundang-undangan terkait dengan hak masyarakat adat, sejak masa Orde Baru hingga masa kini.

“Saat ini semakin banyak ketentuan-ketentuan yang mengatakan pengakuan pemerintah terhadap hak ulayat. Sayangnya, masih terdapat kesenjangan antara perbaikan regulasi dengan perilaku praktik penyelenggara negara di lapangan,” kata Rikardo, merujuk hak ulayat pada kewenangan masyarakat adat terhadap penguasaan tanah mereka.

Penghayat Kepercayaan, Bagian Dari Masyarakat Yang Harus Kita Jaga Dan Hormati

Menurut Rikardo, penyebab kesenjangan itu di antaranya terjadi karena:

  1. Masih banyak stereotype dari penyelenggara negara tentang masyarakat adat yang terbelakang dan tidak terdidik.
  2. Adanya pandangan bahwa masyarakat adat akan berkembang linear dan harus dimodernisasi.
  3. Terdapat budaya yang tidak terbiasa dengan komitmen yang disepakati pada peraturan.
  4. Adanya kepentingan pribadi dari penyelenggara negara yang terganggu dengan aturan yang lebih baik dari masyarakat adat yang disebabkan oleh perilaku koruptif.
  5. Terdapat elit dan pihak perantara yang selama ini diuntungkan oleh regulasi, sehingga tidak senang dengan perubahan.
  6. Hambatan dalam menyosialisasikan regulasi dan kebijakan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Kendati demikian, Rikardo mengatakan perkembangan implementasi dari sejumlah regulasi terkait masyarakat adat tetap perlu diapresiasi. Semisal, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tahun 2015 yang mengakomodir definisi baru bagi ‘hutan adat’ yang tidak hanya diakui sebagai hutan Negara.

Catatannya menyebut, saat ini terdapat 56.903 hektare yang diakui KLHK sebagai hutan adat yang tidak berlokasi di kawasan hutan negara. Selain itu, sebanyak 900 ribu hektare sedang dicadangkan untuk dijadikan kawasan hutan adat.

“Jumlah ini masih kecil dibandingkan dengan masih banyaknya masyarakat yang tinggal di hutan dan sekitarnya. Saya harap ke depannya, semua bentuk regulasi terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan masyarakat adat bisa lebih efektif untuk mengakomodir hak-hak masyarakat yang hidup di hutan dan sekitarnya,” tutup Rikardo.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini