Rekomendasi Film Perjuangan untuk Merayakan 76 Tahun Kemerdekaan Indonesia

Rekomendasi Film Perjuangan untuk Merayakan 76 Tahun Kemerdekaan Indonesia
info gambar utama

Bagi seluruh masyarakat Indonesia tanggal 17 Agustus merupakan hari penting dan bersejarah. Sebagai momen peringatan kemerdekaan, biasanya hari itu dirayakan dengan sakral berupa upacara bendera untuk menghormati perjuangan para pahlawan.

Jika bukan karena pandemi, tentunya tanggal 17 Agustus juga biasa diwarnai dengan aneka perlombaan yang seru. Namun, karena kondisi saat ini tak memungkinkan untuk berkumpul bersama, maka menonton film bertema perjuangan bisa jadi alternatif hiburan di rumah.

Banyak film yang menceritakan kisah perjuangan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan dengan alur cerita yang dramatis, tragis, dan penuh aksi di medan perang. Menonton film-film perjuangan akan membawa kita merasakan suasana medan perang dan momen penuh perjuangan saat itu.

Berikut beberapa rekomendasi film perjuangan yang bisa ditonton dalam rangka memeriahkan perayaan Kemerdekaan RI ke-76:

Enam Djam di Jogja

“Enam Djam di Jogja” merupakan film yang dirilis tahun 1951 dan terus ditayangkan di TVRI sampai tahun 1980-an. Film hitam-putih ini dibintangi oleh Del Juzar, R. Sutjipto, dan Aedy Moward, serta disutradarai oleh Usmar Ismail.

Film ini menceritakan peristiwa saat Yogyakarta diduduki dan diserbu Belanda pada Desember 1948. Saat itu, pasukan RI melakukan perang gerilya pada 1 Maret 1949. Walau hanya berlangsung enam jam, momen ini menunjukkan pada dunia internasional bahwa RI masih punya kekuatan.

Dalam film ini, kita akan melihat berbagai peristiwa yang terkenal dalam sejarah revolusi Indonesia secara fiktif sebab dokumen yang ada masih belum lengkap dan dikhawatirkan menyinggung banyak pihak.

Refleksi Kemerdekaan: Pemuda Pendiri Bangsa

Janur Kuning

Film “Janur Kuning” diproduksi tahun 1979 dan disutradarai oleh Alam Rengga Surawidjaja dan dibintangi oleh Deddy Sutomo dan Sutopo H.S. Film ini dinyatakan sebagai film dengan biaya terbesar pada jamannya, yaitu mencapai Rp350 juta.

Ceritanya tentang perjuangan Indonesia dalam meraih kembali kemerdekaan yang direbut pasukan sekutu. Ada beberapa tokoh nyata yang ditampilkan dalam film seperti Soeharto, Jenderal Sudirman, dan Amir Murtono. Janur kuning sendiri menjadi lambang perjuangan kemerdekaan. Film kolosal ini juga mengisahkan peperangan di Yogyakarta yang dikenal dengan sebutan Serangan Umum 1 Maret.

Pramuka Indonesia, Berawal dari Kepanduan Belanda hingga Dipersatukan Soekarno

Serangan Fajar

Dirilis tahun 1982, “Serangan Fajar” hadir sebagai film semi-dokumenter dengan tema perang Indonesia yang disutradarai oleh Arifin C. Noer. Mengambil latar belakang kejadian sejarah, film ini tetap dikemas secara fiktif dan menghadirkan seorang bocah bernama Temon sebagai tokoh sentral.

Dalam film ini, kita bisa melihat tiga kisah yang menjadi bagian dari drama sejarah penentu bangsa Indonesia. Di antaranya adalah yang terjadi di Yogyakarta tahun 1945-1947, Perang Dunia II berakhir, dan momen saat Indonesia berusaha meraih dan mempertahankan kemerdekaan.

Mengenang 3 Sosok Orator Ulung Pejuang Kemerdekaan

Kereta Api Terakhir

“Kereta Api Terakhir” merupakan film Indonesia tahun 1981 yang mengambil latar belakang gagalnya Perjanjian Linggarjati dengan pendekatan romantis, baik terhadap soal kepahlawanan dan kisah cinta di baliknya.

Film yang disutradarai oleh Mochtar Soemodimedjo ini dibintangi oleh Deddy Sutomo dan Gito Rollies, dan merupakan adaptasi dari novel karya Pandir Kelana berjudul “Kereta Api Terakhir ke Jogjakarta: Roman Revolusi '45.”

Pada tahun 2019, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbangfilm) kembali berhasil merestorasi film ini. Terpilihnnya film ini untuk direstorasi karena mengisahkan perjuangan revolusi kemerdekaan Indonesia tahun 1945--1947 dan merupakan salah satu film kolosal produksi dalam negeri yang melibatkan 15.000 pemain.

Inilah 8 Negara yang Pertama kali Mengakui Kemerdekaan Indonesia

Perawan di Sektor Selatan

Film “Perawan di Sektor Selatan” ini menceritakan tentang sosok Laura, yang sakit hati akan pada perlakukan gerilyawan RI sampai membuat ibunya meninggal dunia. Film ini dibuat tahun 1971 dan disutradarai oleh Alam Alam Surawidjaja dan dibintangi oleh Farida Oetoyo, Dicky Zulkarnaen, dan Kusno Sudjarwadi.

Tjoet Nja' Dhien

Film “Tjoet Nja' Dhien” menceritakan tentang perjuangan seorang wanita asal Aceh dan teman-temannya melawan tentara Belanda yang menduduki Aceh pada masa penjajahan. Perang antara rakyat Aceh dan Belanda menjadi perang terpanjang dalam sejarah kolonial Hindia Belanda.

Film ini dbuat tahun 1998 dan disutradarai oleh Eros Djarot dan dibintangi oleh Christine Hakim, Piet Burnama, Slamet Rahardjo, dan Rudy Wowor. “Tjoet Nja' Dhien” memenangkan Piala Citra sebagai Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 1988 dan menjadi film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes.

Ketika Bung Karno di Ende

Seperti tertera pada judulnya, film ini mengisahkan cerita pahitnya penderitaan yang harus dialami Bung Karno beserta keluarganya saat ditangkap dan dianggap sebagai orang paling berbahaya oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Setelah ditangkap, Bung Karno diasingkan di Pulau Ende, Flores.

Citra Bung Karno merupakan sesosok pejuang sejati yang bergerak lewat politik dan punya kemampuan mengobarkan semangat patriotisme para pejuang di medan perang lewat pidato dan tulisannya tentang kekejaman penjajah.

Film ini disutradarai oleh Viva Westi dan dibintangi oleh Baim Wong, Paramita Rusady, dan Niniek L Karim. Dalam film, diceritakan secara gamblang mengenai kisah hidup Bung Karno di pengasingan selama empat tahun. Lengkap dengan tindakan-tindakan keji kolonialisme yang memonopoli perdagangan, hasil bumi harus dijual kepada Belanda, dan sosok Bung Karno yang terus bergerak dan menjalin komunikasi dengan semua kalangan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dian Afrillia lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dian Afrillia.

Terima kasih telah membaca sampai di sini