Berkunjung Ke Bawomataluo, Desa Adat Kaya Budaya di Nias

Berkunjung Ke Bawomataluo, Desa Adat Kaya Budaya di Nias
info gambar utama

Dengan segala kekayaan alam dan budaya, serta keragaman suku, bahasa, tradisi, dan sejarah membuat pariwisata di Indonesia begitu menarik dan tak ada habis-habisnya untuk dibahas.

Namun, tentunya segala aset yang dimiliki tersebut tak akan ada artinya bila tidak dilestarikan dan dijaga dengan baik oleh setiap generasi. Rasanya, sudah menjadi tugas kita pula sebagai generasi penerus untuk menjaga dan memperkenalkan kekayaan Tanah Air ke khalayak yang lebih luas. Jangan sampai, kita sendiri pula bahkan tidak melek terhadap berbagai sumber daya dan kekayaan yang ada di negeri sendiri.

Salah satu cara untuk mengenal kekayaan Indonesia bisa dimulai dengan cara yang mudah, yaitu mengeksplor berbagai tempat wisata. Di sana, tentunya tak hanya sekadar bersenang-senang semata, tetapi juga mencari informasi menarik tentang hal-hal yang ditemukan.

Bukan tak mungkin, pantai yang Anda datangi ternyata menyimpan sesuatu yang hanya ada di Indonesia atau bangunan tua yang dilewati dalam perjalanan merupakan peninggalan sejarah.

Agar semakin mendalami wawasan soal budaya Indonesia, cobalah menambahkan desa adat ke dalam daftar kunjungan setiap kali bepergian. Di sana, Anda bisa belajar soal kehidupan masyarakat setempat, tradisi yang masih dilestarikan, sejarah desanya sendiri, hingga perihal kesenian serta adat-istiadat yang mungkin belum diketahui sebelumnya.

Jika ada rencana berkunjung ke Sumatra Selatan, cobalah mampir ke Desa Adat Bawömataluo di Fanayama, Kabupaten Nias Selatan. Di sana, terdapat bangunan rumah adat, tradisi megalitik, tarian tradisional, dan atraksi lompat batu yang tersohor.

Lembah Bakkara, Alternatif Wisata Sumatra Utara Selain Danau Toba

Desa Adat Bawomataluo

Desa Adat Bawomataluo berada di atas bukit dengan ketinggian 324 mdpl, juga dikenal dengan sebutan matahari terbit. Diperkirakan desa ini telah ada sejak abad ke-18 dan masih tetap terjaga hingga saat ini. Setiap tahunnya, rutin diadakan sebuah gelaran budaya yang disebut Festival Budaya Bawomataluo .

Memasuki area desa, pengunjung dapat melihat rumah adat Nias yang disebut Omo Hada, rumah panggung tradisional orang Nias. Serta ada juga rumah adat Nias lain, yaitu Omo Sebua, rumah adat yang jadi tempat tinggal para kepala negeri atau tuhenon, kepala desa atau salawa, dan kaum bangsawan.

Pada Omo Hada, bangunannya berbentuk persegi dan terdapat tiang-tiang dari kayu serta atap rumbia. Biasanya di depan rumah ada tugu batu, dan semakin tinggi tugu tersebut, maka melambangkan status sosial seseorang.

Sedangkan untuk Omo Sebua, biasanya rumah memiliki ukuran lebih besar, struktur kayu lebih kokoh, atapnya tinggi dan tak terbuat dari rumbia.

Salah satu keunikan rumah adat Nias adalah konstruksinya yang dibangun tanpa paku sama sekali agar ramah lingkungan. Sebelum membangun rumah, akan dilakukan upacara adat terlebih dahulu supaya bangunan tersebut bisa membawa berkah untuk pemilik rumah dan menjaganya dari hal-hal buruk.

Selain itu, rumah adat Nias juga disebut-sebut tahan terhadap gempa. Konon, para leluhur telah memperhitungkan seluruh aspek dalam pembangunan rumah dan membuatnya tahan terhadap gempa. Meski tanpa paku, struktur bangunannya ternyata bisa lebih kuat ketimbang rumah modern.

Gang Poppies Bali, Romantisme Lagu Slank hingga Tersohor ke Seluruh Dunia

Tradisi megalitik

Berkunjung ke Desa Adat Bawömataluo juga akan membuat kita berkesempatan melihat langsung peninggalan tradisi megalitik di sana. Tradisi megalitik merupakan bentuk-bentuk praktik kebudayaan yang ciri khasnya melibatkan monumen atau struktur tersusun dari batu-batu besar alias megalit.

Di sana, tradisi megalitik terbagi dari beberapa jenis, yaitu diletakkan mendatar dan disebut daro-daro dan yang dalam posisi tegak atau naitoro,

Peninggalan megalitik paling besar ada di depan rumah raja. Jadi, pada bagian pintu gerbang rumah raja, terdapat dua buah meja batu berbentuk perahu dengan panjang 346 cm, lebar 194 cm, serta ketebalan 39 cm. Tak sekadar meja batu biasa, tetapi dihiasi ornamen berupa bunga, daun, dan manusia dalam posisi tengkurap.

Kemudian, ada juga meja batu lain berbentuk bulat dan ditopang empat tiang batu serupa pilar dengan tinggi 134 cm dan diameternya 120 cm. Selain itu, masih ada beberapa peninggalan megalitik lain seperti batu nitaruo, nitaruo niwoli-woli, dan batu segi empat pipih.

Fahombo Batu | @andigultom Shutterstock
info gambar
Daftar 50 Desa Wisata Terbaik di Indonesia Tahun 2021

Fahombo batu

Desa Bawomataluo merupakan tempat lahirnya para pelompat batu dari Nias, tradisi yang pernah ditampilkan dalam uang kertas nominal Rp1.000. Orang Nias biasa menyebut tradisi tersebut sebagai fahombo batu.

Fahombo batu sebenarnya merupakan jenis olahraga tradisional Suku Nias. Awalnya, kegiatan tersebut merupakan salah satu ritual yang digunakan untuk pendewasaan. Pada praktiknya, fahombo batu menghubungkan aktivitas fisik dengan ritual, seni, dan bela diri.

Pada masa lalu, para pemuda Nias akan mencoba melompati batu dengan ketinggian lebih dari dua meter. Jika berhasil, maka ia sudah “resmi” menjadi lelaki dewasa, bisa bergabung sebagai prajurit perang, menikah, dan dianggap sudah bisa memikul tanggung jawab sebagai orang dewasa.

Usia anak laki-laki yang mengikuti lompat batu ini dimulai dari 10 tahun. Tak hanya asal lompat, tetapi ritual ini dilakukan secara serius. Saat melompat batu, anak-anak ini harus mengenakan busana ala pejuang Nias.

Untuk batu yang akan dilompati berbentuk monumen piramida dan bagian atasnya datar. Tingginya tak kurang dari dua meter dengan lebar sekitar satu meter. Bukan hanya melompati batu, mereka juga harus bisa mendarat dengan sempurna karena jika salah teknik, yang ada malah cedera otot bahkan patah tulang.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dian Afrillia lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dian Afrillia.

DA
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini